Si Pitak Jadi Insinyur Pertanian

Karya yang saya ulas adalah karya tulis berupa buku. Karya dari sorang Jamil Azzaini dengan buku yang berjudul “Menyemai Impian Meraih Sukses Mulia”. Buku ini memotivasi saya melalui cerita-cerita singkat penulis serta perjalanan hidupnya dari orang miskin sampai menjadi motivator. Saya akan ulas suatu cerita berikut ini

 

Si Pitak yang Menjadi Insinyur Pertanian

Keluarga saya adalah orang termiskin kedua di kampung. Makanan kami sehari-hari adalah tiwul (panganan yang terbuat dari tepung gaplek, dikukus dan dimakan dengan parutan kelapa atau gula). Walau keluarga kami miskin, saya dan kakak saya yang bersekolah di Sekolah Dasar yang sama, selalu menjadi juara kelas di setiap semester. Adik-adik kami waktu itu belum bersekolah.

Biarpun kehidupan kami miskin, Bapak selalu mengajarkan agar kami punya cita-cita yang tinggi. “Lakukanlah yang kamu mampu. Pupuk cita-cita setinggi-tingginya. Jangan pikirkan kondisi sekarang. Pikirkan suasana nanti saja, ketika cita-citamu tercapai.” Nasihat seperti itu sering saya dengar setiap kali saya hendak tidur.

Pernah di suatu kesempatan, semua siswa di kelas diminta maju satu per satu untuk mengutarakan cita-citanya. Ketika giliran saya maju, “Nama saya Jamil, saya ingin jadi insinyur pertanian”. Kontan semua teman sekelas “koor” menertawai saya. Ada yang mengolok, “Anak orang miskin kok mau jadi insinyur pertanian, ora mungkin… ora mungkin….” Bahkan guru saya juga menasihati, “Jamil kalau membuat cita-cita jangan tinggi-tinggi. Kalau terlalu tinggi nanti bagai ‘pungguk merindukanm bulan”.

Sampai jam istirahat tiba olokan juga belum juga berhenti. Karena kesal kepalan tangan saya melayang ke muka teman yang mengolok saya. Saya pun berlari ke lapangan sepak bola yang ada disekolahitu sekencang-kencangnya. Tiba-tiba ada rasa dingin dan pusing di kepala. Ada darah melelh dibagian kepala sebelah kanan. Rupanya salah seorang teman melempar sebatang bamboo ke arah kepala saya. Saya merasakan sakit yang luar biasa. Saya terus menangis. Setelah hari itu sampai dua pekan kemudian, saya tak mau masuk kelas lagi. Selain karena rasa sakit dikepala, saya takut ketemu teman-teman sekolah.

Di rumah, kedua orangtua saya selalu membesarkan hati saya. Keduanya kerap mengusap kepala dan memeluk saya ambil menasihati. Yang paling saya ingat dari nasihat itu, “kamu jadi insnyur pertanian atau tidak itu tergantung kamu. Ayo buktikan kepada semua orang yang mengolok-ngolok kamu bahwa kamu bisa menjadi insinyur pertanian. Kita suah miskin harta jadi jangan sampai miskin cita-cita.”

Setelah hari itu, orangtua saya sering mengenalkan saya kepada orang dengan mengatakan, “Ini anak saya, calon insinyur pertanian” kebiasaan ini terdengar ke telinga teman-teman sekolah saya. Mereka juga sering menyapa saya dengan “Hai insinyur pertanian!” meskipun saya tahu makna insinur pertanian yang keluar dari mulut orangtua dan teman saya itu berbeda, saya tak peduli. Semua kata itu saya anggap dukungan moril

Saya memutuskan untuk pindah kedesa dan mulai pendidikan lanjut untuk membuat cita-cita saya menjadi kenyataan. Saya bersungguh-sungguh untuk membuatnya memnjadi kenyataan. Singkat cerita, saya berhasil menjadi insinyur pertanian dan mempunyai banyak lahan pertanian. Suatu ketika, terdapat kunjungan desa dari sekolah dasar dikota, yang ternyata adalah sekolah tempat saya dulu. Karena lahan pertanian yang ada sangat luas dan indah, salah satu guru yang dulu pernah ikut mengolok saya bertanya pada salah satu petani yang bekerja. “Pertanian yang sangat indah, bisakah saya bertemu dengan pemilik lahan pertanian ini?” kemudian pekerjanya menjawab “bisa” diantarlah guru tersebut ketempat saya, betapa terkejutnya ia ketika ia melihat saya adalah orang yang memiliki lahan pertanian dan telah menjadi insinyur pertanian. Ia terkejut dengan apa yan sudah saya raih, murid yang dulu pernah ia olok-olok sekarang cita-citanya menjadi kenyataan

Kini, sudah tiga puluh lebih kejadian it berlalu. Dihari ulang tahun saya yang ke-39, sengaja saya pandangi foto saat wisuda dulu. Sambil tersenum, saya meraba kepala bagian kanan, saya merasakan ada bekas luka dan menyisakan pitak disana. Pitak yang saya raba adalah “pitak insinyur pertanian”. Pitak itu adalah bukti atas kekuatan sebuah mimpi (cita-cita)

Pesan moral yang dapat diambil dari cerita tersebut adalah sebisa apapun kita tidak boleh meremehkan orang lain, sekalipun kita merasa orang tersebut memang tidak bisa tetapi mungkin saja suatu saat nanti ia akan menjadi apa yang ia inginkan.

Dalam visi PIDAS “bergerak berinovasi, berkarya menginspirasi.” Pesan dari cerita tersebut bisa diterapkan dalam kegiatan PIDAS. Sungguh-sungguh dibutuhkan ketika kita bergerak untuk membuat suatu inovasi. Untuk membuatnya menjadi kenyataan, diperlukan usaha yang sunggujh-sungguh. Sedangkan dalam berkarya kita sama sekali tidak boleh untuk meremehkan karya orang lain, karya dapat menginspirasi sesorang tergantung bagaimana cara orang tersebut memahami karya itu.  Visi PIDAS menurut saya sangat berhubungan dengan pesan moral dari cerita tersebut.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *