Wanita, Akhlak, dan Jilbab

Jika engkau berjilbab dan ada orang yang mempermasalahkan akhlakmu, katakan kepada mereka bahwa antara jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda. Berjilbab adalah murni perintah Allah; wajib untuk wanita muslim yang telah baligh tanpa memandang akhlaknya baik atau buruk. Di lain hal, akhlak adalah budi pekerti yang bergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang wanita berjilbab melakukan dosa/pelanggaran, itu bukan karena jilbabnya, melainkan karena akhlaknya. Yang berjilbab belum tentu berakhlak mulia, tapi yang berakhlak mulia pasti berjilbab.

Begitulah yang saya baca pagi ini di halaman depan Instagram saya. Seorang teman saya mem-post sebuah gambar wanita berjilbab dengan tulisan itu di sebelahnya. Saya rasa ini adalah satu hal yang sangat menarik untuk dibahas. Mungkin banyak dari kita (termasuk saya) yang kerap menganggap bahwa ketika seorang wanita sudah (memutuskan untuk) berjilbab maka artinya dia harus menjaga sikapnya (seumur hidupnya), dan terutama harus mencerminkan pribadi muslimah yang salihah. Saya pribadi kerap merasa kesal tiap bertemu wanita berjilbab yang judes atau tidak ramah. Bagi saya itu ibaratnya “enggak ada muslimah-muslimahnya” deh. Atau ketika saya bertemu dengan senior-senior di SMA atau di kampus dulu yang berjilbab, tapi mereka juga suka mem-bully juniornya. Dalam hati, saya sering ingin berteriak, “Woy, itu lo pakai jilbab enggak ada ngaruhnya.” Agak kasar memang, tapi toh saya memendamnya di dalam hati (dan dalam pikiran).

Well, memang benar, tahu apa kita soal mana yang lebih muslimah antara si A dan si B? Semua itu subyektif, dan memang begitulah kita. Kita kerap memproyeksikan bentuk ideal seorang wanita yang berjilbab itu seperti apa tingkah lakunya. Minimal, wanita berjilbab itu harus sopan, bertutur kata yang lemah lembut, ramah, murah senyum, santun, dan segala hal yang baik ada pada diri wanita ini. Namun, tentu perlu kita ingat bahwa wanita berjilbab tetaplah manusia. Artinya, mereka juga pasti berbuat salah.

Namun, pada praktiknya, khususnya di Indonesia, saya rasa pernyataan bahwa wanita berjilbab tetaplah manusia dan mereka bisa berbuat salah (“salah” di sini adalah sesuatu yang tidak mencerminkan kepribadian seorang muslimah; I know, it’s totally subjective) tidak serta merta dapat diterima dengan baik di sini. Kenapa begitu? Berbeda dengan pria muslim, jilbab yang dikenakan oleh seorang wanita menandakan satu identitas, yaitu muslim. Pria, di lain hal, tidak memiliki ciri khusus (yang mutlak) yang menandakan bahwa ia seorang muslim. Katakanlah seorang pria berjanggut. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa mana yang muslim antara pria berjanggut panjang atau pendek jika kita bertemu salah satu dari mereka di tengah jalan. Atau, apakah pria yang celana panjangnya di atas mata kaki sudah pasti muslim, sedangkan yang di bawah mata kaki adalah nonmuslim? Atau pria yang memakai peci setiap hari lebih muslim dari yang tidak memakai peci? Tidak bisa dipastikan. Namun, ketika kita bertemu wanita yang berjilbab maka sudah pasti dia adalah seorang muslim dan itu berarti banyak hal. Ada suatu tuntutan dalam lingkungan bahwa mereka yang sudah berjilbab harus berperilaku sebagaimana seharusnya. Pada akhirnya, ini membuat wanita berjilbab yang berbuat salah dianggap jauh lebih “berdosa” daripada yang tidak berjilbab sekalipun melakukan kesalahan yang sama. Ingat, sekali lagi, ini adalah anggapan pada umumnya dan ini terjadi.

Sekarang, sebagai contoh kasus sederhana, menurut Anda, siapa yang akan lebih banyak dicibir masyarakat ketika ada seorang perempuan biasa (muslim, tapi tidak berjilbab) pulang tengah malam atau seorang perempuan berjilbab? Pasti perempuan berjilbablah yang lebih banyak mendapat cibiran dari masyarakat karena seharusnya perempuan tidak pulang tengah malam, apalagi jika dia berjilbab. Alasan keamanan dan nilai-nilai lokal. People do judge. Kemudian, siapa yang akan lebih dicibir masyarakat ketika ada seorang perempuan biasa (muslim, tapi tidak berjilbab) tertangkap karena mencuri laptop di sebuah kosan mahasiswa atau seorang perempuan berjilbab (entah itu kedok atau bukan) yang juga tertangkap karena mencuri laptop di sebuah kosan? Pasti si perempuan yang berjilbab akan mendapat cibiran lebih besar dari masyarakat. Kenapa? Karena dia membawa identitas agamanya di sana, yaitu jilbab sama dengan Islam. Hal lain yang lebih ekstrem, mungkin beberapa dari kita pernah mendengar (atau mungkin menonton) video-video porno amatir yang membawa-bawa judul (dan pemeran) “wanita berjilbab” beradegan syur. Jika video atau berita tentang video ini terekspos ke publik (dalam arti media publik, bukan di situs pornografi), wanita berjilbab ini pasti akan mendapat kecaman dan “kutukan” tiada tara dari publik karena perilakunya. Kecaman dan “kutukan” yang wanita ini terima tentu akan jauh berbeda dengan kecaman dan “kutukan” yang diterima jika si pelaku itu tidak berjilbab. Masyarakat tetap akan bereaksi keras, tapi tidak akan sekeras reaksi yang ditujukan jika si pelaku berjilbab.

Hal-hal semacam ini pada akhirnya menyulitkan dan membuat bimbang banyak wanita untuk berjilbab. Kita tahu masih banyak wanita muslim di luar sana yang tidak berjilbab. Alasannya pun telah kita dengar beraneka ragam. Mulai dari yang “belum siap” hingga yang merasa belum cukup baik untuk mengenakan jilbab. Tidak heran jika memakai jilbab di negara ini (yang notabene adalah negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia) lebih dianggap sebagai “pilihan” daripada sebagai “kewajiban”. Memakai jilbab dianggap sebagai pilihan karena ketika seorang wanita muslim memutuskan untuk memakai jilbab artinya ia sudah “siap” untuk bersikap selayaknya muslimah. Padahal, menurut saya sih, memakai atau tidak memakai jilbab, seorang wanita muslim tetap harus berperilaku sebagai seorang wanita yang “benar”. Namun, lagi-lagi ini semua dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan membentuk persepi kita pada penampilan seseorang, dan sebenarnya ini bukanlah persepi yang baik.

Kalau kita mengacu pada teori Looking Glass Self (agak akademis sedikit ya), ternyata bagaimana kita bersikap itu memang merupakan hasil dari interaksi dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Kita tumbuh menurut apa yang orang lain—khususnya orang-orang terdekat, orang-orang kepercayaan kita—persepsikan mengenai diri kita. Kita mencitrakan diri kita kepada orang lain (akibat interaksi kita dengan orang lain) karena kita berasumsi bahwa orang lain akan menyukai kita yang seperti itu. Lebih jelasnya kira-kira seperti ini:

1. seseorang membayangkan bagaimana perilaku atau tindakannya tampak bagi orang lain;
2. seseorang membayangkan bagaimana orang lain menilai perilaku atau tindakan tersebut;
3. seseorang membangun konsepsi tentang dirinya berdasarkan asumsi penilaian orang lain terhadap dirinya itu.

Artinya di sini, mayoritas wanita muslim akan mempersepsikan dirinya sebagai wanita yang belum cukup baik untuk berjilbab karena persepsi mengenai wanita berjilbab haruslah seperti apa yang sering kita lihat sehari-hari, baik di media maupun di lingkungan. Jika seorang wanita muslim merasa bahwa dirinya belum mendekati sikap seperti apa yang dipersepsikan maka ia akan merasa bahwa belum waktunya untuk berjilbab. Sementara itu, bagi mereka yang mulai belajar untuk berjilbab akan berusaha untuk dipersepsikan sebagai sosok wanita  muslim yang (mendekati) ideal, sedangkan yang berjilbab akan berusaha untuk bersikap sebagai mana layaknya muslimah yang salihah, bahkan beberapa wanita yang berjilbab akan membatasi kegiatan-kegiatannya yang dianggap kurang “muslimah” yang mungkin sering dilakukannya dulu (sebelum berjilbab). Tentunya hal ini ada sisi positif dan negatifnya. Namun, kebanyakan dari persepsi ini bersifat subyektif. Ya, saya rasa begitu.

Namun, saya sangat sepakat dengan ide yang diutarakan oleh entah-siapa-yang-menulis-kutipan-di-atas. Bahwa antara jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda. Yang berjilbab belum tentu berakhlak mulia. Namun demikian saya lebih setuju jika dikatakan bahwa “yang berakhlak mulia pun belum tentu berjilbab”, daripada “yang berakhlak mulia pasti berjilbab”. Di sini rasa-rasanya kita harus mendefinisikan kembali makna akhlak karena saya rasa akhlak itu bukan milik satu golongan/agama tertentu. Anyway, dari sini kita seharusnya bisa belajar dan lebih berpikiran terbuka bahwa biar bagaimanapun, wanita berjilbab adalah manusia biasa. Mereka bisa salah dan itu memang sudah menjadi sifat bawaan manusia. Yang membedakan mereka dari wanita muslim yang tidak berjilbab adalah bahwa mereka telah memilih untuk menyegerakan melaksanakan perintah agama. Namun, perlu kita ingat pula bahwa itu tidak menjadi dasar atau patokan bahwa yang berjilbab jauh lebih baik daripada yang tidak. Saya kira bukanlah kapasitas kita untuk menilai bahwa wanita A (berjilbab) jauh lebih baik daripada wanita B (tidak berjilbab). Wallahualam bishawab.

 

Fauzan Al-Rasyid

One thought on “Wanita, Akhlak, dan Jilbab

  • Betul. Di negeri ini memang seperti itu. Yang paling bener itu, hatinya yang berjilbab. Ga semua orang yang ga berjilbab itu jahat, bahkan ada yang baik sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *