Trip Observasi SMAN 81 ke-44: Pertama dan Terakhir

Sedikit cerita dari masa lalu, dari akhir tahun 2014, dimana 1 bulan lagi adalah tahun 2015. Mungkin ada yang sebagian dari kalian de javu baca tulisan ini dan sisanya, ga mau tau. Jangan bayangin ceritanya lucu, jangan bayangin juga ceritanya seru. Dibawah ini adalah sisi kebosanan gue di malam hari yang tertuang dalam aksara abstrak yang berisikan salah satu artefak dari 2014. Apa yang lo pikirin ketika pertama kali dengar Trip Observasi? Yup! Bosan. Jika kalian, membaca tulisan ini hanya 1/2, 1/3, 3/4, atau bahkan 1/16 dst. Well, ini bukanlah lagu yang memiliki birama seperti yang tadi gue sebutkan. Ini cuma tulisan yang harus dibaca 4/4 supaya nggak keliru.

Trip Observasisource: Facebook PIDAS SMAN 81

 Hari Ke-1

Pukul 6.30 pagi seluruh peserta TO berkumpul di sekolah. Ada yang datang dengan muka cemas karena, nggak tau cara melilit talinya gimana. Ada juga yang udah pede banget memakai nametag tapi, ternyata salah. Jadi sebelum berangkat, kami melaksanakan apel pagi terlebih dahulu. Pukul setengah 8, kami baru berangkat naik bis dari sekolah. Sesampainya di Desa Puteran, Cikalongwetan, kita disambut dengan ramah oleh warga dan tokoh masyarakat setempat. Setelah itu, kami berkumpul sejenak untuk melaksanakan apel pembukaan. Terik membaur hujan saat kami memindahkan barang dari mesjid menuju rumah yang akan kami tempati. Jalanan berlapiskan tanah menjadi medan kami, Regu 23. Hujan menghapuskan rencana pencarian data yang seharusnya dilaksanakan sore itu. Kami bersama Kakak Mitra, Kak Nuna dan Guru Pembimbing, Pak Karmun menikmati sore hari dengan ditemani nada alam kolaborasi antara Hujan dengan Bebek ternak dipelataran rumah sembari pdkt dengan pemilik rumah, Pak Teteng dan Bu Yuyun hingga langit membisu. Hari pertama kami ditutup dengan pencarian data menggunakan jas ujan dan sebuah senter sehabis shalat Isya.

 

Hari Ke-2

Shalat Subuh berjamaah di masjid mengawali hari ke-2 kami di Trip Observasi ke-44 ini.  Agenda selanjutnya, kami melaksanakan senam pagi di lapangan utama bersama bapak ibu guru tercinta. Terdapat momen yang lucu untuk regu gue saat itu. Ketika, teman-teman kami yang lain berbondong-bondong menggerakan seluruh kekuatan mereka untuk berlari secepat mungkin ke lapangan agar tidak telat. Regu kami, hanya di rumah, terdiam menunggu giliran untuk masuk ke kamar kecil. Iya, kami terkena “BAB Bergilir”. Rasa resah menggumul di syaraf-syaraf otak anggota Regu 23. Dengan didasari oleh niat yang kuat, kami tetap memutuskan untuk pergi ke lapangan walau pada akhirnya, kami telat dan teman-teman kami sudah bergegas untuk pulang. Maafkan kami Hector. Setelah senam pagi, kami kembali ke rumah untuk menyantap sarapan pagi. Sangat disayangkan diare menyerang perut ini, sehingga semua aktifitas kacau-balau. Gue yang saat itu berperan sebagai danru (Komandan Regu) mutusin untuk nyerahin tugas gue ke komdis (Komisi Disiplin). Terima kasih Ayas, juru penyelamat sekaligus Komdis yang merangkap sebagai danru. Disaat teman-teman gue apel pagi, dan melakukan kegiatan seperti membantu dalam pembuatan display. Gue di rumah terpaksa untuk bedrest, dan gak ngapa-ngapain. Intinya, hari ke-2 gue lewatin dengan tidur sepanjang hari, dan bolak balik kamar kecil.

 

Hari Ke-3

Pagi yang dingin gak ngebuat semangat kami surut, dengan kondisi badan yang udah baikan. Gue iseng-iseng berhadiah untuk berbagi cerita di mesjid. “Marilah kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat karunia-Nya yang mana kita telah diberi kesehatan sehingga masih bisa berkumpul disini dalam keadaan sehat wal ‘afiat.” Sekelebat kalimat yang gue ucapkan pagi itu. Waktu sangat pendek, berharga, dan nggak bisa diulang atau cheat hidup selamanya kaya di GTA. Seandainya mereka nggak seperti itu, mungkin gue ga akan diare. Jadi, di hari ke-3 kegiatan berlangsung di dua tempat, dan anggota regu pun terbagi menjadi dua. Ada yang ikut penjelajahan dan lomba masak. Lagi-lagi disini, Ayas menjadi Savior Regu 23. Dia kembali jadi pemimpin disaat penjelajahan, dan kami yang di rumah; Saya, Shaniya, dan Nadela buat Nasi Goreng ala kadarnya untuk diikutkan lomba. Saat pembuatan, kami sedikit mencicipi dan kami rasa cukup nikmat dan “PAS”. Jadi, kami putusin buat ngirim masakan ini ke Posko Guru untuk dinilai karena dianggap layak. Setelah rumah bersih, dan kami udah ngirim itu masakan. Gue terbawa indahnya angin pagi yang skoy untuk merehatkan pikiran di pelataran rumah sambil nungguin Para Penjelajah datang. Tak disangka, yang datang adalah yang tidak pernah gue pikirin sebelumnya karena, hari itu adalah hari senin yang merupakan hari kerja. Tepat sekali, Nyokap gue dateng tanpa ngasih kabar dengan ikut ke Bis Panitia Orangtua yang berangkat pagi itu dari SMAN 81 tercinta “Terima kasih, Mah dan Selamat hari Ibu”. Setelah dzuhur tiba, mereka, Para Penjelajah pulang dengan badan penuh lumpur. Terlihat asik, dan menyenangkan. Alangkah baiknya, kalo gue nggak sakit. Mungkin, gue termasuk salah satu dari mereka-mereka yang penuh lumpur. Sore itu juga diagendakan Karnaval, dan Pensi namun lagi-lagi batal karena cuaca. Cuaca sangat nggak mendukung dari hari pertama kami Trip Observasi. Jadi, kami nikmatin sore yang sendu dengan bersenandung ria bersama Kakak Mitra tercinta. Anyway, nggak kaya hari-hari sebelumnya karena hujan turun sangat lebat, kami putuskan untuk shalat Maghrib di rumah. Dengan peralatan perang lengkap dengan senjata mematikan, Payung. Kami menerjang, melawan derasnya butir-butir yang jatuh dari langit hitam, Desa Puteran, Cikalongwetan untuk sholat Isya di masjid. Sangat disayangkan sekali karena hujan, hanya segelintir orang saja yang berdatangan dan masjid sepi. Kami melakukan shalat isya berjamaah dan hari yang penuh dengan agenda acara yang gagal ini ditutup oleh Tabligh Akbar bersama Masyarakat Desa Puteran.

 

Hari Ke-4

Hari ini, hari terakhir. Diawali dengan kekalahan perang vandel pada babak ke-3, persepsi Kami bukalanlah Mahaputra semakin kuat. Mungkin regu kami bukan mahaputra, mungkin gue sebagai danru belum bisa menjalankan tugas dengan baik, mungkin bintang hitam kami lebih banyak dari bintang lainnya. Lantas, semua itu bukanlah penghalang untuk kami maju kedepan menegok kiri dan kanan. Kami Hector belum bisa seperti apa yang PO inginkan selama di Trip Observasi ini. Dengan waktu yang singkat, 2 minggu (termasuk Pra-TO), gue rasa itu nggak cukup sama sekali untuk pembentukan karakter seutuhnya, nggak cukup juga untuk bikin kami jadi orang super. Ingat! Sesuatu yang instan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bagaimana dengan gue sendiri? Selama Trip Observasi, gue cuma ngabisin separuh waktu gue di rumah karena, diare. Gue cuma berdiam diri sebagai seorang danru. Tapi, ada hal gue petik selama 4 hari ini. “Hidup itu ya dijalanin aja kalo, dipikirin terus ya cepet tua nanti” ujar Pak Teteng, pemilik rumah. Dalam hidup ini alangkah baiknya, jangan terlalu menyesalkan apa yang sudah terjadi. Kami harus tetap menjalani hari-hari selanjutnya dengan penuh semangat, penuh strategi yang lalu biarlah berlalu, petiklah sebuah pelajaran dari masa lalu yang harus kami ambil positifnya dan buang negatifnya di masa depan. Matahari sudah mulai naik, bersama Gubing, kami berpamitan kepada pemilik rumah. Derai air mata berjatuhan, rasanya kami tidak rela meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan dan pembelajaran ini. Sehabis itu, kami langsung mengangkut barang-barang kami ke truk yang akan terebih dahulu berangkat ke Jakarta. Terik matahari membaur dengan air mata, suasana haru terjadi saat apel penutupan. Adzan dzuhur pun berkumandang, kami segera melaksanakan sholat dzuhur bersama terakhir di Desa Puteran, Cikalongwetan kemudian, bergegas pulang ke Jakarta.

 

Nabyl Raditya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *