Buku kuning yang kecil nan tipis ini, entah mengapa menarik perhatian aku. Lebih tepatnya sih, karena tipis—pastinya aku membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk menghabiskannya.
Judulnya Sayap-Sayap Patah, sebuah karya dari Kahlil Gibran yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sapardi Djoko Damono yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sastrawan Indonesia yang terkenal akan puisi-puisinya.
Mengetahui “kolaborasi” kedua sastrawan yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya merupakan tantangan untukku, karena meskipun aku adalah pembaca berat (semacam tahan baca buku beratus-ratus halam sehari, tapi tidak setiap hari), aku bukan tipikal orang yang tahan dengan bahasa yang berat. Meskipun begitu, aku yakin kalau buku ini tidak akan mengecewakan (karena dari pengalaman-pengalamanku Penerbit Bentang menghasilkan karya yang sesuai dengan seleraku: Padang Bulan hingga Ayah oleh Andrea Hirata dan Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh sampai Supernova: Inteligensi Embun Pagi oleh Dee Lestari). Dari buku-buku yang sudah aku sebutkan, kelihatan, dong, romance novels are not my cup of tea. Tapi jujur, setelah aku baca novel ini, aku merasa roman tidak selamanya buruk. Buku ini benar-benar membuka pikiranku.
Setelah aku amati sebentar, aku baru membaca kutipan-kutipan yang terletak di belakang halaman buku:
“… Apakah kita terbang dengan cepat menuju bintang-bintang sampai sayap-sayap kita lelah? Apakah cinta sedang tertidut ketika ia datang kepada kita, dan apakah ia, ketika terjaga, menjadi marah dan menghukum kita?
Cinta memberiku lidah dan air mata…
Setiap kali aku mendengar nyanyian burung-butung dan suara air pada musim semi, aku menderita tanpa memahamai alasan penderitaanku.
… Akankah kau mendengar bisik sayap-sayapku dalam keheningan malam?”
Ada pula kutipan pada sampul buku depan:
“… Aku tidak cukup kuat untuk kesenangan dan manisnya kehidupan, sebab seekor burung dengan sayap patah tidak dapat terbang di langit yang luas.”
Meskipun bukan penggemar berat novel klasik dan roman, menurutku kutipan-kutipan tersebut memiliki makna tersirat yang dalam, penuh perasaan. Singkat, namun tidak menghalangi makna yang penulis ingin sampaikan kepada pembaca.
Bagian pertama buku adalah Pengantar Penerjemah. Sapardi Djoko Damono menjelaskan bahwa Sayap-Sayap Patah yang merupakan “Romeo dan Juliet era abad ke-20” ini menceritakan hubungan kekasih antara “Aku” dan seorang wanita bernama Selma Karamy, ayah Selma yang bernama Farris Effandi Karamy, yang juga merupakan teman ayah “Aku”, dan seorang uskup terkenal dan berpengaruh namun berperangai buruk bernama Bulos Galib. Uskup ingin menjadikan Selma sebagai istri keponakannya, Mansour Bey Galib dengan segala cara. Jika diibaratkan, Uskup Bulos adalah pencuri yang menyembunyikan diri di bawah lindungan malam hari dan Mansour Bey adalah seorang penipu yang berjalan gagah di siang hari. “Aku” dan Selma berusaha mempertahankan cinta yang tumbuh diantara keduanya.
Sejak pertama kali “Aku” melihat Farris Effandi, ia melihat air muka beliau memancarkan kesedihan. Karena hatinya yang baik nan hidupnya yang makmur, beliau mudah sekali diberdayakan orang lain yang lebih kuat secara licik.
Uskup menjodohkan Selma dengan Mansour Bey. Tanggal pernikahan telah ditentukan. Farris, Selma, dan “Aku” tidak dapat berkutik. Mereka tahu bahwa Mansour Bey merupakan orang yang berbahaya, penuh kebencian, dan korup. Di Lebanon, tak ada orang Kristen yang bisa melawan uskupnya tanpa teganggu kedudukannya. Tak ada orang yang dapat melawan pemimpin agamanya dan mempertahankan nama baiknya. Jika Farris melawan Uskup dan melawan kedudukannya, nama baik Selma akan hancur dan namanya akan dicemarkan oleh kotoran bibir dan lidah.
Sebelum mereka menikah, Selma bertemu dengan “Aku” dan berkata,
“Aku ingin kau mencintaiku seperti seorang penyair mencintai pikiran-pikirannya yang pedih. Aku ingin kau mengingatku seperti seorang pengelana mengingat kolam tenang yang memantulkan bayangan dirinya ketika ia meminum airnya. Aku ingin kau mengingatku seperti seorang ibu mengingat anaknya yang meninggal sebelum anak itu melihat cahaya, dan aku ingin kau mengingatku seperti raja yang murah hati mengingat seorang narapidana yang mati sebelum pengampunan diterimanya. Aku ingin kau menjadi pendampingku, dan aku ingin kau mengunjungi ayahku dan menghiburnya dalam kesepianmya karena aku tak lama lagi akan pergi dan akan menjadi orang asing baginya.”
“Aku” pun menjawab,
” … Aku akan mencintaimu, Selma, seperti padang rumput mencintai musim semi, dan aku akan hidup di dalammu seperti kehidupan bunga di bawah sinar matahari…”
“Aku” pulang dan menjadi seperti burung terluka yang ditembak pemburu, kemudian berkata berkata,
“Oh, Tuhan, kasihanilah aku dan pulihkan sayap-sayapku yang patah!”
Setelah Mansour Bey dan Selma menikah, Farris menjadi tidak terurus. Suatu ketika, “Aku” dan Selma mengunjungi Farris yang terbaring lemah. Selma menjadi sedih karena pernikahan itu merubah hidupnya 180°. “Aku” berkata,
“Mari, Selma, mari kita menjadi menara yang kuat di tengah prahara. Mari kita berdiri seperti prajurit gagah berani dihadapan musuh dan menghadapi senjatanya. Jika kita terbunuh, kita akan mati sebagai orang suci, dan jika kita menang, kita akan hidup sebagai pahlawan. Menghadapi halangan dan kesulitan lebih mulia daripada mundur mencari ketenangan…”
Tak lama kemudian, Farris Effandi Karamy meninggal; jiwanya dirangkul oleh Keabadian, dan tubuhnya dikembalikan ke tanah. Mansour Bey Galib mewarisi kekayaannya, dan Selma menjadi tawanan seumur hidup—dalam duka dan derita.
Pernikahan Selma dan Mansour tidaklah bahagia. Mansour sibuk menghabiskan waktunya dengan gadis-gadis yang menjual tubuhnya untuk roti yang adonannya adalah darah dan air mata.
“Aku” dan Selma bertemu lagi di kuil tempat mereka biasa bertemu. Disana mereka masih mempertahankan kisah cinta dan ketulusan mereka. Mereka menceritakan keindahan yang dulu mereka rasakan sebelum direnggut oleh Uskup.
Lima tahun pernikahan Selma dan Mansour, mereka tidak memiliki keturunan. Mansour merupakan lelaki yang menganggap istri yang tak memberinya anak sebagai musuh; ia membencinya dan menjauhinya dan mengharapkan kematiannya. Selma terus memohon kepada Tuhan dan tibalah waktunya mereka mempersiapkan kelahiran tamu baru dalam keluarga mereka. Sayangnya, tamu yang baru datang itu sudah pergi. Anak itu meninggal sementara para tetangga sedang merayakan kelahiran sang bayi dengan ayahnya dengan minum. Sang Ibu, Selma, berkata,
“Kau telah datang untuk membawaku pergi, Anakku; kau telah datang untuk menunjukkan padaku jalan yang akan membawaku ke pantai. Ini aku, Anakku, bawa aku, dan mari kita tinggalkan gua yang gelap ini.”
Pesta kelahiran menjadi pemakaman seorang ibu dan anaknya yang baru lahir. “Aku” kemudian bertanya dimana kuburan Farris Effandi. Sang penggali kubur berkata bahwa dia menempatkan Selma diatas Farris dan anak Selma diatas dada Selma.
“Aku” pun berkata,
“Di lubang ini Anda juga sudah menguburkan hatiku.”
Pasti kamu akan lebih sedih lagi kalau kamu tahu bahwa Sapardi Djoko Damono menjelaskan bahwa si tokoh utama, “Aku” yang tidak bernama merupakan Gibran.