Hidup di zaman dimana status sosial perempuan masih dianggap rendah dan hak kebebasan yang sangat terbatas. Seorang perempuan pada masa itu, berlandaskan keberanian dan jiwa yang besar dengan bangga memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia. Itulah Kartini, seorang pahlawan perempuan dari Jepara.
Hola, P-assengers! Untuk memperingati Hari Pahlawan ini. Saya, Naila Alya dari Departemen CDMS dengan senang hati akan memperkenalkan pahlawan yang sangat menginspirasi hidup saya. Yaitu, R.A Kartini. Hal ini mungkin terdengar mainstream, namun kekaguman terhadap Kartini telah tumbuh dalam jiwa saya sejak saya kecil. Tetapi ini bukan suatu hal yang mengejutkan, bukan? mengingat kisah hidup R.A Kartini yang sangat menginspirasi jiwa-jiwa muda yang mengetahuinya. P-assengers tentunya harus mengetahui juga tentang kisah hidup Kartini. Because, one story can change the world and with reading you can make world better!
Pada masa perjuangan kemerdekaan, hanya perempuan bangsawan saja yang mendapatkan kesempatan pendidikan. Semasa hidupnya, kaum perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan yang tinggi. Perempuan hanya diperbolehkan duduk diam di rumah mengurus suami dan anak. Raden Ajeng Kartini adalah tokoh pahlawan wanita yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879.
Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat serta Ibunya bernama M.A. Ngasirah. Ayah Kartini merupakan seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara saat setelah Kartini dilahirkan. Kartini merupakan anak ke lima dari sebelas bersaudara dan merupakan anak perempuan tertua.
Berbeda dengan kebanyakan anak pribumi saat itu, Kartini memiliki kesempatan yang berbeda karena ia dapat bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). ELS merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi orang Belanda dan orang Jawa yang kaya. Kartini dapat bersekolah di ELS karena beliau merupakan seorang keluarga bangsawan. Pada tahun 1885, Kartini bersekolah di Europesche Lagere School (ELS) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD). Bahasa pengantar di ELS adalah bahasa Belanda, dengan mempelajari bahasa belanda di ELS Kartini bisa meningkatkan kemampuan bahasanya. Sayangnya, Kartini hanya bersekolah sampai usia 12 tahun, karena terbatasi oleh tradisi. Dahulu, terdapat tradisi di Jawa bahwa Wanita yang sudah memasuki masa pingitan harus dipingit dan tinggal di rumah. Hal ini yang membuat Kartini harus meninggalkan sekolah karena usia nya sudah masuk ke dalam masa pingitan yang mengharuskan ia untuk selalu tinggal di dalam rumah.
Pada masa pingitan, kartini selalu berada di dalam rumah karena keinginan Ayahnya. Akhirnya pada masa itu Kartini mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan yang beliau baca di taman rumah. Sejak saat itu, Kartini jadi gemar membaca dan sering bertanya kepada Ayahnya. Berkat kebiasaan baru ini ketertarikan Kartini kepada ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan pada perempuan dimulai.
Mengutip dari situs Kemdikbud Jateng, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa yaitu Wanita Belanda yang saat itu tinggal di Indonesia pada masa penjajahan. Melihat Perempuan Eropa yang dapat dengan bebas menuntut ilmu dan tidak dibatasi ol eh perspektif masyarakat yang memandang mereka rendah, timbul keinginan dari diri Kartini untuk memajukan kehidupan wanita Indonesia. Masyarakat Indonesia pada saat itu masih memiliki pandangan bahwa perempuan hanya hidup di dapur, namun Kartini beranggapan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk menuntut ilmu selayaknya kaum lelaki mendapatkan kesempatan tersebut.
Perjuangan kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita dimulai melalui aksi nya mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Di tengah kesibukannya itu, ia tidak berhenti membaca dan menulis surat kepada teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Salah satu orang Belanda yang berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Marie Ovink-Soer. Ovink-Soer menjadi sahabat Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi. Berkat Ovink-Soer Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun.
Kartini memiliki sahabat pena Bernama Estella Zeehandelar. Korespondensi Kartini dengan Stella membuat pikirannya makin terbuka. Tulisan Kartini dalam suratnya pun menjadi rekaman pemikiran dan gagasan Kartini yang dianggap luar biasa. Dalam suratnya, Kartini bercerita tentang kondisi perempuan seperti dirinya yang merasa terkekang, bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri. Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, tentang bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.
Kartini sempat menulis surat kepada Mr.J.H Abendanon dan memohon agar diberikan beasiswa untuk bersekolah di Belanda. Namun, kesempatan mendapatkan beasiswa tersebut tidak sempat dimanfaatkan Kartini. Ia tidak bisa memanfaatkan beasiswa tersebut karena ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang bangsawan Bernama Raden Adipati Joyodiningrat, Dengan berat hati, Kartini memutuskan menerima lamaran pernikaha tersebut. Namun ada syarat yang harus dipenuhi oleh Raden Adipati Djojo Adiningrat yaitu Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini. Dan, Kartini diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.. Akhirnya Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Kartini menikah pada 8 November 1903. Setelah pesta pernikahannya, Kartini mencurahkan perhatiannya dalam pendirian organisasi para bangsawan bumiputera di Jawa dan Madura. Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadiningrat. Empat hari setelah melahirkan, Kartini wafat. Kepergian Kartini mengejutkan banyak pihak seperti suami, ayah, kakak, dan adiknya, serta rekan-rekan Kartini yang selalu mendukung prosesnya mengenyam pendidikan. Kartini disemayamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Penghormatan banyak disampaikan kepadanya. Pemikirannya juga diingat oleh penduduk di Rembang dan Jawa. Nah, P-assengers selesai sudah cerita perjalanan dari Kartini, sangat menginspirasi bukan?. Kisah perjuangan Kartini mengajarkan kita, para generasi muda terutama para perempuan untuk senantiasa menuntut ilmu setinggi mungkin. Perjuangan Kartini membuat kita tak lagi terkekang dalam batasan untuk menuntut ilmu. Sekarang saatnya kita, para generasi muda Indonesia untuk meneruskan jejak perjuangan Kartini. Jadi, yuk kejar mimpi setinggi-tingginya!. Kalau orang lain bisa, kenapa P-assengers tidak bisa?. See you di titik terbaik, P-assengers!.