Menhan: Perang Masa Depan Adalah Cuci Otak

Setelah sempat ditunda pada 19 Oktober 2015, program bela negara akhirnya resmi dibuka Kamis lalu, 22 Oktober di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan, Jakarta. Saat itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga meresmikan 100 calon pelatih inti bela negara. Hal serupa turut dilakukan di 44 kabupaten/kota lainnya yang dipimpin oleh pimpinan daerah masing-masing.

Dicetuskan oleh Ryamizard beberapa pekan lalu, masyarakat tentu bertanya-tanya, apa sebenarnya program bela negara itu? Lalu, apa tujuannya?

Sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sikap bela negara wajib dimiliki setiap warga negara sebagai bentuk pengabdian bagi negara. Menhan menyatakan bahwa bela negara bukan hanya tanggung jawab Kemham, melainkan seluruh aspek kehidupan bernegara, mulai dari masyarakat, kementerian, hingga pemerintah pusat maupun daerah.

Ryamizard tidak menginginkan Indonesia diambang kerapuhan seperti halnya negara-negara yang hancur akibat perang. Ia menginginkan negara Indonesia yang kuat hingga disegani negara lain. Menhan juga menegaskan program bela negara lebih tertuju pada ‘soft power’, karena pertahanan secara fisik dilakukan oleh TNI. Ia beranggapan kekuatan soft power ini akan memberikan daya getar pada negara lain, sehingga mereka tidak bisa main-main untuk mengganggu keutuhan dan kedaulatan negara kita.

“Kalau kita beli alutsista (Alat Utama Sistem Pertahanan), negara lain akan mencari celah untuk mengkonternya. Namun, bila bela negara, intelijen mereka akan bingung untuk mencari celahnya. Bayangkan, mereka harus melawan 100 juta orang” ujar Ryamizard. “Perang ke depan adalah mengubah pemikiran atau kita sebut dengan cuci otak, kekuatan kita persatuan dan kesatuan. Bela negara itu adalah roh suatu bangsa” lanjutnya.

Menurut Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal TNI Hartind Asrin, berbagai permasalahan yang dialami bangsa ini seperti tawuran pelajar, bentrokan antar agama, diawali dari pemahaman Pancasila yang kurang. Karena itulah pendidikan Pancasila serta kewarganegaraan perlu ditanam pada setiap lapisan masyarakat. Pendidikan ini pula nantinya akan diberikan dalam pelatihan bela negara.

Hartind juga menangkis anggapan masyarakat bahwa bela negara sama dengan wajib militer. “Kurikulum bela negara tidak ada ada materi militernya sama sekali, yang ada hanya baris berbaris” tuturnya. Hartind juga memaparkan inti dari kurikulum ini, yakni cinta Tanah Air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, serta memiliki kemampuan awal dalam bela negara, baik fisik maupun non-fisik.

Kembali ke program bela negara itu sendiri, program ini bersifat sukarela, sehingga para kader yang mengikuti pelatihan ini didasari oleh keinginan mereka masing-masing. Pada pembukaannya, Menteri Pertahanan melantik 4500 kader pembina bela negara di 45 kabupaten/kota yang berasal dari berbagai kalangan, diantaranya ada mahasiswa, PNS, hingga tokoh masyarakat. Angka ini menunjukkan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi terhadap pelatihan tersebut.

Program usulan Kementerian Pertahanan ini dibagi menjadi tiga kategori menurut waktu pelatihannya: Kategori pertama disebut kader pembina. Dalam kategori ini, peserta akan diberi pelatihan selama sebulan. Yang kedua adalah kader bela negara yang akan dilatih selama satu minggu. Sedangkan yang ketiga, kader muda, hanya akan dilatih selama tiga hari. Untuk itu, kategori ini lebih fleksibel dan cocok untuk peserta muda yang memiliki banyak aktivitas lain. Para peserta diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai bela negara dalam kehidupan sehari-hari serta turut mensosialisasikannya pada orang lain.

Selain itu, komposisi pendidikannya meliputi 70% di dalam kelas dan 30% latihan di luar kelas. Kader akan diberikan pendidikan dasar seperti kepemimpinan simulasi kejahatan dan pengetahuan dasar intelijen. Ada pula pendidikan inti yang terdiri dari pendidikan cinta tanah air, cara memberikan perintah, serta program bela negara secara fisik maupun non-fisik.

Seperti halnya kebijakan-kebijakan yang baru dijalankan, program pelatihan bela negara juga tak luput dari pro-kontra diantara masyarakat maupun pejabat negara. “Kami mendesak agar program bela negara ini ditinjau kembali” ujar Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institut. Menurutnya, untuk saat ini program tersebut masih belum dibutuhkan.

Hendardi mengkhawatirkan diadakannya program bela negara akan tumpang tindih dengan mata pelajaran kewarganegaraan yang sudah menjadi kurikulum wajib di setiap sekolah. “Kalaupun ada program bela negara, sebaiknya melebur dengan kurikulum di sekolah, bukan menjadi sebuah proyek kementerian” terangnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan dukungannya terhadap program tersebut, selama anggarannya jelas dan transparan. “Pribadi saya setuju, itu bagus. Tapi kalau mau, harus dibahas dulu uangnya darimana” tuturnya. “Jangan asal comot dari APBN, itu harus dibahas bersama.”

Ada atau tidaknya program ini, sikap bela negara harus tetap dimiliki oleh setiap warga negara. Bela negara bukan selalu berarti pelatihan militer, atau perang di garis depan. Bela negara memiliki arti pentingnya mewujudkan, menanamkan, serta menerapkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa.

Vania Dhianisya Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *