Mengisi Halaman Baru di 2016

365 halaman pada buku saya yang berjudul 2015 sudah terisi lengkap. Banyak hal yang terjadi selama 2015, yang pastinya ada yang baik dan ada pula yang tidak baik.

Oke, jadi saya menulis ini sambil mendengar alunan petasan yang menderu di luar sana. But, Nevermind. Saya harus tetap memenuhi deadline ini. Jujur saja, awalnya saya berpikir 2015 mungkin menjadi tahun yang biasa saja. Saya dulu beranggapan mungkin hanya kelulusan dan masuk SMA adalah hal yang paling spesial di tahun 2015 ini.

2015 diawali dengan ujian-ujian-ujian-belajar. Ya, begitulah kehidupan seorang anak SMP yang sedang mati-matian menggapai SMA Negeri. Saya adalah seorang anak yang ambisius, sangat ambisius. Sejujurnya, saya mengimpikan untuk diterima di SMAN 8 Jakarta, awalnya. Tak terbesit di hati saya untuk menengok ke SMA lain.

Hari-hari saya di awal tahun 2015 memang sedikit membosankan karena teman yang paling setia menemani saya 24 jam dalam 7 hari adalah buku UN. Ya, buku UN.

Saya menempati kelas akselerasi selama di SMP. Kebayang lah ya gimana ambisnya teman-teman sekelas saya, apalagi separuh dari teman-teman saya juga ingin masuk SMAN 8 Jakarta. Pusing. Kami sekelas juga menempati tempat les yang sama, persis, dan sekelas. Huft.

Teman-teman saya di kelas akselerasi sudah saya anggap sebagai keluarga saya sendiri. Kami susah senang bersama satu setengah tahun, sakit satu sakit semua, solid. Di SMP saya, SMP Labschool Jakarta, murid tidak diperbolehkan bawa HP berkamera ke sekolah. Tapi tetap saja, 85% (saya ngitung loh) masih aja bawa dan untungnya kami tidak pernah dirazia yay. Kita punya semboyan, Yakin kelas lo solid? Ah palingan kalah sama kelas kita.

Awal 2015 saya bersemangat untuk menghadapi pertempuran yang katanya ujian dari segala ujian di SMP, Ujian Nasional. Jujur saja, saya sangat excited untuk lulus dari SMP, tapi saya juga tidak ingin pisah dari ‘keluarga’ saya. Jadi bingung sendiri saya.

Banyak yang bilang anak aksel itu belajar mulu sampai ngga main. Hmm, Yakin? Kayaknya kami sekelas selalu bermain di sekolah atau di tempat les. Permainan kesukaan kita Counter Stirike, Asphalt 8, dan kartu uno dan remi (maafkan aku teman-temanku tersayang membongkar rahasia gelap kelas kita, maafkan aku merusak citra kelas kita). Sudah beberapa pak kartu remi yang disita oleh guru karena ketahuan membawa sesuatu ‘yang tidak ada hubungannya sama pelajaran’.

Hari demi hari berlalu. Waktu saya bersama kelas tersayang saya sudah semakin sedikit (mungkin terkesan menjijikan tapi saya memang sayang kelas saya dan saya tidak mau berpisah dengan mereka). Saya selalu bilang ke teman saya, ‘kita belom pisah tapi gue pasti bakal kangen banget sama lo’. Ya, begitulah saya.

Ujian Nasional pun tiba. Kami ambis dan alim sekaligus. Berharap mendapatkan nilai yang memuaskan supaya bisa melanjutkan di sekolah pilihan masing-masing. Saat keluar dari ruangan Ujian Nasional, badan saya menjadi dingin saking nervous-nya. Ujian Nasional pun selesai dan saya bisa main HP sepuasnya yay.

Di antara Ujian Nasional dan Wisuda, ada tradisi Farewell di sekolah saya. Ya, begitulah. Kami merasa belum berhak bahagia karena nilai UN belum keluar.

Lanjut, pengumuman hasil UN pun tiba. Takut. NEM saya 382,5. Itu adalah antara ‘hidup-mati’ dalam seleksi masuk SMAN 8 Jakarta. Saya nangis pas mendengar NEM saya segitu karena saya tidak mau dalam kondisi ‘hidup-mati’ untuk mendapatkan sekolah impian saya.

Wisuda pun tiba. Ya itulah hari terakhir saya memakai batik kebanggan saya, batik Labschool. Wisuda juga menjadi upacara perpisahan saya dengan teman-teman saya. Saya berusaha untuk tidak sedih melihat kami akan berpisah.

Sepulang wisuda, orang tua saya mengajak untuk melihat SMAN 61 Jakarta dan SMAN 81 Jakarta, sebagai gambaran kalau saya tidak bersekolah di Bukit Duri. Saya cukup puas melihat dua sekolah itu.

Hari seleksi untuk SMA Negeri pun tiba. Saya sengaja tidak menginput data pada awal seleksi untuk melihat pergerakan nilai terlebih dahulu. Hari pertama, saya masih berada di peringkat 80 dari 112, saya sedih. Detik berlalu, dan pada sahur hari kedua, calon siswa ber-NEM 382,5 sudah tidak ada lagi di data seleksi. Saya pun cukup kecewa dan langsung mendaftar SMAN 81 Jakarta. Alhamdulillah lolos dan tanpa pikir panjang saya langsung lapor diri. Teman-teman sekelas saya juga lega diterima di sekolah pilihannya masing-masing.

4-5 Hari kemudian, mama saya bilang, ‘Nak itu SMAN 8 ada umum 3, nilai kamu bisa masuk loh’. Saya sangat bahagia, doa saya selama ini akan terkabul. Namun, jika siswa sudah lapor diri maka tidak bisa dicabut. Saya seperti terhempas dari lantai teratas Burj Khalifa :(. Saya harus berpikir positif pasti ada rencana Allah yang saya ngga tau di SMAN 81.

Saya harus mengikhlaskan kesempatan tersebut, dan teman-teman saya yang berbeda sekolah, terutama si dia (apasih /?).

Hari pertama tahun ajaran. Hmm, saya jujur aja kurang familiar dengan suasana baru. Mau tidak mau, saya harus adaptasi ikhlas-tidak ikhlas di sekolah baru.

Saya bertemu banyak orang, dengan banyak latar belakang pula. Hari demi hari saya mulai nyaman di lingkungan baru, menemukan pengalaman baru, dan cinta baru, mungkin. Namun, entahlah, saya masih belom bisa move-on dari kelas saya di SMP dan orang yang saya sayangi disana.

Untuk adaptasi dengan pelajaran baru jujur saja tidak terlalu sulit, meskipun terasa berat di awalnya. Saya diamanahkan untuk menjadi anggota komisi 1 MPK SMAN 81 Jakarta, yang sudah saya anggap sebagai keluarga juga. Menjadi seorang anggota PIDAS juga mewarnai tahun 2015 saya, apalagi diterima di divisi yang sudah saya cita-citakan, yaitu daring.

Mungkin pembaca bertanya, ‘ini kok lebih banyak cerita tentang awal 2015 daripada akhir 2015?’ Kalau boleh saya jujur, saat menulis artikel ini saya sedang kangen-kangennya dengan suasana SMP saya. Maafkan saya.

Pelajaran apa yang saya terima di 2015? Banyak.

Saya belajar keluar dari zona nyaman saya dengan meninggalkan SMP. Saya juga belajar mengikhlaskan impian saya untuk diterima di SMAN 8 Jakarta dan merelakan teman-teman saya, dan dia yang berada di sekolah lain. Saya belajar mengenal orang baru dan beradaptasi, hal yang sudah saya lupakan sejak dua tahun lalu. Saya belajar setia, dan tidak melupakan teman-teman saya. Saya belajar sungguh-sungguh, belajar lebih dewasa, belajar untuk menjadi lebih baik lagi. Saya belajar untuk percaya, Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik dibandingkan rencana kita. Apa yang saya pelajari di 2015 terlalu panjang untuk dijadikan sebuah artikel singkat.

Saat pergantian malam 2015 menjadi 2016, terbesit di pikiran saya, ‘2015 adalah tahun yang baik’.

Resolusi 2016 saya, menjadi lebih baik, pastinya, dari tahun sebelumnya. Saya juga akan menutup rapat kenangan saya selama ini, sehingga tidak menghalangi hal baru yang akan datang untuk saya. Saya akan menjadi lebih ‘ambis’ lagi dan saya makin tidak mau kalah dengan teman-teman saya yang bersekolah di Bukit Duri alias SMAN 8, sekolah impian saya dulu. Saya ingin menjadi lebih mandiri dan dewasa lagi. Saya berharap tahun 2016 adalah tahun yang baik.

Selamat mengisi halaman di buku 2016-mu.Najila Ramadhina

One thought on “Mengisi Halaman Baru di 2016

  • Ngapain hidup terlalu tegang ky gitu.
    Selow jja … yg penting bila saatnya tiba. Buktikaaaan !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *