Trepidation Maketh Men: Sisi Terang dari Kegentaran

Halo, P-assengers!

Pada artikel ini, aku akan membahas tentang suatu periode yang sedang aku dalami dalam pelajaran Sejarah Minat menurut sudut pandang seseorang yang hidup pada era teknologi.


Akhir-akhir ini, banyak perubahan telah terjadi secara cepat di dunia. Mutakhirnya teknologi telah dapat menghantarkan informasi dari sepasang mata ke sepasang mata lainnya dalam beberapa milisekon saja. Tentu, teknologi ini tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh sumber-sumber yang bermaksud baik; oknum-oknum juga dapat memanfaatkannya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Beberapa dampak negatif dari canggihnya zaman ini adalah maraknya berita hoaks, hate speech atau ujaran kebencian serta tumbuh dan berkembangnya aksi-aksi teror terpadu. Hal-hal tersebut menyebabkan manusia menjadi saling curiga dan berprasangka terhadap satu sama lain. Beberapa orang hidup secara was-was bahkan dapat melakukan tindakan di luar batas terhadap orang lain yang mereka anggap berbahaya dengan dikendalikan rasa takut atau terancam.

Paranoia massal ini ternyata tidak hanya dapat dirasakan oleh kita yang berada di era informasi, namun dapat juga dirasakan oleh masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Hmm, kira kira ada apa, ya, dengan mereka?


Pada abad pertengahan dahulu, negara-negara Eropa sempat diguncang oleh sebuah wabah yang menyebabkan penurunan drastis terhadap jumlah sumber daya manusia. Ya, pandemi ini sering kita katakan sebagai ‘The Black Death’ (Kematian Hitam) yang dapat juga dipanggil ‘The Plague’, berlangsung dari tahun 1347 hingga tahun 1350.

Tidak ada data konkret perihal seberapa banyak orang yang menjadi korban dari wabah ini, namun dapat diperkirakan bahwa wabah ini telah memakan 75 hingga 200 juta korban jiwa. Beberapa sumber bahkan mengklaim bahwa wabah ini telah menghabiskan 1/3 dari keseluruhan penduduk Italia.

Wabah ini menyebar dari Krimea oleh para pedagang Genoa yang kabur dari pasukan Mongol menggunakan perahu layar. Nah, ternyata, perahu mereka menjadi sarang dari tikus-tikus berkutu yang mengandung bakteri penyebab wabah.

Orang-orang Italia pun akhirnya terserang bakteri ini tanpa pandang bulu. Mereka mendapat musibah tambahan selain kemiskinan dan kelaparan yang melanda. Keraguan para dokter untuk menangani penderita juga membuat situasi semakin parah. Sebagian dari rakyat merasa segala hal ini merupakan azab dari tuhan karena mereka telah banyak berdosa, sehingga timbullah gerakan-gerakan ekstrimis agama. Orang-orang tidak saling percaya akan saudara sebangsanya.

capp_scrovegni4

Dinding kapel Scrovegni yang dipenuhi lukisan Giotto, seorang seniman yang mulai menggunakan ide-ide humanis pada masa ini.

Pesimisme menjadi nada yang sangat familiar dalam corak kesenian zaman itu. Kematian dijadikan obsesi karena banyaknya nyawa yang melayang. Kurangnya rasa kebahagiaan ini mendorong beberapa seniman untuk memprovokasi rasa kemanusiaan rakyat Italia. Seni inilah yang nantinya menghantarkan Firenze menjadi pusat berkembangnya gerakan Renaisans yang menjadi titik terang dari segala macam musibah yang dihadapi pada Abad Pertengahan. Dengan adanya gerakan ini, mereka dapat menjadi orang-orang yang lebih manusiawi dan beradab.


Nah, P-assenger sudah lihat, kan, bagaimana rakyat Italia dapat bangkit dari keterpurukan itu? Harusnya, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah-masalah seperti ujaran kebencian dapat kita sikapi secara lebih bijak. Akhir kata, ketakutan tidaklah sepenuhnya buruk karena jika diarahkan ke arah yang benar, kita akan mendapat sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

 

Dengan segala cinta,

K

 

SUMBER DAN REFERENSI:

  • dailyhistory.org/How_did_the_Bubonic_Plague_make_the_Italian_Renaissance_possible%3F
  • en.wikipedia.org/wiki/Black_Death
  • https://www.youtube.com/watch?v=sPi3bHQfDTk
  • italiantribune.com
  • cadenaser.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *