me, moi, aku

Halo P-assengers! Kembali lagi sama aku, seorang anak humas media yang baru selesai revisi layout bulan april dan harus post 3 feeds soal GARDANA kemarin. Nama aku Chai, sudah kesekian kalinya aku nulis disini. Mungkin ini saatnya aku memperkenalkan diri lebih luas lagi. Artikel ini akan dibuka dengan perkenalan singkat mengenai diri aku, si penulis. Nama lengkapku Maisa Imanulya S tetapi saya lebih sering menuliskannya sebagai Maisa Imanulya karena lebih singkat. Ketika kecil sampai masa sekolah dasar aku biasa dipanggil teman-teman sebagai “Icha”, namun ketika masuk jenjang sekolah menengah pertama aku kerap memperkenalkan diri dengan nama “Chai” karena pada masa itu panggilan “Icha” terasa sangat pasaran di telinga, sehingga kala itu hanya orang-orang terdekat saja yang memanggil aku dengan sebutan “Icha”. Sekian waktu berjalan aku sendiri mulai rindu dipanggil “Icha” karena di 81 sendiri sepertinya hanya sepersekian orang yang memiliki nama panggilan “Icha”.

Dari nama, hanya sebuah nama terukir segala juta cerita. Menjadi Icha/Chai kayaknya bukan suatu hal yang signifikan untuk dibandingkan. Menurutku entah kenapa ketika dipanggil “Icha” membuat aku menjadi seperti seorang anak kecil yang masih bingung akan eksistensi kehidupan, ya walaupun sekarang juga tetap mempetanyakan tetapi ketika aku dipanggil “Chai” aku merasa seperti pribadi baru yang siap melangkah ke dunia yang baru. Sejujurnya itu omong kosong sih, biar pembawaannya agak berwibawa aja gitu karena disini topik utamanya adalah opini mengenai diri sendiri. Memilliki dua panggilan tidak membuat diriku berbeda dan memiliki dua sisi, aku tetaplah aku.

Soal opini diri sendiri ada masa dimana yang membuat diriku secara keseluruhan berubah. Saat dimana aku berada di bangku SMP kelas 7, masa-masa yang sering dan pertama kali ditekan dengan beribu-ribu presentasi, praktek dengan skala besar, masuk BK, dapat surat pernyataan, ikut lomba dalam sekolah, lomba luar sekolah, ikut ekskul-ekskul yang sebelumnya tidak ada di SD, dan masih banyak cerita absurd serta unik lainnya yang bisa membuatku menggeleng-gelengkan kepala sekarang. Di kelas 7 ini aku pertama kali bertemu teman-teman yang baru. Baru disini dalam kategori sifatnya, kelakuannya, maupun kebiasaannya. Canggung memang awalnya tapi lama-lama terbiasa malah kelewatan, karena bisa dihitung aku menjadi lebih bawel atau juga bisa dibilang talkative dari biasanya, tetapi di kelas 7 ini karena memang masih adaptasi dengan lingkungan baru aku masih dibilang terlalu kaku ketika di kelas, masih jadi anak yang mudah panik dan sangat-sangat teacher oriented. Ketika saya serius pun di kelas, aku masih terlalu kaku ketika diajak bercanda, bahkan aku cenderung akan emosi ketika ada yang mengalihkan  perhatian. Sebagai pelajar yang baru masuk SMP menyontek sangat-sangat tabu untukku dan saya menjadi egois terkadang.

Kalau dipikir-pikir melelahkan bersikap seperti itu, walaupun ketika tidak sedang serius saya tetap menjadi pribadi yang riang dan suka tertawa. Dan juga dulu kelas 7 aku mendapat kelas 78 (kelas terakhir)  yaitu kelas unggulan di angkatanku, jadi mungkin wajar sih, aku sebagai anak baru dipertemukan dengan anak baru lainnya yang bisa dihitung ‘ambis’. Sebenarnya ketika awal masuk pembagian kelas dilakukan berdasarkan tes saat MPLS, keberuntungan yang mempertemukan aku dengan 78. Di kelas yang daya saingnya cukup ketat membuat ranking aku turun drastis, di SD yang biasanya aku mendapat ranking tidak pernah tidak 10 besar, pertama kali di SMP aku mendapat ranking belasan, hal itu agak membuat aku ragu akan kemampuan diri saya dan membuat aku sedikit tidak percaya diri. Tapi pengalaman-pengalaman menjadi anak baru itu tidak dapat tergantikan dengan apapun.

Soal menjadi anak baru memang hal yang cukup lumrah untuk diwajarkan, tetapi aku tidak pernah menyesal pernah menjadi anak yang masih tertutup dan ragu dengan hal baru, karena disitu semua realita hidup terungkap. Aneh sih ini, aku berbicara layaknya seorang yang punya sejuta pengalaman hidup mengesankan, nyatanya penulis artikel ini hanya berumur 16 tahun dan seorang manusia biasa. Jika ada satu hal yang bisa disampaikan ke diriku di masa lalu, mungkin aku akan bilang “Hi Cha, you’re doing fine”. Serius, karena aku gamau buat diriku yang di masa lalu terpendam dengan rasa penyesalan dari segi apapun. Aku merasa aku sudah melakukan apa yang aku rasa benar saat ini, ya balik lagi aku pasti punya banyak kesalahan. Tapi segala kesalahan itu menjadikanku alasan untuk berubah dan maju ke depan.

Ada satu cerita lagi, masih sama latarnya, bisa dibilang ini kelanjutan dari yang tadi. Dulu mungkin aku terkena seleksi alam, ketika naik kelas 8 aku tidak mendapat kelas unggulan, justru aku ditempatkan di kelas yang isinya agak ‘brandal’. Kelas 86, tetapi untung saja ada beberapa teman yang sudah dekat, karena anxiety bertemu dengan orang baru hit me right at the point. Di kelas 86 ini saya lebih merasakan sensasinya ada di sekolah menengah. Kelas terkompak, terseru, terheboh, tersesuatu entah sampai sekarang masih ada yang belum menggantikan 86. Agak hiperbola, tapi jujur kelas itu mengajarkan saya apa arti sesungguhnya dari pertemanan, ya tapi ga-selebay itu sih, tapi beneran gitu. Duhkan bingung makin bertele-tele. Saking dikenangnya akan terlalu banyak jika cerita dengan 86 aku tumpahkan ke tulisan, intinya di kelas ini aku semakin mengenal perbedaan dan persatuan.

Aku masih dibilang newbie untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman, tapi aku tau pasti. Aku tahu bahwa aku percaya diri ku, kemana aku akan melangkah. Semoga kehidupan di depan nanti akan lebih mengesankan. Terima kasih aku, terima kasih P-assengers yang udah rela buat baca coretan ini. See you!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *