Malam ini, saya kembali menulis di situs ini. Sudah lama rasanya tidak ‘menengok’ tulisan-tulisan di sini, dan sembari membaca tulisan anak-anak PIDAS, saya memutuskan untuk menulis sesuatu. Apa ya? Sejujurnya, saya enggak tahu mau menulis apa. Mungkin sedikit cerita soal perjalanan tiga tahun terakhir bersama PIDAS.
Ternyata, hampir tiga tahun saya “mendorong” diri saya masuk ke pekerjaan unik ini. Kenapa unik? Ya, unik karena kehadiran saya di sini pun tanpa “undangan” pihak mana pun. Saya sendirilah yang “tiba-tiba” datang tak diundang. Untungnya — saya pikir — saat itu semuanya cukup menyambut baik.
Saya masih ingat bagaimana pertemuan pertama saya dengan Niken, ketua PIDAS dari angkatan Poseidon saat itu (atau yang dulu disebut “parinata”). Saya dan Niken (yang saat itu berada di kelas XI) bertemu di — sebut saja — kafe burger di sekitar Kalimang (yang ternyata sekarang sudah tutup). Di sana, saya membahas apa yang ingin saya tawarkan kepada PIDAS “yang baru”. Sejak saat itu, saya menyebut PIDAS sebagai “brand new PIDAS”.
Niken enggak kenal saya, dan saya pun enggak kenal Niken, tapi sampai sekarang, saya masih merasa bersyukur (dan sekaligus berterima kasih) karena kalau bukan karena sikap kerja samanya, mungkin PIDAS tidak seperti sekarang.
Singkat cerita, Niken setuju saya “merombak total” PIDAS, bahkan dengan konsekuensi dia harus memberikan jabatan yang baru ia pegang sekitar empat bulan kepada penerusnya. Dan begitulah, perjalanan baru PIDAS dengan “wajah” yang hari ini kamu kenal, dimulai dari bulan Juni 2013 lalu.
Kenapa Mau “Repot-repot” di PIDAS Balik ke Sekolah?
Banyak teman-teman saya yang sebetulnya, antara kagum dan heran, kenapa saya masih senang kembali ke sekolah. Saya juga enggak tahu. Toh, saya hingga saat ini masih di sini, masih bersama PIDAS, dan itu pun bukan karena saya dulu anggota PIDAS. Bukan, saya dulu — katakan saja — hanya “warga” biasa. Saya bukan seseorang yang aktif di organisasi, seperti anak-anak PIDAS saat ini. Jadi, sebetulnya, saya tidak punya “afiliasi” terhadap “warna jas” tertentu — dulu ada warna jas abu-abu, krem, merah maroon, dan hijau. Artinya, itu berarti saya tidak punya alasan untuk (katakanlah) “balas budi” terhadap mantan organisasi saya di sekolah dulu. Nope, saya tidak berutang apa pun.
Lalu, kenapa saya masih di sini? Entahlah, saya kadang berpikir keras apa yang membuat saya masih — walau tak bisa dipungkiri terkadang jenuh — senang berinteraksi dengan siswa-siswi SMAN 81. Namun, saya punya kepercayaan — sebut saja begitu. Saya percaya bahwa Indonesia bisa dan berhak jadi negara yang lebih baik. Kuncinya satu: pemuda. Saya percaya, bahwa kita bukan kekurangan orang baik. Kita hanya kekurangan orang-orang baik yang mau bergerak. Dan saya mau jadi bagian dari orang-orang baik itu yang bergerak untuk membuat perubahan, bergerak untuk perubahan. Artinya, well, minimal, kalau saya mau kritik kondisi negara, kalau saya kecewa dengan pemerintah, saya merasa “enggak dosa-dosa amat” karena saya — jelas — berbuat sesuatu untuk negara ini: dengan PIDAS.
Jangan tanya berapa kali saya merasa “apakah yang saya lakukan ini benar-benar bisa membuat negara lebih baik?” Pastinya ada banyak pertanyaan seperti ini di dalam hati. Mungkin, kamu akan berpikir, kenapa harus repot-repot memikirkan negara? Negara ini kan… belum tentu memikirkan nasib kita sebagai rakyat. Daripada memikirkan negara, kenapa enggak memikirkan cara supaya hidup lebih sejahtera, atau, seperti pertanyaan super mainstream yang hampir selalu ditanya ke orang-orang seumuran saya: kapan nikah? Masalahnya, hidup tidak harus selalu memikirkan soal isi dompet dan pasangan hidup — tak berarti saya mengesampingkan hal-hal semacam itu. Namun, saya percaya, semua hal di dunian terjadi karena suatu alasan.
Sederhananya, kita dilahirkan di negara ini, pasti bukan tanpa alasan. Itu yang setidaknya saya yakini. Dulu saya sering berpikir, kenapa saya enggak lahir sebagai orang Amerika, misalnya. Atau, kenapa saya enggak dilahirkan sebagai orang kulit putih di daratan Eropa sana, yang punya akses lebih baik (sepengamatan saya saat itu) terhadap banyak hal. Kenapa harus lahir jadi orang Indonesia, yang pas lahir sudah harus menanggung beban utang negara?
Tapi kemudian, lama-kelamaan, saya berpikir bahwa semua tak terjadi tanpa alasan. Dan ya, minimal, kalau kita mengaku sebagai orang yang beragama, kita harus percaya bahwa Tuhan tidak “mengirim” kita ke dunia ini, di negara ini, tanpa alasan, atau bahkan, tanpa tujuan (selain beribadah kepada-Nya, tentu saja). Saya percaya bahwa kita semua yang lahir di negara ini, sebut saja, diberikan kepercayaan untuk membenahi negara tempat kita tinggal. Tentunya, tak harus jadi presiden untuk melakukan itu. Bisa dengan cara apa pun, selama itu memang ditujukan untuk berkontribusi terhadap negara, dan saya mau jadi orang itu — setidaknya hingga saat ini.
Kepercayaan itulah yang melandasi saya “kenapa” masih mau repot-repot kembali ke sekolah. Saya percaya bahwa ini adalah satu hal kecil yang bisa saya lakukan untuk negara, dan itu sangat penting bagi saya. Walau pada akhirnya, saya tahu bahwa tidak selamanya saya akan melakukan hal ini. Pasti akan ada masa ketika saya akhirnya berkata “cukup”, dan mari buku babak baru.
Apa yang Dilakukan di PIDAS?
Saya memastikan bahwa PIDAS menyenangkan. Siapa pun yang “lulus” dari PIDAS, mereka enggak akan jadi orang yang sama (well, sebetulnya ini sesuatu yang pasti), lebih dari itu mereka akan jadi orang-orang yang mampu menginspirasi orang lain, baik secara sadar maupun tidak. Pada dasarnya, itu yang saya lakukan di PIDAS. Kenapa menginspirasi orang lain menjadi sesuatu yang penting? Karena memang begitulah cara “menularkan” kebaikan jika kita ingin membuat negara ini lebih baik: buat atau lakukan sesuatu untuk menginspirasi orang lain.
Namun sekarang, saya bisa bilang bahwa selama hampir setahun terakhir, saya benar-benar mengurangi porsi “pengawasan” saya terhadap PIDAS. Dulu, pada awal kami membangun kembali PIDAS, saya hampir 90 persen terjun dalam setiap proses. Sekarang, mungkin hanya 30 persen, dan itu bukan tanpa sebab. Ini semua tentu perlu proses, dan saya tidak akan mengurangi porsi “pengawasan” saya kalau saya tidak merasa percaya dengan para pengurus. Karena ini adalah kepengurusan ketiga yang bekerja sama dengan saya sejak “rebranding” PIDAS, saya merasa bahwa kini anggota PIDAS sudah menemukan kembali ritmenya, dan itu yang penting.
Sekarang, apa yang saya lakukan di PIDAS? Kini saya hanya sebatas “mengawasi” (ditambah sedikit “cerewet” — ini bawaan). Dulu, saya masih (bisa dibilang) “mengendalikan” satu organisasi, tapi sekarang hanya sebatas pada pengurus. Bahkan akhir-akhir ini, saya hanya lebih sering berkoordinasi dengan pemimpin dan wakil pemimpin redaksi PIDAS saja.
Memberikan kepercayaan itu bukan hal yang mudah. Selama di sini pun bukan berarti saya tidak belajar. Saya jelas belajar untuk benar-benar memberikan kepercayaan. Saya tahu bahwa biar bagaimanapun saya enggak bisa berharap bahwa anak-anak PIDAS akan melakukan 100 persen sesuai dengan apa yang saya harapkan. Ini hampir mustahil. Namun, kalau saya enggak bisa memberikan kepercayaan, artinya saya pun enggak bisa memberikan contoh bagaimana mereka menjaga dan kemudian memberikan kepercayaan kepada penerus-penerusnya.
Saya cuma bisa bilang bahwa, ya, ini semua enggak mudah. Karena itu, setidaknya kepada pengurus, saya selalu menekankan satu elemen penting dalam berorganisasi: komunikasi. Koordinasi adalah bagian dari komunikasi. Kepercayaan bisa didapat dan diberikan selama ada komunikasi yang baik yang terjalin antara seluruh elemen terkait. Segala program bisa terlaksana dengan baik jika ada proses komunikasi yang baik pula. Artinya, komunikasi memang memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan organisasi (dan sebetulnya, di segala aspek kehidupan kita).
Apa Rencana ke Depan?
Belum terpikirkan. Mungkin, saya harus “pensiun” dan memberikan tongkat estafet pelatihan PIDAS kepada generasi berikutnya. Setidaknya, ini penting untuk menunjukkan bahwa saya bukan satu-satunya alumnus SMAN 81 yang (sebut saja) masih peduli dengan sekolahnya. Tentu, akan ada waktunya untuk bilang “stop, saya berhenti di sini,” dan biarkan yang lain meneruskan kemudi menuju jalan atau rute yang baru.
Sementara itu, oh, ternyata sejauh ini saya sudah mengetik 1.200-an kata. Kalau begitu, mungkin sebaiknya saya tutup sampai di sini dulu. Untuk pengurus #Marvellous, semoga di sisa-sisa waktu kepengurusan kalian yang tidak lama lagi, kalian benar-benar bisa menutupnya dengan baik, ya, marvelously. Dan untuk kalian yang akan menjadi penerus, bawalah PIDAS terbang lebih tinggi, dan pastinya, saya tunggu gebrakan-gebrakan ide kalian di sesi bidding nanti.
Semoga kalian sukses untuk ujian terakhir di semester ini!
Awwww naksir deh sm ka ojan..
Ape lu…
waw nice sekali gue di foto2 itu:(