Film “Anak Lanang” bercerita tentang empat anak sekolah dasar yang baru saja kembali dari sekolah. Mereka berempat menggunakan becak untuk pulang bersama, dua duduk di atas dan dua duduk di bawah, atau sering digunakan untuk menopang kaki. Obrolan berlangsung cepat, dalam bahasa Jawa Yogyakarta, dan tidak ada hubungan hierarkis antara anak laki-laki dan pengendara becak.
Dalam budaya Jawa, hanya suara yang diatur. Untuk lansia, gunakan krama Inggil daripada ngoko ketika mencoba berbicara dengan orang lain. Sibuk dengan perkembangan zaman, tidak banyak anak Jawa yang menggunakan cara ini. Kabar tersebut jelas sangat ingin disampaikan oleh sutradara. Terlebih lagi, pengemudi becak dengan menyebut orang Amerika pintar “kuno”.
Seperti siswa SD lainnya, tokoh-tokoh seperti Danang, Sigit, Yudho, dan Samsul juga membicarakan pernyewaan PR dan PlayStation (PS). Mereka mengikuti percakapan Hari Ibu ketika Sigit, anak terpintar di grup becak, mengingatkan teman-temannya untuk memberi selamat kepada ibunya, yang tercermin pada guru sekolah. Pengemudi becak berpartisipasi dengan menanyakan siapa yang membuat Hari Ibu.
Jawaban dari anak-anak adalah Pakdhe Karno (Ir Soekarno) dan Budhe Kartini (RA Kartini). Namun, pengendara sepeda roda tiga membantahnya dan mengatakan bahwa Hari Ibu diciptakan oleh orang Amerika. Ia mengatakan hal ini berbeda dengan definisi anak-anak tentang Instagram ciptaan Amerika, yang tidak dipahami oleh pengendara becak. Itu dia, dia menyebut “Amerika yang paling pintar.”
Setting tempat ini hanya sesaat, seperti menyaksikan siaran langsung. Konsep setting waktu ini penulis lihat dalam film Joko Anwar “Janji Joni”. Film ini sudah lama dirilis, dan akhirnya lahirlah Anak Lanang (putra). Selain pengaturan waktu, penulisan adegan dan teknik pengambilan gambar juga sangat bagus. Saya ngga abis pikir bagaimana anak-anak yang bukan aktor bisa tampil sekece ini.