January 28th – February 2nd 2015
January 28th, 2105 marked as the first time in my life I’ve seen snow, and it’s none other than Sapporo’s snow.
Saat pertama kali pesawat yang selama satu setengah jam telah mengangkutku dan teman-teman dari kota Tokyo mendarat di Bandara Internasional Chitose, kota Sapporo, Hokkaido, hal pertama yang kulihat adalah salju. Salju, salju dimana-mana sejauh mata memandang. Begitu putih dan bersih. Membuat jadwal landing kami terpaksa ngaret 20 menit dikarenakan seluruh landasan tertutup oleh salju yang tebal, membuat pesawat kami kesulitan untuk mendarat.
Sepanjang perjalanan menuju hotel tempat kami akan bermalam, supervisor jepang kami—yang juga bisa berbahasa Indonesia dengan lancar—tidak bosan-bosannya mengingatkan betapa kami beruntung bisa mendapatkan kesempatan mengunjungi kota Sapporo ini di musim dingin. Kota Sapporo, katanya, adalah kota terdingin di Jepang, yang juga berada di pulau paling indah di Kepulauan Jepang—Hokkaido. Orang Jepang saja perlu berpikir dua kali apabila hendak berwisata ke kota ini, dikarenakan biaya akomodasinya yang tinggi. Apalagi saat musim dingin, dimana sekitar 2 juta orang dari seluruh penjuru dunia setiap tahunnya berwisata ke Sapporo untuk menyicipi saljunya yang khas dan festival musim dinginnya yang mendunia.
Hotel yang kami tempati kali ini berada di pusat kota Sapporo, jauh berbeda dengan hotel kami di Tokyo kemarin. Begitu sampai di hotel, tanpa merasa perlu untuk membongkar koper dan membersihkan badan, aku dan 15 orang lainnya langsung kembali turun ke bawah untuk berangkat memulai penjelajahan malam kami. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan udara di luar telah menginjak -10° C. Anehnya, aku menemukan udara dingin kota Sapporo lebih ‘ramah’ dibandingkan udara berangin kota Tokyo kemarin, walaupun keduanya sama-sama membuat otot wajahku kaku dan bibirku kering.
Berbekal selembar peta kota, kami memutuskan untuk pergi ke JR Tower, sebuah menara observatori setinggi 160 meter dengan pusat perbelanjaan lengkap di lantai bawah. JR Tower sendiri hanya berjarak ±400 meter dari hotel kami, 10 menit berjalan kaki. Salju tebal yang tersebar di seluruh sudut jalan sukses membuat kami tidak bisa berlari dan harus tetap berjalan pelan bersama-sama, karena kata supervisor kami sudah banyak kasus orang tergelincir di salju yang berakibat cukup fatal. Melebihi ekspektasi, ternyata pusat perbelanjaan di JR Tower sangat beragam dan lengkap—mulai dari Kafe-kafe, Toko Buku, Game Center, bahkan sampai toko-toko unik yang lebih spesifik seperti Disney Store dan Pokemon Store ada di JR Tower. Waktu 2 jam yang tersisa tidaklah cukup bagi kami untuk dapat menjelajahi seluruh sudut menara, membuat kami sama sekali tidak keberatan untuk datang ke menara itu lagi di malam berikutnya dengan membawa rombongan yang lebih banyak.
Hari kedua kami habiskan dengan mengunjungi SMA unggulan di kota Sapporo, Moiwa High School. SMA Moiwa, menurutku, bukan saja SMA dengan siswa-siswi terbaik di Sapporo, tapi juga adalah SMA dengan pemandangan terindah yang pernah kulihat.
Sekolahnya berlokasi tepat di kaki gunung Moiwa, sebuah gunung yang kini berselimut salju dan berwarna putih sejauh mata memandang. Ditambah lagi dengan siswa-siswinya yang sangat ramah dan welcoming. To be quite honest, my perception about the Japanese changed in an instant once I met the students…
Walaupun bahasa inggris mereka terbatas, tapi mereka tetap menyambut kami dengan senyum lebar dan semangat menggebu-gebu. Jauh berbeda dengan anggapan awalku akan orang-orang Jepang yang individualistis!
Hari ketiga, tanggal 30 Januari 2015, adalah highlight dari kesuluruhan kunjungan kami ke Jepang. Hari dimulai dengan kunjungan kami ke Oodori Park—taman kota Sapporo—dimana kami akan menyaksikan proses pembuatan patung-patung salju yang akan dipamerkan di festival musim dingin Sapporo mulai tanggal 5 Februari nanti, yaitu Sapporo Yuki Matsuri atau Sapporo Snow Festival. Sapporo Snow Festival inilah yang menjadi magnet penarik jutaan wisatawan setiap tahunnya.
Dengan takjub kuperhatikan bagaimana gumpalan-gumpalan salju itu disulap menjadi patung karakter-karakter Star Wars, Hello Kitty, dan Momotaro raksasa. Sungguh disayangkan Sapporo Snow Festival baru resmi dibuka saat kami sudah kembali ke Jakarta.
Agenda berikutnya, kami berhenti di sebuah padang salju luas dengan sebuah bangunan bulat di bagian belakang lapangan. Ternyata, kami sedang berada di Sapporo Dome—sebuah stadion internasional kota Sapporo dimana di stadion inilah olimpiade musim dingin tiap tahunnya diselenggarakan. Seharusnya, di sekeliling Sapporo Dome adalah sebuah padang rumput hijau yang luas— tapi, karena musim dingin, padang rumput tersebut sukses berubah menjadi sebuah padang salju luas dengan salju tebal yang masih ‘suci’.
Here’s the thing: Pada dasarnya, kami semua sangat penasaran akan salju. Tapi, rasa gengsi yang terlalu besar membuat kami sempat segan untuk langsung bergulingan di salju saat pertama kali menapakkan kaki disana, sebelum akhirnya salah seorang laki-laki diantara kami menjatuhkan diri di salju dan mulai membuat snow angel dengan menggesek-gesekkan kaki dan tangannya yang lebar di atas salju. Dan ya, ketika Bryan—nama si pelaku utama itu—selesai dengan snow angel nya dan mencoba bangun dari posisi tidur, gumpalan-gumpalan salju mulai berlemparan ke seluruh penjuru lapangan. Perang salju sudah resmi dimulai!
Banyak yang menjadi korban dari perang salju ini—ada yang ditimpuk, dibikin jatuh, bahkan dikubur oleh salju. Suhu yang saat itu sudah menyentuh -9° C walau hari masih siang seakan tidak berarti ketika kami sibuk bersenang-senang (dan berkeringat) di salju. Alhasil, setengah jam kemudian, saat kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan makan siang, seluruh wajahku telah menjadi merah dan tidak bisa digerakkan.
Perjalanan kami berikutnya di kota Sapporo masih berlanjut, sebelum akhirnya kami akan dilepas seutuhnya kepada orang tua angkat kami atau Host Family. Sebelum bertemu dengan Host Family masing-masing pada pukul 6 sore, kami melanjutkan agenda dengan mengunjungi Shiroi Koibito Chocolate & Biscuit Factory, sebuah pabrik cokelat & biskuit terkenal di Sapporo yang juga merangkap sebagai theme park karena menariknya atraksi yang disajikan.
Setelah itu, barulah kami menuju ke meeting point kami dengan para orang tua angkat.
Saat itu langit sudah berubah warna, dan bulan mulai mengintip dari balik awan musim dingin. Lama kelamaan, bintang semakin kentara terlihat, bertaburan di langit kota Sapporo yang cerah.
Sapporo adalah kota yang indah. How I miss feeling the warmness of the city while the snow deeply, quietly, and gracefully falling from the sky. Sejuta kenangan sudah ku ukir di langit malam saat itu, menanti suatu masa saat aku dapat kembali dan mengulang semuanya di kota yang sama: memori akan salju, penjelajahan malam, sekolah di kaki gunung, dan pabrik cokelat.
Yes, Sapporo is a place where my hearts decided to stay.