Perkenalkan, nama saya Niken. Saya ingin menulis sebuah perjalanan yang tidak biasa, silakan menyimak, tapi dalam menyimak ini kalian butuh sebuah komitmen karena cerita nonfiksi ini akan menjadi cerita yang cukup panjang. Di dalam cerita perjalanan ini, saya seorang penyimak juga pencatat, sedangkan 10 orang lainnya adalah manusia-manusia pendaki gunung.
Mari saya kenalkan 10 orang lainnya yang merupakan Tim Pecinta Alam 81, Carvedium.
[slider id=’474′ name=’Profil’]
Fandi: dia yang tertua disini, seorang mahasiswa informatika ITS.
Fajar & Adit: mereka setahun lebih muda dari Fandi, mereka berdua kembar, dan mereka adik kandung Fandi. Adit adalah ketua Carve 9. Mereka berdua sama-sama mahasiswa STEI ITB.
Fatah: seorang mahasiswa Teknik Kimia UI yang berencana pindah ke FK UI tahun ini. Seorang laki-laki yang berisik dan suka bercanda 😀
Akrima: dialah juru masak kami, perempuan berkerudung yang periang, mahasiswi Kesehatan Masyarakat UI.
Hana: mahasiswi Teknik Industri ITS yang di mana saya temukan sosok keibuan yang kentara.
Mine: perempuan manis yang baru lulus SMA dan sudah diterima di UI 🙂 dia juga merupakan ketua Carve 11.
Nabila: seangkatan Mine, dan juga sudah diterima di Akuntansi UI.
Ule: perempuan termuda, setahun lebih muda daripada saya sendiri. Dia enggak terlalu banyak bicara. Juga kali pertamanya mendaki gunung.
Pak Suryo: guru Fisika SMAN 81, yang entah bagaimana memiliki lawakan yang kering tapi enggak garing. :p
Keberangkatan | 2 Juli 2013
Kami janji bertemu di masjid Al-Muhajirin sekitar jam 5 sore, di sana kita berkemas ulang, mengatur barang-barang kelompok. Kami menunggu azan Maghrib lalu kami menjamak sholat Maghrib dan Isya kami. Setelah berdoa, kami berangkat. Kami jalan dari masjid ke jembatan Kodam sekitar jam setengah 7, sesampainya di jembatan Kodam, kami mencarter sebuah angkot 26 menuju Terminal Kampung Rambutan. Kami tiba di terminal pukul setengah 8 malam, kami menunggu setengah jam sampai akhirnya kami masuk ke dalam bis tujuan kami menuju Cianjur. Perjalanan cukup panjang, Fandi duduk sendiri, Pak Suryo juga duduk sendiri, Akrima bersama Fatah, Hana bersama Fajar, Nabila bersama Mine, saya sendiri bersama Ule. Kami tiba di Cianjur sekitar pukul setengah 11 malam, kembali kami mencarter angkot menuju warung tempat bermalam di mana Adit sudah duluan di sana dari tadi siang.
Warungnya bernama warung Mang Idi, karena Mang Idilah yang punya warung. Setelah berkumpul utuh kami semua disana, kami makan malam dan berbincang, saya mulai mengenal karakter satu sama lain. Sekitar jam 12 kami memutuskan untuk tidur, dan nyatanya hanya tiga orang dari kami yang benar-benar menikmati tidurnya.
Pendakian Pertama | 3 Juli 2013
Azan Subuh berkumandang, hampir semua dari kami sudah terjaga, bermain kartu. Yang solat pun bergegas, sembari yang lain mempersiapkan diri dan barang bawaan. Setelah itu kami sarapan bersama, tapi Ule enggak sarapan walaupun udah dibujuk sedemikian rupa. Akhirnya, kami berangkat dari warung Mang Idi pukul 6.10 pagi hari.
Semua berjalan lancar karena medan pendakian belum apa-apa, Adit sedikit memberi pengarahan tentang cara mendaki dan menurun yang benar. Pengarahan yang sudah saya dengar beberapa kali. Sekitar pukul 7.20 kami berhenti sejenak untuk istirahat, kami mengisi botol minum kami masing-masing dengan Aqua literan yang kami bawa di carrier. Ule ternyata lelah dan merasa enggak nyaman, ini mungkin karena enggak sarapan tadi pagi, jadi kami membuka biskuit-biskuit persediaan kami dan mulai mengemil.
Kami melajutkan perjalanan, pada pukul 7.40 kami melewati telaga biru, kami sudah mencapai ketinggian 1.575 MDPL. Kemudian, 20 menit setelahnya—8.07, kami berada di ketinggian 1.400 MDPL yang saya pun heran berarti jalan menurun lagi. Saya cukup menikmati pemandangan di sini, karena sesungguhnya kami masih berjalan di kaki-kaki gunung.
Pukul 8.21 kami kembali beristirahat di sebuah pos, namanya Pesinggahan Panyancangan. Kami bertemu kelompok lain yang ternyata merupakan senior Fatah di UI. Sekitar 3 menit kami beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Dari Panyancangan jalan terbagi dua, ada yang menuju air terjun Cibeureum, dan yang satu lagi menuju pendakian selanjutnya. Kami melanjutkan pendakian tentunya. Di sini jalan mulai curam.
Setengah jam kami berjalan, kami istirahat lagi di sebuah pos tanpa nama. Kami mengemil coklat, mengapa coklat? Gula di coklat adalah glukosa yang merupakan senyawa karbohidrat, dan kita semua tahu bahwa karbo adalah sumber energi, sesuatu yang manis seperti coklat adalah cemilan wajib bagi para pendaki. Sekitar pukul 9.10 kami melanjutkan perjalanan.
Di sini saya mulai merasa kelelahan, padahal saya hanya membawa Daypack, sejenis tas ransel. Sedangkan Fandi, Fajar, Adit, Fatah membawa carrier yang tingginya hampir melebihi kepala mereka sendiri. Kami kembali beristirahat—istirahat kami yang ke-4 pada pukul 9.32, kali ini kami mengemil gula merah. Kami berangkat lagi pukul 9.45.
Oh ya, diperjalanan, kami enggak jarang bertemu orang lain, dan kami selalu sapa menyapa. Inilah salah satu hal kecil yang saya kagumi dari para pecinta alam, para pendaki gunung. Saat berpapasan kami saling memberi semangat, bertanya waktu tempuh, mengucapkan salam, atau sekadar tersenyum simpul, hal sepele yang mengesankan saya. Pukul 10.11 merupakan istirahat kami yang ke-5, kami mengemil biskuit, 10.24 kami berangkat lagi. 20 menit setelah kami menempuh perjalanan, gerimis rintik-rintik mulai turun, tapi saya ketahui dari Adit bahwa ini hanya hujan kabut, karena kami sudah cukup berada di ketinggian.
Akhirnya pukul 11.06 kami tiba di check point kami yang pertama; air terjun panas. Kami melepas segala daypack dan carrier, kami duduk bersama. Akrima mulai membuka perlengkapan masak; kompor kecil, gas botol, ceret kecil, gelas-gelas, pokoknya semua serba kecil. Akrima menyeduh Energen untuk kami, satu botol Energen kami seruput bergantian. Saat gelas itu berada di tangan saya, saya nikmati genggaman saya pada gelas yang panas itu, karena tangan saya sangat dingin.
Pak Suryo membuang hajatnya, hahaha, kalau kalian mau tahu, mari saya ceritakan. Caranya, cari semak-semak yang layak, bawalah sebilah pisau dan tisu basah secukupnya, gali tanah dengan pisau, dan mulai buang fesesmu di sana hahaha, setelah selesai bersihkan lubang pembuangmu (saya enggak tahu harus nyebutnya apa, hahaha) dengan tisu basah, setelah itu kubur lagi kotoran-kotorannya, kamu pun berhasil meninggalkan jejak di gunung, selamat!
Kembalinya Pak Suryo dari ritualnya, anak-anak menyambut beliau dengan sorakan menggoda. Pak Suryo kemudian mengupas beberapa buah apel, yang lagi-lagi kami bagi sebelas, Inilah cara anak Carve mengonsumsi sesuatu, sesuatu yang lagi-lagi saya kagumi. Medan selanjutnya adalah batu-batuan sungai dengan air terjun panas yang berjatuhan mengalir deras dari atas di sebelah kirinya, maka saya putuskan untuk mengganti sepatu Converse saya dengan sandal gunung. Setelah melewati air terjun panas ini, kami kembali berurusan dengan tanah dan akar pohon yang artinya jalan sulit lagi.
Pada pukul 12.15 kami berhenti di pos kandang batu untuk makan siang, laki-laki menggelar segala macam matras, dan Akrima menyiapkan segala keperluan memasak—yang sampai sekarang saya enggak pernah tahu nama alat-alat itu. Akrima memberi jatah untuk Pak Suryo serorang, empat anak laki-laki, dan untuk kami enam orang anak perempuan. Dengan metode yang sama—1 piring bergilir, sendok bergantian—kami menyantap nasi rendang kami. Pukul 13.30 kami melanjutkan perjalanan kami, karena awan mulai mendung.
Kami tiba pada check point kami yang ke-2 pada pukul 14.30, check point itu adalah Kandang Badak. Kandang Badak merupakan perkemahan, sebuah check point universal bagi para pendaki, banyak yang membangun tenda di sana untuk bermalam dan melanjutkan perjalanan esok harinya. Kelompok kami sendiri memutuskan untuk langsung melanjutkan perjalanan tanpa berkemah, tapi kami solat dulu di situ, sedangkan saya dan Akrima yang sedang berhalangan mencuci piring-piring kotor. Satu jam kami di sana, kami pun berangkat lagi pada pukul 15.30, inilah keputusan yang kelak kami tahu sangat fatal bagi perjalanan kami…
Dipercaya setelah Kandang Badak, puncak dari Gunung Gede tidaklah lama lagi, maka kami bergegas mendaki dengan medan yang sudah mulai sulit. Nah, pukul 16.55 tibalah kami di Tanjakan Setan—begitu pendaki-pendaki menyebutnya. Saya melihat Tanjakan Setan bagaikan tebing, atau semi-tebing kalau saya lebih realistis. Tanjakannya benar-benar curam, hampir tegak lurus dengan tanah, vertikal menantang langit. Fatah memanjat duluan, disusul Mine, Akrima, dan selanjutnya saya.
Tanjakan itu sudah memiliki beberapa cekungan, tempat tangan dan kaki berpijak, yang tetap saya kewalahan untuk memilih yang mana yang aman. Dan gawatnya saya terkena serangan panik. Saya mulai gemetar seluruh badan, nafas tersengal-sengal, sekujur tubuh dingin dan kaku, emosi meletup enggak karuan, saya berteriak-teriak minta tolong sambil setengah menangis, meraung. Semua yang dibawah berteriak “NIKEN JANGAN PANIK KEN!” “KEN, TENANG PEGANG TALINYA!” “JANGAN PANIK NIKEN!” Saya berusaha fokus, dua pendaki yang tidak saya kenal membantu saya naik, dengan menginstruksikan kemana baiknya saya berpijak, dan setelah saya agak dekat dengan mereka, ditariknya saya ke atas, ke sebuah akhir dari tanjakan setan itu.
Saya sadari keluhan-keluhan saya di awal sama sekali enggak ada apa-apanya dengan tanjakan setan barusan, sembari saya menenangkan diri, satu persatu kelompok kami mulai bermunculan dari bawah; Adit, Fandi, Ule, Nabila, Pak Suryo, Hana, Fajar.
Saat semuanya sudah tenang, hujan rintik-rintik menjadi semakin deras, dan hari mulai gelap, semua memakai ponco dan jas hujannya, membungkus carrier dan daypack-nya dengan raincoat. Adit menyuruh kami untuk menyiapkan senter masing-masing. Saya bersemangat kembali dan kami pun melanjutkan perjalanan, medan kali ini sangat sulit, jalurnya sempit, tanah dan akar saling menjalin, kini licin oleh hujan, mata kekurangan cahaya, segala macam ponco dan jas hujan membatasi gerakan, dan suhu gunung kini turun, dingin, beku.
Sekitar pukul setengah 7 malam, semuanya gulita, hujan pun kini deras. Kami menyadari enggak mungkin kita paksakan pendakian menuju puncak malam ini. Karena toh kalaupun kita sampai, di sana kita enggak akan menemukan perkemahan yang baik karena di puncak nanti suhu akan semakin ekstrem. Kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan, tapi bagaimana? Di mana? Kita sudah terlanjur berada di jalur pendakian yang sempit, yang enggak memungkinkan untuk membangun tenda. Akhirnya laki-laki membangun sebuah peneduh di atas kepala, yang diikatkan di beberapa pohon sehingga membentuk sebuah atap datar kecil persegi panjang yang hanya melindungi kami dari air hujan, matras-matras mulai disusun dan kami pun bernaung di sana.
Inilah mimpi buruk kami, kami terjebak dan lumpuh di malam gelap dengan badai yang menggaung. Kami duduk berdempetan, beberapa masih terkena basah dari kanan kirinya. Kaki kami terjepit, tangan kami mati rasa, semua orang saling mengingatkan agar tidak ada yang tertidur, karena bila tertidur suhu tubuh akan turun dan kami akan terkena hipotermia. Fandi, Adit, dan Fajar memutuskan untuk mencari dataran yang cukup dengan jarak paling jauh 10 menit dari sini untuk membangun tenda, agar kami dapat bermalam dan menghangatkan diri, tinggalah kami berdelapan.
Dinginnya menggigit, hampir semua dari kita pun sudah terkena hipotermia ringan. Saya sangat lelah dan ingin tidur, namun Hana selalu memanggil saya dan membuat saya terjaga. Saya lihat Adit datang memanggil dari bawah memberitahu bahwa tendanya sudah jadi, saya lihat dia melambaikan tangan, tapi tidak ada yang menyahut. Saya lihat dia terjatuh ke jurang! Tapi ternyata itu tidak nyata, Saya sudah mulai berhalusinasi, saya ketahui bahwa yang saya lihat tidaklah nyata dari Hana. Saya bernyanyi kecil agar tidak tertidur, kami mulai berbincang dan bercanda. Akrima akhirnya membuat makan malam dan menyeduh susu panas untuk kami, namun panasnya api dari kompor tidak cukup menghangatkan tangan saya yang sudah beku dari tadi.
Akhirnya Adit mengabarkan bahwa tenda di bawah sudah jadi, yang kali ini sungguhan bukan halusinasi saya. Satu persatu dari kami pun berpindah ke bawah menuju tenda. Kami menunggu lama diluar, para lelaki menata logistik kami sedemikian rupa agar tenda terjaga aman dari angin-angin. Dari luar dapat saya lihat segala lampu-lampu kota bertaburan bagai bintang, di situlah saya putus asa. Menyesal telah ikut. Sekarang pukul 8 malam, pastilah waktu-waktu yang menyenangkan apabila saya berada di kota, sedangkan jam 8 ini sudah bagaikan dini hari yang gelap gulita di sini. Saya ingin pulang, saya ingat Ibu saya…
Saat semuanya telah siap, kami pun masuk ke dalam tenda satu per satu. Kami menghangatkan diri, dan Akrima menggilir makan malam yang ia masak tadi di atas. Kami merencanakan apa-apa tentang perjalanan besok pagi, jangan sampai kami salah perhitungan lagi. Para laki-laki membangun tenda di sebelah tenda ini, di sanalah laki-laki akan tidur, dan perempuan tetap di sini. Tidak terasa sudah pukul 11 malam, kami pun tidur dengan satu sleeping bag berdua ala kadarnya, dengan batu-batuan yang menggerus punggung saya.
Bersambung: Memeluk Asa Menuju Puncak Gunung Gede Bersama Carvedium (Bagian II)