PROFIL RADEN DEWI SARTIKA
Raden Dewi Sartika merupakan tokoh perintis pendidikan perempuan yang diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pada tahun 1996. Sosok Dewi Sartika sendiri terlahir dari keluarga ternama di tanah Sunda, tepatnya di Cicalengka pada 4 Desember 1884.
Semasa kecil, ia sudah menerima pendidikan sesuai dengan budaya Sunda dari sang paman. Akan tetapi, sebelumnya Dewi Sartika sendiri sudah pernah mendapatkan pengetahuan mengenai budaya Barat. Lantas bagaimana kemudian ia menjadi sosok penting bagi pendidikan perempuan di tanah air?
Sejak kecil Dewi bermain sekolah-sekolahan dan berperan sebagai seorang guru, mengajari teman-temannya untuk membaca, menulis dan berhitung. Dewi bercita-cita mendirikan sekolah bagi anak gadis. Niatnya itu disampaikan kepada ibunya dan beberapa orang lainnya, tetapi tidak mendapatkan sambutan positif. Sang kakek R. A. A. Martanegara Bupati Bandung mendukungnya. Dukungan lain didapatnya dari Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran maka berkat bantuan kedua orang itu pada tanggal 16 Januari 1904 dibuka sekolah seperti yang dicita-citakan Dewi, diberi nama “Sekolah Isteri”.
Banyak kesulitan yang harus dihadapi Dewi pada awalnya, tetapi tetap tabah dan berusaha sekuat tenaga memajukan pendidikan bagi anak-anak gadis di daerahnya. Lama kelamaan sekolah ini mendapat perhatian masyarakat dan pembesar pemerintah. Cita-cita Dewi dapat diketahui dari karangannya berjudul “De Inlandsche Vrouw” (Wanita Bumiputera), yang mengemukakan bahwa pendidikan sangat penting, selain pendidikan susila, pendidikan kejuruanpun tidak kalah pentingnya bagi wanita. Tahun 1910 Sekolah Isteri berganti nama menjadi “Sekolah Keutamaan Isteri”. Dewi bermaksud mendidik kaum wanita agar mampu berdiri sendiri, tidak terlalu bergantung kepada suami.
Setahun kemudian Sekolah Keutamaan Isteri diperluas, sehingga semakin menarik perhatian wanita di daerah lain di Jawa Barat, bahkan sampai ke Sumatera. Tahun 1911 Gubernur Jenderal Hindia Belanda berkunjung ke Sekolah Dewi Sartika. Dua tahun kemudian isteri Gubernur Jenderal bersama puterinya juga berkunjung ke sekolah karena itulah pemerintah memberi penghargaan berupa bintang perak. Ketika pecah perang Dunia I, Dewi bersama suaminya bekerja keras mengatasi kesulitan yang dihadapi dan berhasil. Hal ini menarik perhatian Nyonya Tydeman dan Nyonya Hillen. Tahun 1929, berdirilah sebuah Gedung sekolah yang baru bagi “Sekolah Keutamaan Isteri”. Tantangan semakin berat, mutu sekolah harus ditingkatkan.
Pada tanggal 25 Juli 1939, RAdah Agah suaminya meninggal dunia, Dewi tetap meneruskan usaha mengasuh dan memimpin sekolah yang sudah dibina bersama suaminya sejak puluhan tahun. Tahun 1940 pemerintah sekali lagi memberikan penghargaan kepadanya karena jasa-jasanya di bidang pendidikan. Raden Dewi Sartika harus banyak mencurahkan perhatiannya untuk kelangsungan hidup sekolahnya. Makin lama kesehatannya semakin menurun dan wafat pada tanggal 11 September 1947.
Cita-cita Dewi Sartika dapat dilihat dari karangannya yang berjudul De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputera). Di situ, ia mengemukakan bahwa pendidikan sangat penting. Pendidikan susila dan pendidikan kejuruan sama pentingnya untuk dikuasai oleh perempuan.
Saat Dewi Sartika remaja, ia memperhatikan kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda. Menurutnya, kedudukan perempuan telah mengalami kemunduran. Kala itu, perempuan Sunda dianggap lebih lemah, dikekang dengan perkawinan paksa, dan sebagainya. Bahkan, mereka hanya menjadi lambang status seorang laki-laki setelah menikah. Pada masa itu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran.
-Faktor pertama, pengaruh Kerajaan Mataram. Feodalisme yang berkembang saat itu menempatkan istri sebagai lambang status seorang pria.
-Faktor kedua, pengaruh agama Islam. Terdapat miskonsepsi pada masyarakat dalam memahami konsep perempuan dalam Islam yang menganggap bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki.
-Faktor ketiga, perkawinan. Banyak hal yang memicu terjadinya kawin paksa atau kawin gantung (pernikahan anak-anak).
Perilaku masyarakat saat itu seakan menjadi tradisi yang mengekang kaum perempuan. Berangkat dari hal tersebut, Dewi Sartika bertekad untuk melakukan emansipasi perempuan. Emansipasi yang dimaksud mengarah pada peningkatan pemahaman dan kesadaran mengenai hak serta kewajiban masing-masing.
Dewi Sartika memikirkan bagaimana agar anak-anak perempuan di komunitasnya bisa memperoleh ilmu pengetahuan. Muncul ide Dewi untuk mendirikan sekolah khusus perempuan. Kemudian, ia berjuang mendirikan sekolah tersebut di Bandung, Jawa Barat.
Mendirikan sekolah, Pada zaman itu, keberadaan sekolah tidak banyak seperti sekarang. Bahkan, masyarakat dari golongan biasa kesulitan untuk mendapatkan akses ke pendidikan. Hanya anak-anak dari golongan priayi atau mereka yang mapan yang dapat bersekolah. Kemudian, Dewi Sartika meluluhlantakkan batasan tersebut dengan membuka akses pendidikan untuk semua golongan, terutama bagi perempuan. Dibuatlah sekolah yang bertujuan mencerdaskan kaum perempuan agar tercipta kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan, serta antara (perempuan) golongan priayi dan (perempuan) golongan biasa.
pendidikan serta memberdayakan hak-hak perempuan semestinya melecutkan semangat kita demi mewujudkan Indonesia yang lebih berdaya.
4 Desember 2021, bertepatan dengan hari lahir Dewi Sartika, semestinya menjadi momentum untuk mengingat kembali kiprah dan kontribusi Dewi Sartika selaku pelopor pendidikan kaum perempuan, khususnya di Tatar Sunda.
Sebagai bentuk penghargaan atas peran dan jasanya terhadap kemajuan pendidikan, nilai-nilai dan konsep yang disematkan Dewi Sartika, seperti cageur, bageur, dan pinter hingga kini terus diimplementasikan di lembaga pendidikan di bawah naungan Paguyuban Pasundan.
Sebelum Indonesia dilanda pandemi, setiap 4 Desember, Paguyuban Pasundan melalui Bidang Pemberdayaan Wanita dan Kesehatan Masyarakat bahkan rutin menggelar upacara peringatan hari lahir Dewi Sartika.
Paguyuban Pasundan juga mendukung penuh kala kisah Dewi Sartika hendak dijadikan film. Dikutip dari cakrawala.co, menurut Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si., pembuatan film Dewi Sartika akan memperkuat nilai kepahlawanan tokoh Pasundan dalam sejarah perjuangan NKRI.
Bukti cinta dan rasa hormat Paguyuban Pasundan pada figur Dewi Sartika juga pernah diusulkan kepada Wali Kota Bandung Periode 2013-2018, Ridwan Kamil, agar hari lahir pelopor pendidikan asal Jawa Barat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan Dewi Sartika Bagi Paguyuban Pasundan, Dewi Sartika adalah pejuang pendidikan yang layak jadi inspirasi. Terlebih, dalam budaya Sunda, kedudukan perempuan berada pada posisi yang bermartabat. Hal ini menggambarkan betapa perempuan mesti mendapat penghormatan tertinggi sebagaimana napas perjuangan yang digelorakan Dewi Sartika.
Generasi muda mesti menebar semangat dan kebermanfaatan layaknya Dewi Sartika yang tak kenal lelah untuk mengangkat harkat dan derajat bangsa “Kami ingin mewariskan nilai-nilai perjuangan Dewi Sartika pada generasi muda. Spirit yang ditebarkan Dewi Sartika diharapkan bisa mengalir dan menitis di hati para siswa dan generasi muda Indonesia.