Terlepas dari Belenggu Penjajahan Modern

Duapuluh delapan Oktober, apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar tanggal itu? Mungkin tanggal tersebut sudah terdengar biasa di telinga kaum muda zaman sekarang, namun adalah sesuatu yang sangat luar biasa di zaman itu, tahun 1928, dimana para pemuda-pemudi yang berusia kisaran sama dengan kita sekarang, telah mengikrarkan sumpahnya di atas tanah tumpah darah kita ini, Indonesia.

Mengapa suasana khidmat itu kini tidak lagi terlalu terasa di jaman ini? Sudah hilangkah semangat perjuangan para pemuda-pemudi kini? Mungkin diantara kita akan menjawab, “kita hidup di zaman modern yang sudah tidak lagi merasakan kejamnya perang, tajamnya peluru, penindasan, dan penjajahan secara langsung.” Pada zaman dahulu bangsa kita telah dijajah selama berabad-abad, merasakan kejamnya kerja paksa yang sangat tidak manusiawi. Namun secara sadar tak sadar, kini kitapun juga dijajah, walau dalam wujud yang berbeda. Siapa yang menjajah kita? Sadarkah kita akan hal itu bahwa penjajahan juga kita hadapi sekarang? Lantas apakah bentuk penjajahan itu sendiri?

Teknologi berkembang sedemikian canggihnya. Siapa sangka? Kecanggihan inilah yang menjajah kita saat ini. Kini apapun dapat dilakukan dengan serba cepat dan instan. Mungkin hal ini mempunyai manfaat yang menguntungkan, yaitu untuk  memudahkan segala macam pekerjaan, namun ada baiknya juga kita memberi perhatian lebih pada sisi negatif yang ditimbulkan olehnya. Era canggih ini ternyata memberikan peluang lebih besar dalam tindak kriminalitas. Banyak teknologi yang dimanfaatkan untuk melakukan pencurian dan penculikan. Penipuan marak terjadi melalui media internet. Dunia maya menjadi ladang tumbuhnya bullying dan kata-kata yang tidak bermoral. Mental dan pikiran para generasi mudapun tergerus seiring dengan buruknya arus pengaruh negatif dari dari internet, terutama media sosial. Padahal seharusnya perkembangan IPTEK ini dapat kita manfaatkan untuk kemajuan bangsa. Namun ternyata pengaruh negatif ini justru menyerang balik kita seperti sebuah boomerang.

Selain dunia maya, gadget juga sudah menjadi bagian dari hidup kita. Bahkan bisa dikatakan, selain oksigen, kita juga tidak bisa hidup tanpa gadget. Jika kita diberikan pilihan, “lebih baik tertinggal dompet atau tertinggal handphone?” Pasti sebagian besar dari kita akan menjawab “lebih baik tertinggal dompet.” Karena sekarang ini, handphone bisa disebut “segalanya.” Jika tertinggal dompet, transaksi keuangan dapat dilakukan secara online, jika kehilangan kertas alamat, sekarang sudah ada peta elektronik. Maka apalagi yang kita butuhkan selain gadget jikalau semuanya sudah tersedia dalam satu unit tersebut? Ini adalah bentuk penjajahan kedua. Gadget membuat kita “kecanduan” sehingga banyak generasi muda sekarang yang bersifat apatis dan tidak tanggap terhadap situasi di sekitarnya. Padahal sebagai kamu muda, sudah semestinya kita sensitif terhadap setiap perubahan agar dapat mengetahui apa yang seharusnya kita lakukan.

Teknologi mendekatkan yang jauh, tetapi teknologi pun juga menjauhkan yang dekat. Bahkan bisa dikatakan dalam kehidupan keluarga modern di kota metropolis ini, waktu berkumpul bersama keluarga menjadi hal yang sangat langka, karena kita terlalu asyik berhubungan dengan yang jauh tanpa mengingat orang-orang yang paling dekat dengan kita. Maka manusia sekarang ini sering diistilahkan sebagai “generasi menunduk” karena selalu fokus pada handphonenya. Nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan lambat laun mulai terkikis. Padahal Indonesia terkenal dengan nilai kegotong-royongannya yang sangat tinggi, hal ini terbukti pada kemerdekaan yang tidak mungkin kita capai tanpa adanya persatuan dan kerjasama diantara kita. Ini juga merupakan bentuk penjajahan yang ketiga.

Lantas apakah tugas kita sebagai pemuda-pemudi Indonesia? Pantaskah kita melakukan perubahan-perubahan terhadap semua bentuk penjajahan modern itu? Atau kita hanya bisa menjadi saksi bisu seperti waktu yang terus berulir?

Pemuda-pemudi adalah benih emas dari sebuah bangsa. Generasi muda adalah harapan para pendahulu, anak-anak muda adalah pembawa perubahan.  Presiden pertama kita, Ir. Soekarno dalam pidatonya pernah berkata, “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku seribu pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.” Dari sini dapat kita simpulkan bahwa pemuda-pemudi mempunyai peran dan kekuatan yang luar biasa. Masa dimana manusia mencapai titik keemasannya, masa dimana manusia punya kesempatan terluas untuk membawa perubahan bagi dunia.

Menyikapi semua masalah yang ada, kita sebagai pemuda-pemudi harus bisa menangkal semua pengaruh negatif, jangan sampai terbawa arus. Mengapa? Karena kita punya pondasi kuat yang mengokohkan, yaitu Pancasila. Pemuda-pemudi bangsa telah mengikrarkan sumpahnya dalam Kongres Pemuda 2 pada 28 Oktober 1928. Maka sudah menjadi kewajiban kita, bukan hanya sekedar mengingat dan menghafalnya saja, namun juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak sekali tindakan berharga yang dapat kita lakukan sebagai generasi muda melalui peran kita masing-masing yang berbeda. Menjaga persatuan tanpa memandang perbedaan, menjaga dan melestarikan alam, membela kebebasan berpendapat, menjaga perdamaian antarsesama, tidak melupakan sejarah, dan berkarya di bidang kita masing-masing, adalah segelincir kecil hal yang bisa kita lakukan untuk Ibu Pertiwi tercinta. Dengan ini kita punya tujuan yang sama, “Untuk Indonesia yang Lebih Baik.”

Begitu banyak anak bangsa yang berprestasi, tidak hanya di dalam Negara, bahkan sampai ke mancanegara. Seperti contohnya Presiden ke-3 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie yang telah mengharumkan nama Indonesia dengan karyanya yang sangat luar biasa, diantaranya mendapat gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule, Jerman pada tahun 1960 dengan predikat Cumlaude (sempurna) dengan nilai rata-rata 9,5. Kemudian mendapatkan gelar Dr. Ingenieur dengan penilaian Summa Cumlaude (sangat sempurna) dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean. Selain itu beliau juga menemukan rumus yang dinamakan “Faktor Habibie” karena bisa menghitung keretakan atau krack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang sehingga beliau dijuluki sebagai “Mr.Crack.”

 

Prestasi Habibie adalah sebagian kecil dari berbagai karya pemuda-pemudi Indonesia. Lantas apa saja yang sudah kita berikan untuk Indonesia? Sudahkah kita memberikan yang terbaik? Bahkan mungkin, untuk membuang sampah pada tempatnya saja kita masih tidak bisa. Salah satu peran terdekat yang dapat kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa ini adalah dengan belajar sebaik-baiknya di sekolah. Mengembagkan bakat dan potensi semaksimal mungkin sehingga dapat dirasakan manfaatnya tidak hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain, orang terdekat kita, bahkan untuk bangsa dan Negara kita, Indonesia.

 

Maka dari itu melalui Sumpah Pemuda ke-89 ini, marilah kita membuka mata, telinga, dan hati untuk terus membangun bangsa dan memberikan yang terbaik karena kita adalah satu, satu tanah tumpah darah, satu bangsa, serta selalu menjunjung bahasa yang satu, Bahasa Indonesia. Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *