hai p-assengers! di kesempatan kali ini aku akan buat sesuatu yang tidak biasanya aku buat loohh! apa yaa ituu hmzz. . yapp betul sekali, aku mau buat artikel tentang Pahlawan Indonesia yang jadi inspirasi aku niih. penasaran ga siapa? yuk yuk ikutin aku, lesgooz🚶♀️
Sebagai salah satu bagian dari kaum wanita, aku benar – benar kagum dengan salah satu sosok yang membawa perubahan pada kaum wanita ini. Kira kira ada yang tau ga nih siapa? Nah, betul sekali, beliau Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau biasa kita panggil R.A Kartini. Ia merupakan seorang pejuang kemerdekaan dan kedudukan kaumnya, pada saat itu terutama wanita Jawa. Ia mempunyai tanggal lahir yang sama seperti dr. Radjiman Wedyodiningrat, yakni sama-sama lahir pada 21 April 1879.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena harus dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan atau kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginannya mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Ia menikah pada tanggal 12 November 1903.
Berkat kegigihan Kartini, akhirnya mulai didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
R.A Kartini memiliki anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun, beberapa hari kemudian pada 17 September 1904, Kartini meninggal di usia 25 tahun. Kartini pun dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah. Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri.
Setelah kematiannya, saudara perempuannya melanjutkan pembelaannya untuk mendidik anak perempuan dan perempuan. Surat-surat Kartini diterbitkan di sebuah majalah Belanda dan akhirnya, pada tahun 1911, menjadi karya: Habis Gelap Terbitlah Terang, Kehidupan Perempuan di Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa. Ulang tahunnya sekarang dirayakan di Indonesia sebagai Hari Kartini untuk menghormatinya, serta beberapa sekolah dinamai menurut namanya dan sebuah yayasan didirikan atas namanya untuk membiayai pendidikan anak perempuan bangsa Indonesia.
Ternyata berkat kegigihan Kartini lah, kaum wanita jadi bisa sekolah. Dan kita pun akhirnya punya kesempatan yang sama seperti kaum lelaki. keren bgt ya Kartini! beliau mau berjuang demi membela kemerdekaan kaumnya. Itulah sebabnya mengapa aku sangat terinspirasi dari kisah R.A Kartini.
Wahh, ga kerasa nih udah selesai aku cerita tentang kisah Kartini nya. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu ya p-assengers, dadahh!