R.A KARTINI

Raden Adjeng Kartini  atau lebih sering disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh dari Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini merupakan seorang pejuang kemerdekaan dan kedudukan kaumnya pada saat itu, terutama wanita Jawa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, hanya perempuan bangsawan saja yang mendapatkan kesempatan pendidikan. Semasa hidupnya, kaum perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan yang tinggi. Perempuan hanya diperbolehkan duduk diam di rumah mengurus suami dan anak.Dari peristiwa itu, timbullah tekad R.A Kartini untuk memajukan kaum pribumi agar tidak dipandang rendah. Beliau ingin menunjukkan, bahwasanya wanita juga bisa memiliki peran yang lebih sekedar berdiam diri di rumah, tetapi juga mengenyam pendidikan yang tinggi, serta berkontribusi untuk kemajuan bangsa Indonesia. Raden Ajeng Kartini atau R.A Kartini, adalah seorang perempuan asal Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Kartini merupakan keturunan bangsawan, oleh karena itu gelar Raden Adjeng disematkan kepadanya.

Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosoningrat dan M.A Ngasirah. Ayah Kartini adalah bupati Jepara saat itu. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara. Berbeda dengan kebanyakan anak pribumi saat itu, Kartini berkesempatan untuk sekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi orang Belanda dan orang Jawa yang kaya. Di ELS, Kartini belajar bahasa Belanda. Sayangnya, Kartini hanya bersekolah sampai usia 12 tahun, karena sudah memasuki masa pingitan. Dulu ada tradisi wanita Jawa harus dipingit dan tinggal di rumah. Karena belajar bahasa Belanda di ESL, R.A Kartini bisa membaca dan menulis bahasa Belanda. Selama dipingit, ia belajar sendiri membuat dan berkirim surat dengan teman-temannya dari Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon. Tak disangka surat-surat Kartini pada sahabat-sahabatnya di Belanda berhasil dikumpulkan oleh Jacques Henrij (J.H) Abendanon . J.H Abendanon merupakan suami salah satu sahabat penanya Kartini, Rosa Abendanon. Merekalah yang biasa dikirim surat oleh Kartini. Pada merekalah Kartini biasa menyampaikan tulisannya.

Melalui korespondensi atau surat-menyurat yang dilakukan Kartini dengan sahabat penanya di Negeri Belanda, ia mengabarkan ihwal ketimpangan dan ketidaksetaraan kondisi pendidikan perempuan di Indonesia dan hal ini dibahas di dalam buku Kartini Guru Emansipasi Perempuan Nusantara. Ia juga membaca berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemikiran RA Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi. Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju. Menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit. Tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan. Cita-cita luhur RA Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi. Itu dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan Masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan RA Kartini. Kartini dinikahkan pada usia 24 tahun, tepatnya di tanggal 12 November 1903. Kartini menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, tetapi bukan menjadi istri pertama, melainkan dijadikan istri keempat. Masih dengan pendiriannya yang ingin memajukan nasib perempuan, Kartini didukung penuh oleh sang suami. Bahkan Kartini diberikan kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur kompleks kantor kabupaten Rembang saat itu. Melalui sekolah tersebut semangat Kartini menguat dan tak dapat membendung untuk mewujudkan keinginannya membebaskan para Wanita .

Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903. Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah. Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang. Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah. Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini. Seiring waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa. Hal lain yang menjadi perhatian Kartini tentang ketidakadilan terhadap wanita adalah berkembang suburnya poligami.

Kartini juga berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat, dan merasakan betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya. Hal inipun dilakukan oleh orang tuanya, abang-abangnya dan para raden mas yang lainnya di lingkungan Kabupaten Jepara dan kabupaten-kabupaten lainnya. Hal penting yang menjadi perhatian Kartini terhadap kasus poligami adalah adanya dorongan dari orang tua agar anaknya mendapat suami dari kaum bangsawan dengan tujuan untuk memperoleh kehormatan dan kemewahan.Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka merupakan anak-anak dari keluarga yang melarat yang terdiri dari petani dan buruh pabrik. Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Dikawini oleh bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal.

“ Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu tapi satu-satunya hal yang dapat menjatuhkanmu adalah sikap diri mu sendiri “

-R.A. KARTINI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *