“Kalo mau foto yang backgroundnya blur, mah, gak usah repot-repot ngedit. Datang saja ke Indonesia! Kami punya banyak tempat-tempatnya. Sumatera? Kalimantan? Ada!”
Mengenaskan, bukan? Hal tersebut adalah salah satu contoh sindiran sekaligus protes masyarakat terhadap musibah ini. Tetapi sebenarnya, apakah Anda tahu apa penyebabnya? Siapa yang bersalah? Siapa yang harus bertanggung jawab? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Karena jika hanya bisa protes, sekedar menyebarkan foto-foto sebagai bentuk sindiran tanpa melakukan apapun, bagaimana kasus ini dapat terselesaikan?
Sementara, asap tak mengerti apa itu sindiran, asap tak mengenal tempat, asap berwisata kemana saja ia mau. Lalu siapa yang kita salahkan? Kabut asap? Tentu saja tidak. Maka dari itu, melalui tulisan ini, saya ingin membahas tentang musibah yang sedang melanda saudara-saudara kita di beberapa tempat di Indonesia, kabut asap yang tepatnya di Kalimantan dan Sumatera.
Sebenarnya, ada 2 penyebab dari kabut asap yang melanda sebagian wilayah Indonesia. Pertama, karena suhu yang terlalu panas dan kedua, adanya pembakaran lahan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Dan menurut beberapa sumber, kabut asap yang terjadi 70 persennya diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri. Pembakaran hutan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang menginginkan perubahan alih fungsi hutan untuk kepentingan lain. Mereka biasanya menyuruh orang lain untuk efisiensi. Ya, keegoisan pada diri seseorang itu pasti ada. Tetapi setiap manusia pasti mempunyai otak dan hati nurani yang dianugerahkan Tuhan untuk digunakan.
Sekarang yang patut dipertanyakan, dimana tanggung jawab manusia-manusia tak bertanggung jawab itu? Yang sekarang sedang berleha-leha dengan “hasil” dari kayu-kayu yang ia dapatkan. Ada juga yang seenaknya menyalahkan Presiden dan pemerintah negaranya, tanpa mengintrospeksi terhadap dirinya sendiri. Sementara, para pelajar di daerah-daerah tersebut tidak bisa melakukan aktifitas pendidikan dan berkegiatan sehari-hari. Lalu, bagaimana nasib mereka untuk masa depannya? Dan banyak masyarakatnya yang terkena gangguan saluran pernafasan akut, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.
Jika terus menerus saling menyalahkan, akan kah kabut itu menghilang dengan sendirinya? Jelas tidak. Kabut asap tidak akan merasa bersalah dan pergi begitu saja. Jika ia bisa berbicara, pasti ia akan mengatakan, “Manusia sendiri yang menyuruh kami untuk bertamu”. Lantas, sudah kah manusia-manusia tidak bertanggung jawab telah mempertanggung jawabkan “tamu” mereka?
Tahukah Anda? Musibah ini tidak hanya melanda wilayah Indonesia. Tapi juga berdampak dan meluas ke negeri-negeri tetangga, diantaranya Singapura dan Malaysia. Hangatnya perairan laut di Indonesia menyebabkan timbulnya pusat tekanan rendah dan tumbuhnya siklon tropis di Samudera Pasifik, sehingga muncul massa uap air dan asap yang mengarah pada pusat tekanan rendah tersebut, sehingga, arah angin dari Sumatera mengarah ke Singapura. Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di Provinsi Riau dan sekitarnya juga telah menimbulkan kerugian material yang besar dan mengganggu kehidupan masyarakat di kawasan tersebut.
Melihat kondisi kabut asap di Riau yang sangat memprihatinkan ini, Pemerintah Indonesia pada 21 Juni 2013 menyatakan Riau dalam kondisi tanggap darurat bencana kabut asap. Pemerintah Indonesia dan Singapura telah menjalin komunikasi dan pertemuan yang intensif, baik di tingkat teknis maupun di tingkat pejabat tinggi. Langkah-langkah tanggap darurat yang menjadi prioritas utama saat ini adalah mengendalikan situasi dan memadamkan api di titik-titik sumber kebakaran.
Pemerintah Indonesia juga memperhatikan dampak sosial dan kesehatan akibat bencana kabut asap. Diantaranya memberikan bantuan logistik berupa 10.000 masker, family kits 50 paket, 100 paket peralatan dapur dan bantuan lainnya. Dari penjelasan di atas, bisa kita lihat, siapa yang bersalah, siapa yang bertanggung jawab. Tidak selamanya kita selalu menyalahkan pemimpin negara ini. Karena terkadang kita juga tidak tahu apa yang sebenarnya sedang diusahakan oleh para pemimpin Indonesia untuk menanggulangi musibah ini.
Dan sebagai rakyat sekaligus saudara setanah air, semampu dan seikhlas mungkin membantu mereka yang sedang dilanda musibah, baik bentuk materi maupun spiritual. Contohnya, kita bisa membantu mereka dengan doa dan ibadah. Contohnya melakukan sholat Istiqa’ (Solat minta hujan) bagi kaum muslim. Dan doa-doa bersama yang dipanjatkan oleh seluruh rakyat indonesia untuk saudara-saudara kita sendiri.
Dari musibah yang telah melanda Indonesia, menurut saya kejadian ini bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua. Pertama, kita harus peduli terhadap lingkungan sekitar, jadikan lah keegoisan sebagai lawan, bukan sebagai teman untuk mencapai kesuksesan pribadi tapi menyengsarakan orang lain. Kedua, kita sebagai mahluk sosial harus saling peduli terhadap sesama. Membantu dengan ikhlas tanpa paksaan. Karena kebaikan akan datang kepada kita sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Ketiga, jadikanlah musibah ini adalah pelajaran bagi kita semua. “Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Jadikanlah masa lalu sebagai pelajaran untuk memperbaiki masa depan.
Mari kita bantu saudara-saudara kita khususnya di Sumatera dan Kalimantan! Kini, mereka hanya bisa mengharapkan bantuan dari kita semua. Masa, (minimal) diminta untuk mendoakan saja tidak mau?