Sabtu, 22 Mei 2004.
Hari yang cukup normal di kota Jakarta yang selalu padat. Masyarakat sekitar melakukan aktivitas yang ya,, cukup biasa saja. Ada yang sedang membuat santapan dengan aroma yang begitu lezat hingga membuat liur menetes. Ada yang sudah bercucuran keringat demi mencari sesuap nasi. Bahkan ada yang sedang bertamasya ke negara-negara di Benua Biru walau hanya dalam mimpinya.
Namun, siapa sangka bahwa ditengah kesibukan orang-orang ada sebuah keluarga yang sedang menanti ibunya yang tengah berjuang setengah mati agar dapat melahirkan buah hatinya dengan selamat. “Teng” waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi. Tepat pada pukul itu, lahirlah seorang bayi berkulit merah yang tak bisa berhenti menangis. Bayi merah tersebut diberi nama Nasha oleh kakaknya yang telah lahir 4 tahun sebelumnya. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh keluarga yang sudah menanti selama 9 bulan.
Nasha tumbuh menjadi seorang anak, adik, sekaligus kakak yang cukup bahagia. Lambat laun ia mulai belajar cara berjalan, berbicara, hingga akhirnya ia masuk ke sekolah pertamanya pada umur 3 tahun. Tahun demi tahun berlalu, tak disangka, Nasha telah menjalankan 11 tahun pendidikan di sekolah Al-Azhar.
Namun, dia memilih untuk melanjutkan SMA di tempat yang lain, dengan harapan untuk keluar dari zona nyaman yang ia diami selama 11 tahun itu. SMA baru merupakan hal yang sangat baru baginya. Beragam masalah mulai harus ia hadapi sebagai seorang remaja. Stress, overthinking, dan mental breakdown harus dilalui olehnya. Seburuk itu kah SMA? Ternyata dibalik masalah-masalah yang ia hadapi, dibalik semua rintangan dan air mata yang ia teteskan, ia dikaruniai oleh circle pergaulan yang sangat suportif dan saling mendukung.
Nasha tidak tahu, misteri apa yang disimpan oleh masa depan untuknya. Namun dia tahu, semua itu adalah takdir tuhan, dan dia tak akan pernah berhenti mengambil langkah ke depan.