Ketika mendengar kata pahlawan, kebanyakan orang pasti langsung mengartikannya sebagai seseorang yang bertempur di medan perang. Namun, apakah hanya itu saja?
Tentu tidak. Pahlawan tak selalu identik dengan sosok yang mengenakan pakaian berperang atau meniti kisah heroik dalam pertempuran. Pahlawan juga bisa berupa individu yang telah mengorbankan segala sesuatu untuk kepentingan bersama. Mereka juga memberikan inspirasi dan membawa perubahan positif yang besar terhadap masyarakat hingga dapat dikenang sepanjang masa. Jika harus memilih satu tokoh yang menginspirasi saya hingga saat ini, seorang perempuan hebat dengan sebutan “R.A. Kartini” merupakan sosok yang paling pertama terlintas di kepala saya.
Pada era sekarang, pasti mengherankan jika ada yang tidak familiar dengan nama Kartini. Beliau merupakan salah satu pahlawan yang paling terkenal di Indonesia. Bahkan, ada lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”, yang berisi pujian kepada beliau. Perannya dalam perjuangan untuk hak-hak perempuan dan pendidikan perempuan di Indonesia lah yang membuatnya dikenal oleh semua orang dari segala kalangan hingga saat ini. Selama ini, kira-kira itu saja yang kita ketahui mengenai Kartini. Jadi, marilah kita ketahui sedikit lebih lanjut mengenai beliau dan perjuangannya !
Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Pada masa Kartini tumbuh, budaya Jawa sangat membatasi perempuan dalam masyarakat. Namun, dia memiliki tekad yang kuat untuk menghancurkan batasan tersebut.
Kartini lahir di keluarga Ningrat sehingga bisa mendapatkan pendidikan dasar di Eropa dan berteman dengan anak-anak pejabat Hindia Belanda. Karena bergaul dengan beragam siswa, terbentuklah karakter Kartini menjadi seseorang dengan pemikiran terbuka. Salah satu teman dari Kartini pernah bertanya mengenai cita-cita beliau. Kartini bingung dan tidak tahu jawaban dari pertanyaan tersebut. Kemudian, terngiang-ngiang pertanyaan tersebut di pikiran Kartini dan membuatnya bertanya kepada ayahnya. Jawabannya singkat, yaitu kelak ia akan menjadi Raden Ayu.
Waktu berlalu, Kartini yang berusia 12 tahun sudah menyelesaikan Pendidikan dasar. Ketika lulus, Ia menghadapi kenyataan yang pahit. Ketika anak-anak Indonesia, khususnya Perempuan di masa kini dapat menjunjung Pendidikan setinggi mungkin, Kartini pada zamannya tidak diperbolehkan untuk sekolah sebab diharuskan untuk menjadi seorang Raden Ayu. Apa itu Raden Ayu?
Raden Ayu adalah gelar kebangsaan Jawa untuk Perempuan yang harus menikah dengan laki-laki Ningrat lainnya. Menjadi Raden Ayu berarti harus melepaskan kebebasannya sebagai manusia. Sebelum menjadi Raden Ayu, ada sebuah proses bernama pingitan untuk remaja bangsawan yang sudah menginjak 12 tahun. Kartini melewatkan upacara cukur rambut, turun bumi, dan lainnya. Pada masa itu, Kartini merasa iri dengan teman-teman dan saudara-saudaranya yang masih bersekolah.
Zaman dahulu, khususnya di Jawa, seorang istri harus memiliki tatanan tertentu dalam berkomunikasi yang seakan-akan menurunkan derajat Perempuan disbanding laki-laki. Bahkan, cara berkomunikasi seperti gestur dan cara melihat lawan bicara pun ada aturannya. Kartini merasakan, bahwa Perempuan pribumi juga pantas mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.
Di masa pingitan, Kartini melawan kejenuhannya dengan membaca karya sastra feminis dan anti perang. Buku-buku tersebut, yang dikirim oleh saudara laki-lakinya yang bersekolah di luar negeri semakin memotivasi Kartini untuk memperjuangkan nasib-nasib perempuan Indonesia agar menjadi setara dengan laki-laki.
Walaupun tidak menempuh pendidikan tinggi, Kartini memiliki kemampuan menulis yang luar biasa. Pemikiran Kartini tidak hanya terekam dalam kepalanya dan menjadi tulisan. Ia mulai memperlihatkan pemberontakannya pada nilai-nilai lingkungan disekitarnya terhadap dua adik perempuannya. Kartini tidak ingin adik-adiknya ikut mengamalkan adat Jawa kuno dimana seorang adik harus melakukan hal-hal seperti berjalan jongkok didepannya, menyembah, dan hal-hal semacamnya. Keyakinan dan semangat Kartini memperjuangkan haknya sebagai manusia yang setara bersama adik-adiknya pun berhasil meyakinkan ayahnya untuk menghindari mereka dari pingitan pada tahun 1898.
Lepas dari pingitan, Kartini mendirikan sekolah pertama untuk perempuan pribumi di tanah Hindia Belanda. Awalnya, sekolah itu berisi satu orang murid. Bagi orang-orang pribumi, menyekolahkan perempuan adalah hal yang aneh dan radikal. Selain mengajar perempuan pribumi, Kartini juga aktif mengeluarkan pemikirannya dengan sahabat penanya di Belanda yang bernama Stella. Dari Stella, Kartini mengenal lebih banyak tokoh feminis Eropa.
Kartini dalam pingitan masih punya keinginan besar untuk menuntut ilmu dan melihat dunia secara lebih luas. Ia mengajukan permintaan untuk sekolah ke luar negeri ke Direktur Departemen, namun ditolak karena tidak mau masyarakat lokal memiliki presepsi negatif terhadap Kartini. Pertimbangan lainnya adalah sekolah yang dibangun oleh Kartini siswanya semakin bertambah dan terus berkembang. Selain itu, kondisi Kesehatan ayah Kartini semakin memburuk. Oleh karena itu, keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri harus diundur.
Ketika Kartini berusia 24 tahun, ia ingin melanjutkan studinya sebagai guru. Tetapi, keinginan tersebut terhalang, karena ia mendapat lamaran pernikahan dari seorang bupati. Ia dilamar untuk menjadi istri keempatnya. Awalnya, Kartini tidak mau. Namun, saat itu, wanita yang usianya sudah mencapai 24 tahun dan masih melajang adalah sebuah aib dan membuat kondisi ayah Kartini semakin parah. Melihatnya, Kartini menjadi bersedia untuk dinikahi bupati tersebut. Tetapi, terdapat beberapa syarat, yaitu Kartini tidak ingin melakukan dan menaati ketentuan-ketentuan yang melambangkan ketidaksetaraan. Bupati tersebut pun menerima syarat itu karena wasiat mendiang istrinya yang ingin anak-anak mereka dibesarkan oleh Kartini.
Dari pernikahannya, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama R.M. Soesalit. Sayangnya, empat hari setelah melahirkan, kondisi Kartini menurun secara drastis. Ia pun meninggal dunia pada usianya yang ke 25.
Setelah wafat, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Kumpulan surat-surat itu ia susun menjadi sebuah buku yang berjudul “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini membuat geger Amsterdam ketika diterbitkan pada tahun 1911. Dari buku yang berisikan gagasan Kartini itu pun, Ia semakin dikenal sebagai sosok perempuan yang menjadi inspirasi sekaligus pelopor dari revolusi budaya di tanah Nusantara.
Siapa pahlawanku? Pahlawanku adalah Kartini, sosok yang melalui tekad dan semangatnya membuka pintu bagi perubahan yang lebih baik dan lebih adil bagi seluruh kalangan perempuan di Indonesia. Pengaruh Kartini tidak hanya terbatas pada masa hidupnya, tetapi juga meluas hingga generasi-generasi berikutnya. Dalam hidupnya yang singkat, Kartini telah meletakkan dasar untuk perubahan besar dalam masyarakat Indonesia. Dia adalah pahlawan yang tidak hanya menginspirasi perempuan, tetapi juga seluruh masyarakat untuk berjuang demi kesetaraan dan keadilan.