2015.
Tanggal 17, bulan 08.
PRAK PRAK PRAK PRAK
Terdengar suara hentakan sepatu dari arah lapangan.
Dari balkon di depan ruang 304, aku menunduk melihat ke asal suara.
Deretan siswa-siswi berseragam olahraga ala 81, didampingi barisan berjas abu-abu, dibuntuti barisan berjas kuning gading.
Salah satu dari mereka adalah teman sekelasku. Ia berdiri di sana, mewakili kelas kami.
Iri? Suatu kebohongan jika ku katakan tidak. Tapi apa rasa iri itu dapat merubah keadaan? Tentu tidak.
2016.
Tanggal 13, bulan 05.
Hari ini adalah kedua kalinya angkatanku mendapat pelatihan kepemimpinan, dan kali ini yang melatih adalah siswa—kakak kelas kami. Untuk menunjukkan bahwa kami adalah angkatan yang kompak, mau tak mau kami harus berkenalan—bahkan harus langsung bekerja sama dengan murid kelas lain yang mungkin sebelumnya kami belum terlalu mengenalnya, atau mungkin belum pernah mendengar namanya.
Tanggal 14, bulan 05.
Hari penentuan, hari penjurusan. Pada hari ini, kami disuruh menetapkan tujuan kami untuk ke depannya, dan membagi kami ke ruangan-ruangan. Aku membuat keputusan untuk memasuki suatu ruangan— yang aku tidak akan menyesal telah memilih untuk masuk ke sana. Dan saat itu aku sadar bahwa fisik, mental, dan komitmenku akan diuji.
Tanggal 16, bulan 05.
Sore itu, aku dan orang lain yang telah memilih untuk memasuki ruangan yang sama dikumpulkan di lab kimia. Dalam 15 menit, lahirlah keputusan-keputusan penting, dan diberitahukan pula tugas-tugas yang harus kami lakukan ke depannya. Dan sejak hari itu, perjuangan kami resmi dimulai.
Bulan 06-08.
Pada tanggal-tanggal ini, kami melewati proses-proses menyiapkan diri untuk menghadapi tujuan akhir kami. Semuanya kami hadapi bersama-sama. Satu demi satu dari kami pun berguguran, tapi perjuangan yang telah kami lewati bersama tidak akan pernah terlupakan.
Dan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada sekitaran bulan-bulan ini, adalah waktunya liburan. Entah aku akan menghabiskan waktuku sekaligus menghabiskan uang dengan berjalan-jalan melepas penat bersama teman maupun keluarga, ataupun hanya bersantai menikmati waktu luang di rumah.
Tapi untuk tahun ini, tidak ada lagi yang namanya “libur panjang dengan waktu luang—yang panjang juga”. Kalaupun ada waktu luang, pasti tidak berjalan lama. Dan liburan ini, bisa terbilang paling boros dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bukan karena aku pergi menonton bioskop tiap hari, atau makan-makan di restoran mahal, tetapi karena aku harus pulang pergi ke sekolah setiap hari, bahkan di saat akhir pekan. Yah—itu juga salah satu konsekuensi karena aku memilih untuk bersekolah di daerah yang jauh dari rumah. Di samping boros uang, boros waktu dan tenaga pula. Awalnya pasti terasa berat, tapi seiring berjalannya waktu, jadi terasa lebih ringan karena sudah terbiasa.
Selain mondar-mandir dari rumah ke sekolah sendiri, aku juga harus ke sekolah dan rumah orang lain demi melaksanakan tugas yang diberikan. Walaupun melelahkan, manfaat dari tugas itu dapat terasa.
Lebaran tahun ini pun terasa berbeda. Jika biasanya saat lebaran hanya memikirkan soal jumlah uang angpau yang akan didapat, atau tempat wisata yang ingin dikunjungi saat pulang kampung, tahun ini, di otak terselip pikiran mengenai tugas liburan yang diberikan bukan oleh guru, tetapi oleh sesama siswa—yang tingkatannya lebih tinggi. Tidak, ini bukanlah suatu perkeloncoan, tapi ini juga termasuk dalam tugas yang disebutkan di atas.
Bukan hanya berkorban materi, pikiran, ataupun waktu, aku juga harus mengorbankan kesempatan berlibur dengan teman-teman yang sudah direncanakan matang-matang sejak lama. Apakah timbul rasa kecewa? Itu pasti, tapi aku tidak menyesal.
Tanggal 05, bulan 08.
Hari sebelumnya, aku telah membuat suatu keputusan yang dapat dibilang sangat besar. Dan pada hari ini lah, aku harus melakukan langkah pertama dalam menjalankan keputusanku itu. Hari di mana seharusnya aku belajar di kelas menimba ilmu untuk masa depan, tapi hari ini tidak. Aku harus mondar-mandir dari lantai 3 ke lantai dasar, dari gedung satu ke gedung lainnya. Hari di mana aku merasa sangat lelah, padahal aku tidak mengikuti pelajaran sama sekali.
Tanggal 08, bulan 08.
Hari kedua aku tidak mengikuti pelajaran seharian. Tujuannya, masih sama seperti kemarin. Mengunjungi kelas-kelas, mempromosikan diri. Dari kelas tingkat atas hingga tingkat bawah. Tensi yang dirasakan di tiap kelas pun berbeda-beda. Dengan keberagaman karakter warga sekolah, respon yang didapat juga sangat beragam. Ada yang membuat bersemangat, ada juga sebaliknya.
Tanggal 09, bulan 08.
Ketika yang lain diuji secara fisik, saat itu mental dan kemampuanku berbicara di depan umum yang diuji. Jika ditanya, apa aku merasa tegang? Tegang itu pasti, tapi yang terpenting adalah untuk tidak menunjukkannya ke hadapan orang, dan ketegangan itu tidak mempengaruhi kelakuanmu.
Satu demi satu, sekumpulan siswa mulai membentuk lapisan barikade, untuk melindungi meja-meja yang tersusun menjadi sebuah panggung di tengah lapangan. Setelah barikade selesai dibentuk, kunaiki panggung itu, dan mulai saat itu waktu terasa berjalan perlahan. Kegiatan itu sempat terhenti karna satu dan lain hal, tapi untungnya, acara hari itu berjalan sukses. Banyak hal yang terjadi saat itu, tapi ketika ku turuni panggung, beban di pundak terasa terangkat.
Seusai kegiatan tadi, masih ada rangkaian kegiatan yang dari sana dapat terlihat hasil perjuanganku beberapa hari belakangan. Walaupun hasilnya kurang maksimal, tapi aku merasa puas. Banyak pelajaran yang dapat dipetik hari itu.
Tanggal 10, bulan 08.
Ketika matahari sedang terik-teriknya, sekumpulan siswa berbaju putih dengan celana batik, berkopiah hitam, dan berselendang sarung berjalan ke tengah lapangan dan menyanyikan serangkaian lagu. Bercerita tentang perjuangan mereka, dan berterimakasih untuk orang-orang yang telah membantu perjuangan itu. Dilanjutkan dengan kumpulan siswa berbaju biru dengan jubah hitam, turut menyuarakan suara hati dan kisah mengenai perjuangan mereka. Ditutup dengan mereka semua berkumpul bersenandung ria bersama. Walau terdapat beberapa hambatan, hari itu berjalan dengan meriah.
Tanggal 17, bulan 08.
Hari ini , Indonesia-ku bertambah tua.
Ku langkahkan kaki memasuki kawasan sekolah dengan santai.
Setelah berpantohir selama sekitar 1 jam untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia, aku kembali membentuk barisan di depan tempat ibadahku.
Walau pemandangan tahun ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya banyak hal yang berbeda.
Masih ada deretan siswa berjas abu-abu dengan dibuntuti siswa-siswi berjas kuning gading. Yang berbeda adalah seragam siswa yang mereka iringi, putih abu-abu.
Tanpa diawali lari juang, yang seharusnya di kegiatan itu, kekuatan fisik mereka diuji.
Tanpa adanya LDKS 2, yang seharusnya di kegiatan itu, mereka diberi bekal tambahan untuk diterapkan 1 tahun ke depan. Yang seharusnya di kegiatan itu, ikatan mereka diperkuat.
Dan hal lainnya adalah, my point of view.
PRAK PRAK PRAK PRAK
Suara hentakan kaki yang masih sama, mengawali rangkaian acara yang tujuan utamanya masih sama pula—pemindahan jas. Hari itu, hari di mana banyak air mata jatuh dengan alasan beragam. Haru, sedih, ataupun kecewa.
Hari itu, puncak perjuangan kami. 71 tahun yang lalu, pada hari yang sama, puncak perjuangan para pahlawan.