By Kyasha Aurelia Armansyah 10.5
Puisi untuk Kartini
Raden Ajeng Kartini
Suaramu masih berdengung
Kau lahir di antara tembok-tembok pemisah rakyat kecil dan besar
Dulu, kaummu lemas terkunkang di balik lelaki
Perempuan hanya terlahir untuk menunggu tungku di dapur
Pikiran mereka terkurung dalam keegoisan
Kau memberontak
Kau meninggalkan sebuah jejak
Jejak penyemangat kaum hawa
Kau meningkatkan derajat wanita
Membangun semangat
Kau hapuskan dinding-dinding perbedaan
Hingga tiada perbedaan antara kaum Adam dan Hawa
Menelurkan sebuah harapan “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Jasamu telah terpatri dalam insan pertiwi
Seribu kata dalam satu ungkapan
Bahwa jasamu tak akan mungkin terlupakan
Oleh para wanita Indonesia
Raden Adjeng Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904) atau lebih sering disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh dari Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini merupakan seorang pejuang kemerdekaan dan kedudukan kaumnya pada saat itu, terutama wanita Jawa.
Kartini berasal dari pasangan Raden Mas Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Lahir dari keluarga priyayi, bagian depan nama Kartini pun ditambahkan Raden Ajeng (R.A).
Sosroningrat merupakan Pangeran Ario (P.A) Tjondronegoro IV yang merupakan Bupati Kudus. Sosroningrat memiliki delapan anak dari pernikahannya dengan Ngasirah di antaranya, Kartini dan adiknya, Raden Ajeng Kardinah yang begitu dekat dengannya.
Namun, Sosroningrat kembali menikah tahun 1875 dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, putri Bupati Jepara kala itu. Karena anggota keluarga bangsawan, status Moerjam adalah istri utama atau garwa padmi. Pernikahannya dengan Moerjam dikaruniai tiga anak perempuan, salah satunya Raden Ajeng Roekmini yang memiliki kedekatan dengan Kartini.
Sejak kecil, Kartini dikenal sebagai anak yang lincah dan aktif bergerak. Hal itu juga ia utarakan dalam suratnya kepada Estelle Zee-handelaar tanggal 18 Agustus 1899:
“Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi saya dimaki-maki juga sebab saya sering sekali tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan” (Sutrisno, 2014:15).
Bahkan, ayah dan kakaknya pun memberikan gelar Trinil yang sering disebut “Nil”. Trinil merupakan nama burung kicau yang kecil dan lincah.
Pada 1885 Kartini dimasukkan ke Sekolah Dasar Eropa atau Europesche Lagere School (ELS). Hal itu cukup bertentangan dengan tradisi kaum bangsawan yang melarang putrinya ke luar rumah.
Di ELS, Kartini menarik perhatian orang Eropa dengan kemampuan berbahasa Belandanya. Pengetahuan Kartini semakin bertambah.
Di usianya yang masih belia, dia sudah memahami pemikiran dan perjuangan pejuang wanita dari India, Pundita Rumambai. Hal itu diceritakannya kepada Nyonya Van Kol.
Kecakapan Kartini membuatnya bisa bergaul dengan pribumi dan orang dewasa dari Belanda. Kartini memiliki sahabat bernama Letsy Detmar, anak kepala sekolah.
Dia juga menjalin hubungan baik dengan istri asisten residen Jepara Nyonya Marie Ovink-Soer di lingkungan rumahnya.
Kartini selalu bersama Roekmini dan Kardinah sehingga disebut “Het Klaverblad” atau daun semanggi dan “Tiga Saudara” oleh Marie Ovink-Soer.
Awal 1892, Kartini yang belum genap 13 tahun lulus dari ELS dan harus menjalani pingitan yang sesuai dengan tradisi bangsawan. Padahal, dia ingin meneruskan pendidikannya ke HBS Semarang tetapi ditolak oleh ayahnya.
Masa pingitan selama empat tahun yang menyedihkan itu dijalaninya dengan membaca buku.
Bacaan yang disukainya adalah buku pengetahuan karena membuatnya lupa akan kesedihan hidup yang harus dijalani. Buku-buku tersebut akan terus dibaca dan dibuatkan catatan kecil yang berisi tema-tema bernilai penting.
Ayahnya dan kakaknya, R.M. Sosrokartono, menjadi orang yang bersedia memenuhi kebutuhan Kartini akan bahan bacaan.
R.A Soelastri, kakak perempuan tertua, akhirnya menikah dan membuat Kartini menempati posisinya di rumah tersebut. Roekmini dan Kardinah pun memasuki masa pingitan.
Kartini kembali merajut kebersamaan dengan Roekmini dan Kardinah selama masa pingitan. Hak Kartini untuk mengatur adik-adiknya dimanfaatkannya mengubah beberapa tradisi feodal.
Adik-adik Kartini tidak lagi harus menyembah dirinya dan tidak wajib berbicara dengan bahasa Jawa krama inggil. Perubahan yang dilakukan oleh Kartini merupakan bentuk perombakan terhadap tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kalangan bangsawan.
Meski demikian, Kartini tetap memberikan hormat kepada orang yang lebih tua sebagaimana lazimnya adat dalam kalangan bangsawan.
Pengaruh Kartini tertanam kuat pada Roekmini dan Kardinah. Mereka bertekad untuk mendukung gagasan kakaknya. Tiga saudara sepakat bahwa kemajuan suatu masyarakat tidak akan tercapai tanpa memajukan terlebih dahulu kaum perempuan.
Kartini pun menyadari bahwa pada masa perjuangan kemerdekaan, hanya perempuan bangsawan saja yang mendapatkan kesempatan pendidikan. Semasa hidupnya, kaum perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan yang tinggi. Menurut tradisi, anak perempuan hanya diperbolehkan duduk diam di rumah mengurus suami dan anak. Dari peristiwa itu jugalah, timbul tekad R.A Kartini untuk memajukan kaum pribumi agar tidak dipandang rendah.
R.A Kartini ingin menunjukkan jika perempuan tidak hanya ‘konco wingking’, artinya perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan. Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup tak harus atas paksaan orangtua dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya
Kartini memulai perjuangannya saat dia mendirikan sekolah khusus putri di Jepara. Di sekolah tersebut, mereka diajarkan cara menjahit, menyulam, dan memasak. Kartini juga kerap menuliskan surat untuk temannya di Belanda bernama Rosa Abendanon, yang berisikan keinginannya untuk menaikkan derajat wanita Indonesia. Kartini bahkan bercita-cita untuk menjadi seorang guru, meski keinginan tersebut tak pernah terwujud karena dia harus menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Suami Kartini sangat mendukung cita-citanya. Kartini diizinkan membangun sebuah sekolah khusus putri di Rembang (sekarang jadi Gedung Pramuka).
Kemudian, R.A Kartini juga berjuang untuk kaumnya, melalui tulisan yang dimuat oleh majalah perempuan di Belanda yang bernama De Hoandsche Leile. Dalam suratnya tersebut, R.A Kartini menyatakan keprihatinannya atas nasib-nasib orang Indonesia dibawah kondisi Pemerintah Kolonial. Tulisan-tulisannya itu dibukukan, kemudian diberi judul Door Duisternis tot Licht atau Kegelapan menuju Cahaya, sehingga pada tahun 1922 tulisan tersebut diterbitkan menjadi buku kumpulan surat R.A Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Kartini meninggal pada usia muda, 25 tahun, empat hari setelah melahirkan anak pertamanya pada 17 September 1904.
Adapun tiga peran penting yang perlu dijaga perempuan Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada R.A Kartini, yaitu,
1. Dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga perempuan mampu turut serta dalam pembangunan
2. Terus meningkatkan kualitas diri, wawasan sebagai bekal dalam pendidikan anak-anak. Jadilah kartini-kartini milenial yang melek teknologi dan tidak gagap akan informasi
3. Perempuan bebas berekspresi, mengutarakan mimpinya, mewujudkan ide-ide kreatifnya, menyalurkan bakatnya, membuat gerakan, dan menyuarakan hasil pemikirannya yang bermanfaat bagi sekitarnya.
RA Kartini pun ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964. Menghormati sejarah perjuangannya, dan guna mengingat pahlawan emansipasi perempuan Indonesia, hari lahir RA Kartini pada 21 April disematkan sebagai Hari Kartini, yang masih kita peringati hingga saat ini.