Hai P-assengers. Bagaimana kabar kalian, nih? Semoga P-assengers dalam keadaan yang sebaik mungkin, ya!
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 8 November 2021, Google Doodle menampilkan seorang wanita dengan latar kertas surat kabar klasik. Siapakah dia? Yap, ialah Roehana Koeddoes (EBI: Ruhana Kuddus). Ia adalah jurnalis perempuan Indonesia yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2019 di tanggal yang sama ketika Google Doodle ini ditampilkan.
Oleh karena itu, artikel PIDAS81 kali ini akan menilik kembali sejarah jurnalistik Indonesia, yang tentunya akan membahas sang Wartawati Pertama Indonesia dan sang Bapak Pers Nasional.
Sejarah jurnalistik Indonesia dipelopori oleh dua tokoh pada masa kolonialisme Belanda, yaitu Roehanna Koeddoes dan Tirto Adhi Soerjo (EBI: Tirto Adhi Suryo). Keduanya berasal dari tempat yang berbeda. Ruhana Kuddus dilahirkan di Koto Gadang, Sumatera Barat; sedangkan Tirto Adhi Soerjo dilahirkan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Roehana Kuddus dikenal sebagai Wartawati Pertama Indonesia. Ia mendirikan sebuah surat kabar bernama Soenting Melajoe pada tahun 1912. Ia juga pernah menulis di surat kabar Oetoesan Melajoe setelah sebelumnya menulis surat kabar Poetri Hindia di Batavia (Jakarta).
Pendirian Soenting Melajoe didasari oleh keinginannya untuk bercerita tentang perjuangan memajukan pendidikan perempuan di Koto Gadang. Surat kabar yang didirikannya itu membahas tentang isu-isu sosial sehari-hari, seperti tradisionalisme, poligami, perceraian, dan pendidikan anak perempuan. Surat kabar ini tidak hanya menjangkau wilayah Minangkabau saja, namun juga menjangkau luar Hindia Belanda. Pada saat Belanda menyerang pribumi, Soenting Melajoe berisikan tulisan, yang ditulis oleh Roehana, kepada para pejuang untuk membakar semangat mereka. Hingga akhir hayatnya, ia terus berjuang dalam pergerakan dengan surat kabar Soenting Melajoe.
Berbeda dengan Roehana Koeddoes, Tirto Adhi Soerjo dikenal sebagai Bapak Pers Nasional dan perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Ia juga dikenal sebagai tokoh kebangkitan nasional.
Sejak kecil, ia rajin mengirimkan tulisannya ke sejumlah surat-surat kabar yang ada. Saat ia menjadi mahasiswa, ia tidak menyelesaikan pendidikan kedokterannya di STOVIA karena terlalu sibuk menulis di media massa. Kiprahnya di dunia jurnalistik dimulai pada tahun 1903 ketika ia menerbitkan surat kabar Soenda Berita. Kemudian, ia menerbitkan surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907 disusul oleh Poetri Hindia pada tahun 1908. Medan Prijaji menjadi salah satu yang terpopuler dan paling digemari oleh masyarakat karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan proses produksi surat kabar tersebut seluruhnya dikerjakan oleh pribumi asli.
Di dalam surat-surat kabarnya itu, tertuang banyak tulisannya yang secara terang-terangan mengecam pemerintahan kolonial Belanda. Ia sempat disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan.
Kedua tokoh tersebut membawa pengaruh besar bagi jurnalistik Indonesia. Berkat jasanya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Roehana Koeddoes dan Tirto Adhi Soerjo sebagai Pahlawan Nasional, berturut-turut pada 7 November 2019 dan 3 November 2006.
Nah, itulah sejarah yang membebaskan jurnalistik Indonesia dalam berekspresi. Tentunya, tanpa kedua tokoh tersebut, jurnalistik Indonesia takkan secemerlang ini.
Baiklah, sampai sini dulu artikel kali ini. Sampai jumpa di artikel lainnya, P-assengers!
Referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Roehana_Koeddoes
- https://id.wikipedia.org/wiki/Soenting_Melajoe
- https://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo
- https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20211108100903-185-717953/jejak-kisah-roehana-koeddoes-wanita-di-google-doodle-hari-ini
- https://m.merdeka.com/raden-mas-djokomono-tirto-adhi-soerjo/profil/