Perjuangan Cut Nyak Dien, Pahlawan Wanita dari Aceh yang Berperang Melawan Penjajah

Halo, P-assengers! Kembali lagi dengan artikel PIDAS81! Bagaimana kabar kalian, nih? Semoga tetap dalam keadaan baik-baik saja ya. Kali ini kita akan membahas salah satu pahlawan wanita dari Aceh yang telah memperjuangkan bangsa Indonesia. Kira-kira siapa yaa? bener bangett nihh, pahlawan yang aku maksud adalah Cut Nyak Dien!. Jadii yuk baca sampai akhir!

Cut Nyak Dien, seorang keturunan dari bangsawan Aceh ini lahir pada tanggal 12 Mei 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Ayah dari Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Semasa kecil, Cut Nyak Dien dikenal sebagai gadis yang cantik dan cerdas, terutama dalam pendidikan agamanya. Maka dari itu, banyak laki-laki yang suka dan berusaha untuk melamar Cut Nyak Dien. Pada usia yang terbilang masih sangat muda yaitu 12 tahun Cut Nyak Dien dijodohkan dengan Teuku Ibrahim anak dari Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII. Akhirnya Cut Nyak Dien dan Teuku Ibrahim pun menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Teuku Ibrahim adalah pemuda yang berwawasan luas dan taat pada agama.

Pada saat penjajahan, Teuku Ibrahim seringkali meninggalkan Cut Nyak Dien dan anaknya untuk berjuang melawan kolonial Belanda. Berbulan-bulan setelah meninggalkan Lam Padang, Teuku Ibrahim kembali datang untuk menyerukan perintah mengungsi dan mencari perlindungan di tempat yang aman. Atas seruan dari
suaminya itu, Cut Nyak Dien bersama penduduk lainnya kemudian meninggalkan daerah Lam Padang pada 29 Desember 1875.

Lalu Cut Nyak Dien pun mendapat kabar duka bahwa pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim suami dari Cut Nyak Dien wafat saat berjuang melawan kolonial Belanda. Mendengar kabar itu, Cut Nyak Dien pun merasa sangat terpuruk dan sangat marah. Cut Nyak Dien tidak putus asa, ia mempunyai tekad yang kuat untuk melanjutkan perlawanan suaminya dan membalaskan dendam kepada kolonial Belanda.

Setelah wafatnya Teuku Ibrahim, pada tahun 1880 Cut Nyak Dien pun menikah lagi dengan Teuku Umar. Pernikahan Cut Nyak Dien dan Teuku Umar terbilang merupakan kisah yang menarik karena mereka menikah untuk bersatu melawan penjajah dan Cut Nyak Dien beralasan ingin berjuang bersama laki-laki yang memperbolehkannya turun ke medan perang untuk melawan kolonial Belanda. Dari pernikahan ini, mereka mempunyai seorang anak Perempuan yang Bernama Cut Gambang.

Bersatunya Cut Nyak Dien dan Teuku Umar menjadikan para pejuang Aceh semakin bersemangat dan berkobar. Teuku Umar pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia mencoba untuk mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang Belanda.

Pada 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 menyerahkan diri kepada Belanda di Kutaraja. Belanda senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka dan memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Lalu menjadikan Teuku Umar komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Demi memuluskan strategi untuk mengalahkan Belanda, Teuku Umar rela dicap  sebagai penghianat. Teuku Umar lalu mencoba mempelajari bagaimana taktik Belanda dan pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.

Ketika jumlah orang Aceh sudah cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda bahwa ia ingin menyerang basis Aceh. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan semua pasukan, persenjataan, amunisi Belanda dan tidak pernah kembali. Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya.

Pada tanggal 11 Februari 1899 Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh. Akhirnya Teuku Umar tewas tertembak peluru. Ketika mendengar kabar itu, Cut Gambang, anak Cut Nyak Dien menangis karena kematian ayahnya kemudian ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluk dan berkata “Sebagai Perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba untuk melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Cut Nyak Dien juga sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

Anak buah Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot pun melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh.
Namun, aksi Cut Nyak Dien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena Belanda ketakutan jika kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang pada tahun 1906 bersama dengan tahanan politik Aceh lain. Tentara Belanda dilarang untuk mengungkapan identitas tahanan, maka hingga akhir hidupnya identitas asli Cut Nyak Dien tidak diketahui oleh warga Sumedang.  Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia disebut sebagai “Ibu Perbu”. Meski kesulitan berkomunikasi karena perbedaan bahasa, “Ibu Perbu” sering diminta menjadi guru mengaji bagi warga setempat.

Pada tanggal 6 November 1908, “Ibu Perbu” meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam “Ibu Perbu” baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Dari penyelidikan, dipastikan “Ibu Perbu” adalah Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Nahh itu dia P-assengers perjuangan dari Cut Nyak Dien sebagai pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh. Cut Nyak Dien mengajarkan kepada kita untuk tak kenal menyerah, semangat untuk mempertahankan harga diri bangsa Indonesia, dan tetap tangguh walaupun orang-orang yang ia sayangi telah meninggalkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *