January 27th 2015
Dari balik kaca mobil yang gelap dihiasi rintik-rintik hujan, Aku, Yossa, dan Nde terpukau.
Kami sedang berada di dalam sebuah mobil yang sedang meluncur cepat di atas fly over raksasa kota Tokyo. Tepat di depan kami, terlihat Rainbow Bridge berdiri menjulang dengan gagahnya, terlihat begitu memukau dengan cahaya-cahaya sewarna pelanginya yang bersinar terang di malam hari. Dari bawah, hiruk pikuk pusat kota Tokyo mulai terlihat.
Setelah malam sebelumnya full dihabiskan dengan 8 jam tidur di pesawat dan sarapan pukul 2 pagi dengan airplane food, malam pertama sekaligus terakhir kami di Tokyo SEHARUSNYA hanya kami habiskan dengan makan malam di foodcourt sebuah mall yang tidak begitu jauh dari hotel, dan sisanya waktu bebas untuk berkeliling sampai jam malam berlaku, pukul sepuluh. Setidaknya itulah yang tertulis di jadwal harian kami.
Hotel yang kami tempati di Tokyo sama sekali bukan di pusat kota. Jadi, jangan bayangkan kami bisa berjalan-jalan malam ke Harajuku, atau ke Ginza, atau ke Shinjuku saat waktu bebas—karena kalau diibaratkan, lokasi hotel kami itu di Jatinegara, sedangkan pusat kota Tokyo ada di Bundaran HI. Jauh. Tapi, malam itu, saat Aku dan Nde memutuskan untuk kembali ke hotel setelah makan dan berjalan-jalan sebentar walau waktu masih menunjukkan pukul setengah 9 malam, Yossa sudah menunggu dengan kabar baiknya di depan lobby hotel.
“Ayo kita ke Shibuya, ada temen bokap gue yang tinggal disini dan mau nganterin!”
Dan disinilah kami sekarang, menikmati pemandangan kota Tokyo di malam hari dari balik kaca mobil, sementara Om—yang amat disayangkan aku lupa namanya—duduk di jok depan, dengan supir yang mengemudi di jok satunya. The excitement was real, and unforgettable—kami bertiga sibuk terbahak-bahak membayangkan bagaimana reaksi teman serombongan kami yang lain kalau tau bahwa kami bertiga berhasil ‘kabur’ ke Shibuya. Beberapa ratus meter melewati Rainbow Bridge, kami kembali disuguhkan pemandangan luar biasa—Tokyo Tower berdiri menjulang dengan angkuhnya, tampak gemerlapan dengan lampu di setiap sudut menara. That famous Tokyo Tower! Sepertinya Om i-forgot-his-name dapat menangkap ketakjuban kami akan menara ikonik kota Tokyo itu dengan mudah, karena detik berikutnya Ia langsung berkata dengan ramah, “Mau lihat Tokyo Tower? Abis dari Shibuya aja kita ke Tokyo Tower, mumpung sejalan.”. (Awww) (I wish I remember his name).
Tidak sampai 10 menit, mobil sudah meluncur pelan membelah sebuah jalan besar. Mendadak jalanan sangat ramai akan orang, dan pertokoan makin banyak terlihat di sisi-sisi jalan. Dengan hati mengembang segera kupasang kembali sarung tangan dan kukencangkan kembali tali sepatu, karena benar saja— tidak lama kemudian mobil sudah berhenti tepat di pinggir sebuah jalan besar. “Ayo keluar, ini yang namanya Shibuya.”
This feels so unreal. Kami bertiga segera turun dari mobil, dan ya—The
famous Shibuya Intersection greet us, dengan Gedung Shibuya 109, patung Hachiko, billboard-billboard super besar dan layar raksasa. Serta lautan manusia yang menunggu giliran menyeberang di sisi jalan.
Persis seperti yang biasa kulihat di layar televisi.
Waktu pada saat itu sudah menunjukkan pukul 9 malam—sisa waktu satu jam dari jam malam membuat kami tidak bisa berlama-lama terpukau dengan pemandangan. Segera kami menuju patung Hachiko yang terlihat agak basah karena rintik-rintik hujan di pojok jalan. Patung Hachiko! Si anjing lucu yang konon katanya setiap hari selalu menunggu majikannya pulang kerja di stasiun Shibuya ini. Walaupun ingin berlama-lama memandang dan membayangkan bagaimana situasi asli saat Hachiko menunggu majikannya dengan sabar di stasiun ini, 2 teman seperjalanku sudah sibuk menarik-narik tanganku dengan paksa untuk menyeberang jalan bersama ratusan manusia lainnya.
Sisa waktu kami di Shibuya dihabiskan dengan menjelajah segala pertokoan dan department store yang ada di Shibuya. Walaupun hujan masih turun rintik-rintik dan angin malam berhembus kencang—sukses menekan suhu udara menjadi hanya 8 derajat celcius saja, toh kami tetap berlari kegirangan ketika menemukan sebuah gerai branded yang luar biasa besarnya. And surprising enough, the price is quite affordable. Di luar ekspektasi, barang-barang branded yang ditawarkan jauh lebih murah daripada yang dijual di Jakarta, tapi memiliki kualitas yang sama—sepotong sweater hanya dibandrol dengan harga 999 yen atau sekitar 100 ribu rupiah saja.
Selesai memenuhi kebutuhan material, kami kembali ke mobil dimana om aku-lupa-namanya sudah menunggu. Walaupun tidak rela, tidak lama kemudian mobil kami sudah bergerak menjauhi Shibuya, menjauhi lautan manusia, menjauhi layar-layar raksasa, menjauhi patung Hachiko, menjauhi gedung Shibuya 109 yang berdiri dengan gagah. Kupandangi persimpangan melegenda itu lekat-lekat sampai hilang di pelupuk mata.
.
Tokyo Tower bukan main indahnya saat malam hari.
Mobil kami berhenti tepat di depan sebuah taman yang persis berada di depan menara tersebut. Hujan masih mengguyur dengan rintiknya—kali ini sedikit lebih tinggi intensitasnya—dan angin masih berhembus kencang.
Masih dengan semangat yang sama, kami bertiga turun dari mobil dan segera berlari tunggang langgang kearah taman menara dengan tangan ditengadahkan keatas kepala. Hari itu lampu taman entah kenapa tidak ada yang menyala, namun taman tetap terang benderang karena pantulan cahaya dari gemerlap Tokyo Tower.
Totemo kirei desu.
Dan begitulah, kunjungan singkat kami ke Tokyo Tower—dikarenakan hujan yang juga tambah deras—resmi mengakhiri jalan-jalan malam ‘ilegal’ kami. Kembali ke hotel tepat pukul sepuluh, dan langsung kembali ke kamar masing-masing karena hotel pun sudah mulai sepi. Mendadak, aku merasa lelah sekali. Siapa sangka bahwa pada malam ini, satu mimpi besar dalam hidupku—berada diantara lautan manusia di persimpangan Shibuya—baru saja tercapai. Siapa sangka pula di hari yang sama aku bisa melihat Tokyo Tower secara langsung, dan betapa wujud aslinya lebih mengesankan dari gambar yang biasa kulihat di televisi dan komik-komik. ‘til we meet again, Tokyo. Untuk hitungan malam kedua, malam ini sungguh luar biasa.