“Kita ini kelinci percobaan kurikulum 2013.”
Pernyataan itu masih menempel di otak gue sampai sekarang. Gue masih inget masa-masa ketika semua anak sekolah dikejutkan dengan adanya kurikulum baru, yang datang tak diantar pulang pun tak dijemput. Awalnya gue nggak ambil pusing soal ini, tapi sejak negara api menyerang dilakukannya penjurusan di kelas 10, yang notabene merupakan dampak dari penerapan kurikulum baru, gue mulai ngerasa kayaknya bakal ada sebuah kontroversi yang menunggu.
Maksud gue, apakah nggak terlalu dini untuk menjuruskan siswa di kelas 10? Bayangin aja, ibaratnya kita baru bangun tidur udah disuruh nyetir mobil. Apa rasanya? Bahkan belek pun masih bertengger di pelupuk mata, dan kita udah harus nginjek pedal plus pegang setir.
Sejak itulah, kontroversi kurikulum 2013 mulai memanas. Setiap ada debat pada pelajaran Bahasa Indonesia, semua sudah tahu topik utamanya, tidak lain tidak bukan adalah pro-kontra kurikulum 2013. Keluhan mengenai kurikulum 2013 menjamur di media sosial. Para siswa curhat massal soal kurikulum yang dinilai membebani mereka itu.
Dan sekarang, kurikulum 2013 sudah di ujung tanduk. Sejumlah sekolah akan kembali ke kurikulum 2006, sedangkan sekolah yang sudah tiga semester menerapkan kurikulum 2013 akan tetap menggunakannya.
Apakah ini yang kita tunggu?
Bisa ya, bisa tidak. Mungkin pihak-pihak yang selama ini kontra akan tebar confetti karena akhirnya, kebijakan yang selama ini cukup membebani mereka enyah juga, walaupun ada potensi untuk kembali lagi di masa depan, tentunya dengan segala perbaikan di sana-sini. Tapi setidaknya, mereka masih bisa bernafas sejenak dan “menikmati indahnya dunia”. Sementara pihak yang pro, yang yakin bahwa kurikulum 2013 akan membawa perubahan postif, tentu merasa kecewa.
Tapi faktanya, keputusan untuk menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 dan kembali ke kurikulum lama bukannya tanpa pro dan kontra, lagi-lagi. Sejumlah pihak menolak keputusan ini, pertimbangannya adalah dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan kurikulum 2013 sudah cukup besar, terutama untuk pendistribusian buku pelajaran. Anak-anak pun sudah terlanjur membeli buku berbasis kurikulum 2013. Kembali ke kurikulum lama, berarti akan ada banyak dana lagi yang termakan. Ada juga yang berpendapat bahwa sejumlah sekolah sudah siap menggunakan kurikulum 2013. Opini lainnya menyebutkan bahwa penggunaan dua kurikulum bisa menimbulkan diskriminasi, antara sekolah yang memakai kurikulum lama dengan kurikulum baru. Dan segelintir pihak tetap keukeuh mempertahankan kurikulum 2013 karena dianggap lebih prestise daripada kurikulum lama. Kalau yang terakhir ini sih menurut gue nggak bisa dijadikan alasan. Masa kepentingan siswa disejajarkan dengan gengsi?
Sedangkan pihak yang menyetujui, tentu saja alasannya karena mereka menilai kurikulum 2013 belum siap untuk diterapkan. Akibatnya, timbullah kekurangan di sana-sini. Kurikulum 2013 juga dinilai terlalu dipaksakan, sehingga menjadi beban untuk siswa, guru, maupun orang tua. Bisa kita lihat sendiri betapa banyaknya meme tentang beratnya kurikulum 2013 sudah banyak bermunculan di media sosial.
Kita bukanlah Menteri Pendidikan yang bisa memutuskan nasib kurikulum 2013. Segencar apapun kita menolak atau mempertahankan kurikulum 2013, baik secara langsung maupun lewat media, tetap saja keputusan ada di tangan pemerintah. Menyalahkan mereka terus menerus juga tidak ada gunanya.
Jadi apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat?
Berpikir kritis itu perlu. Biar bagaimanapun, masyarakat juga harus dilibatkan dalam pengambilan suatu keputusan. Kita boleh banget kok, menyampaikan pendapat. Karena dengan berpendapat, artinya kita adalah masyarakat yang aktif, yang memberikan kontribusi untuk kepentingan bersama, sekecil apapun itu. Tapi ingat, setiap pendapat juga harus disertai dengan saran. Dan jangan lupa, sampaikan pendapat dengan kalimat yang baik, jangan sampai emosi mengaburkan etika kita.
Terlepas dari pendapat kita secara pribadi, kita juga harus menghormati keputusan pemerintah. Biarkan mereka mengevaluasi dulu kurikulum 2013. Apakah akan dipertahankan atau tidak, kita hanya mengharapkan yang terbaik untuk kepentingan bersama. Bukan kurikulum yang membuat kita hebat, tapi kitalah yang membuat hebat kurikulum itu sendiri.
Jadi, penghapusan kurikulum 2013, yay or nay? It’s up to you. Tapi kalau buat gue sih, yang paling penting adalah bagaimana kita bisa survive dengan kurikulum apapun.
Just go ahead. A bright future awaits you!
Regards,