Perjalanan Hidup Sutan Syahrir: Bung Kecil Bernyali Besar

“Menggunakan privilege dengan baik”, kalimat kekinian yang cocok untuk menggambarkan masa muda salah seorang Pahlawan Nasional, Sutan Syahrir. Lahir dari keluarga yang berada, anak Tanah Minang ini berkesempatan untuk merajut ilmu di sekolah terbaik kala itu. Semua peluang yang hadir di hadapannya digunakan secara maksimal. Mulai dari bermain bola, mengikuti kelompok debat politik, sampai bersandiwara di panggung teater, beliau tekuni hingga dirinya berkuliah di Negeri Kincir Angin. Tak hanya itu, saat berkuliah Syahrir pun aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Lama-kelamaan menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, tumbuh ideologi sosialis dalam dirinya. Sejak saat itu, Syahrir lalu membangun Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Kembalinya ke Tanah Air

Setelah mendidik diri dalam studi serta aktivitas politik di Belanda, Syahrir kembali menginjakkan kaki di Tanah Air. Setibanya di Indonesia, beliau bergabung menjadi bagian dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Gerakan politiknya dengan Bung Hatta di partai ini dinilai justru lebih radikal daripada PNI Sukarno. Sampai-sampai pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru. Para pihak partai yang dinilai revolusioner ekstrem diasingkan dan dibuang ke Boven Digul, Papua.

Pengasingan di Boven Digul

Saat awal kedatangannya, Bung Kecil kembali melakukan olahraga yang digemarinya sejak kecil dahulu, bermain sepak bola. Selain itu, seringkali Syahrir berdiam untuk menenangkan diri di Sungai Digul dan Sungai Benang. Namun, lambat-laun perangai Syahrir mulai terlihat aneh. Dia kerap datang mengunjungi penduduk pada waktu yang tidak etis dan dengan tujuan yang sepele. Pernah Syahrir datang untuk meminjam gula, minyak kelapa, bermain catur, lalu menyusup ke dalam dapur hanya untuk membantu memasak. Kebiasaannya yang sering berpindah tempat sampai dijuluki oleh teman-temannya Kelana Jenaka. Ternyata, Syahrir melakukan itu untuk menjaga semangat dan jiwanya tetap sehat.

Untung saja, pemerintah Belanda memberikannya waktu yang tidak lama untuk tinggal di sana. Para kolonial Belanda merasa khawatir jika penempatan Syahrir di Digul dilanjutkan akan dianggap terlalu keras. Pada akhirnya, tanggal 2 Januari 1936, penderitaannya di kawasan penuh nyamuk malaria pun berakhir. Gerombolan korban pengasingan ini pun dipindahkan ke tempat yang lebih layak, Banda Neira, sebuah kepulauan di Maluku.

Surga Pengasingan

Banda Neira memang tempat yang jauh lebih layak, Syahrir menganggapnya sebagai Surga Pengasingan. Pantainya yang indah, lautnya yang bening, dan pohon rindangnya, mengagumkan Syahrir hingga menuangkannya melalui surat kepada Maria, kekasihnya di Belanda. Di sana, setiap Minggu pagi sekitar pukul 6, Syahrir bersama anak-anak penduduk sana sudah di laut berlayar. Bukan hanya bermain-main dengan anak setempat, Syahrir dan Hatta juga mengajarkan bahasa Belanda, Inggris, hingga Prancis. Mereka berdua ingin anak-anak Banda bisa melihat dunia lain yang lebih luas. Hubungan Syahrir dan anak-anak Banda Neira sangatlah erat, sampai-sampai salah seorang anak bernama Des Alwi diangkat menjadi anak seorang Sutan Syahrir.

Gerakan Bawah Tanah

Kala Ambon diserang oleh tentara Jepang, pesawat terbang kecil milik Amerika Serikat mendarat di pantai Banda Neira untuk menjemput Syahrir dan Hatta. Mereka berdua terbang meninggalkan nirwana yang sudah menjadi tempat tinggal mereka selama 6 tahun ke Surabaya. Tidak lama mereka tinggal di kota ini, sesampainya mereka langsung ditempatkan di kompleks kepolisian, Cirebon. Walau begitu, pengasingannya kali ini mereka tidak berdiam diri menunggu masa pembebasan saja. Syahrir dan Hatta menyusun strategi untuk melawan Jepang. Hatta bekerja sama dengan Jepang sedangkan Syahrir memimpin Gerakan Bawah Tanah melawan Jepang.

Saat Jepang pertama mendarat di Indonesia, tindakan pertama fasis Jepang pada saat itu adalah menyegel pesawat radio. Informasi dari luar negeri diputus sehingga orang Indonesia tuli akan informasi luar negeri. Akan tetapi, Syahrir yang kala itu memiliki pesawat radio tersembunyi yang tidak disegel Jepang, secara diam-diam mendengarkan siaran radio Sekutu. Beliau berani mengorbankan jiwa dan raganya untuk mendengarkan radio demi mencari informasi-informasi terbaru tentang Jepang dan jendela internasional.

Sebagai pemegang kendali gerakan, Syahrir rajin membuka dan menggelar diskusi. Diskusi yang dijalankan seringkali bertempat di kediaman Syahrir sendiri, di daerah Manggarai, sampai di Sindanglaya. Untuk mengetahui perkembangan perang antara Jepang dengan Sekutu, Syahrir dengan liciknya menyembunyikan radio yang sudah dibuka rangkanya dan diselimuti kain batik. Dengan diselundupkannya radio tersebut, Bung Kecil bernyali besar ini mendengarkan segala berita internasional melalui saluran BBC.

Ambisi Proklamasi Kemerdekaan

Tanggal 14 Agustus 1945, adalah hari yang penting dan genting bagi Syahrir. Dirinya mendengar kabar Jepang menyerah kepada Sekutu setelah diletuskannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Terdengarnya berita tersebut oleh beliau, membakar semangat keberaniannya untuk mendesak Sukarno-Hatta agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sosok yang berapi-api ini menganggap bahwa datangnya berita kekalahan Jepang merupakan momentum yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, ambisi Syahrir dengan golongan muda lainnya dipatahkan oleh golongan tua. Sukarno-Hatta dengan golongan tua menilai keputusan ini terlalu terburu-buru, belum direncanakan dengan matang. Syahrir yang masih berpegang teguh dengan tekadnya pun meminta dokter Soedarsono untuk memproklamasikan kemerdekaan di Alun-alun kejaksaan Cirebon. Peristiwa ini lah yang membuat Cirebon merdeka 2 hari lebih dahulu dari Jakarta.

Pendengar setia radio tersembunyi itu tidak goyah dengan ambisinya. Syahrir selalu mendorong dan meyakinkan bahwa Indonesia dapat merdeka sendiri tanpa campur tangan Jepang. “Aku penuh semangat. Aku yakin saatnya telah tiba, sekarang atau tidak sama sekali.”, tegas Syahrir dengan yakin. Ambisi dan kecerdasan Syahrir dari masa muda hingga menjadi pahlawan kemerdekaan harusnya memotivasi para generasi muda untuk bertekad kuat dalam mempertahankan dan memajukan bangsa. Layaknya perjuangan Syahrir untuk memerdekakan Indonesia, para pemuda Indonesia yang hidup di era globalisasi ini harus memerdekakan pula nama bangsa Indonesia di hadapan bola mata dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *