inaugurasi
/inau·gu·ra·si/
kata benda
1 pengukuhan resmi dalam jabatan atau kedudukan: keputusan itu dirayakan dengan malam –;
2 pembukaan resmi (gedung dan sebagainya);
3 pelantikan resmi (mahasiswa baru)
Dikutip dari kbbi.web.id
•••
Inaugurasi, apa?
Jika disimpulkan dari 3 pengertian di atas (CMIIW?), inaugurasi—yang sering disalaheja menjadi inagurasi—berarti kegiatan (biasanya berupa perayaan) yang biasa dilakukan saat mengawali suatu keadaan ataupun jabatan baru. Yah, singkatnya, dapat juga disebut peresmian, atau pelantikan.
Inaugurasi, contohnya apa?
Inaugurasi biasanya dilakukan oleh suatu kelompok yang baru terbentuk, atau yang mempunyai kepengurusan baru. Jika mau melihat dari keseharian kita, mari kita ambil contoh ekskul di SMA Negeri 81 Jakarta.
Sebagian besar (bahkan seharusnya semua) ekskul mengalami yang namanya inaugurasi. Tapi, tidak semua ekskul menamakannya inaugurasi.
Misalnya, pelantikan paskibra, dilakukan dalam bentuk apel.
Contoh lainnya, kegiatan pramuka. Kepengurusan baru dilantik dengan apel yang dilakukan pada saat kegiatan kemah/menginap.
Organisasi yang ada di sekolah juga ada kegiatan pelantikannya. Baik OSIS maupun MPK, dan sudah dilaksanakan bulan Agustus silam.
Nah, kalo PIDAS, kegiatan pelantikannya paling enak. Makan-makan, bagi-bagi jas, kurang enak apa? 😚
Inaugurasi, caranya?
Sebelum inaugurasi atau dilantik, tentu saja seseorang harus melalui serangkaian tahapan hingga bisa dianggap “layak dilantik”.
Misalnya,
Untuk masuk ke tim inti futsal/basket, harus memperlihatkan kemampuan yang optimal saat latihan.
Untuk Paskibra, harus melewati serangkaian kegiatan latihan.
Untuk masuk Vocal Group, harus melewati tahap seleksi.
Untuk PIDAS, harus melalui kegiatan wawancara.
Tidak semua ekskul/kelompok mengharuskan anggotanya mengikuti serangkaian latihan/seleksi terlebih dahulu untuk menjadi anggota. Tapi, untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas, kegiatan latihan maupun seleksi direkomendasikan.
Inaugurasi, untuk apa?
Sebagai kegiatan pembuka, inaugurasi dapat berfungsi sebagai ajang kenalan.
Kenalan antaranggota, kenalan juga dengan tugas dan perannya di kelompok itu.
Kata pribahasa klasik, tak kenal maka tak sayang. Bagaimana mau mencintai pekerjaan jika bahkan tidak mengenalinya?
Inaugurasi, sepenting apa?
Banyak orang berkata,
“Inaugurasi nggak penting, ah.”
“Buang-buang duit doang.”
“Mendingan jalan-jalan sama temen.”
“Mager ah, ngapain sih?”
Selama kegiatan inaugurasi itu bermanfaat dan tidak melenceng dari peraturan yang ada, kenapa tidak?
Apalagi jika untuk mengalami inaugurasi itu ada perjuangannya, pasti terasa sangat lega.
Semua hal itu ada positif dan negatifnya, tergantung sudut pandang dan cara kita menyikapinya.
Lagipula, dalam mengawali sesuatu, bukannya lebih enak jika dilakukan bersama-sama?
Khusus inaugurasi PIDAS, ada agenda penting yang sayang dilewatkan—terutama untuk anggota baru.
Pada momen ini, mereka akan mendapatkan “bukti identitas”nya. Lagipula, tidak di semua kesempatan, kan, bisa foto-foto bersama teman sambil pamer identitas?
Setelah mengawali suatu hal, agar terus berjalan lancar, tentu harus memiliki tujuan yang jelas.
Contohnya, PIDAS.
PIDAS tentu saja memiliki tujuan—yang kelihatannya beberapa sudah tercapai—, dan itulah salah satu faktor PIDAS masih eksis hingga sekarang.
Tapi, apa semua anggota PIDAS sendiri sudah punya tujuan yang jelas?
Jawabannya, tentu tidak.
Bahkan, aku—yang sudah menginjak tahun kedua di PIDAS—masih labil dalam menentukan masa depan.
Jangankan cita-cita (profesi), jurusan yang akan diambil saat kuliah kelak saja belum dapat menentukan.
Oh, jangankan jurusan! Memilih mata pelajaran OSN yang akan diikuti saja memakan waktu yang lama (bahkan setelah memilih, masih ada keraguan) (dan belum tentu lolos, haha😢).
Alkisah, ada seorang anak yang ikut suatu kursus, sebut saja Kuman, karena teman-temannya pada masa itu juga kursus di tempat itu. Toh, ini kursus di bidang mata pelajaran yang dianggap penting. Tidak akan sia-sia, kan?
Lalu, karena jiwa kompetitifnya, anak itu berhasil melampaui level temannya pada saat itu, walau hanya beda tipis. Hingga sampailah pada suatu waktu di mana teman-temannya merasa jenuh dan berhenti dari kursus itu. Tapi anak itu malah keasikan ikut kursus hingga (alhamdulillah, akhirnya) lulus.
Setelah mengikuti les itu, sang anak memang merasa terbantu pada pelajaran sekolahnya. Apalagi setelah lulus. Tapi, keikutsertaannya itu juga lah yang membuatnya bingung menentukan masa depannya.
Yah, mungkin, anak itu memang menguasai pelajaran yang ia pelajari di kursus itu. Tapi, apakah sebenarnya ia minat pada bidang itu? Atau itu hanya suatu minat buatan—bukan minat alami?
Coba bayangkan.
Misalnya, 10 tahun yang lalu, kursus yang anak ini ikuti adalah sebuah les musik. Tentu saja setelah mengikutinya selama 10 tahun (jika ia tahan), ia akan menguasai (atau paling tidak, kemampuannya lebih unggul dibandingkan orang lain) bidang musik. Dan mungkin saja sekarang ia tidak bersekolah di SMA Negeri 81, tetapi di sekolah yang lebih mengutamakan kemampuan musik.
Well, mengutip perkataan dari Kevin Garnett,
“At the end of the day, you’re responsible for yourself and your actions and that’s all you can control. So rather than be frustated with what you can’t control, try to fix the things you can.“
Intinya, segala perbuatan yang telah kita perbuat (baik itu sadar ataupun tidak, paksaan ataupun ikhlas, sengaja ataupun tidak), kita harus bertanggung jawab atas hal itu. Jangan menyalahkan keadaan, fokus saja ke hal yang masih bisa diperbaiki, yaitu hal-hal di masa depan.
Untuk cita-cita, tidak bisa terjawab sekarang.
Tapi paling tidak, aku sudah tau satu hal yang ingin kucapai di tahun depan. Tidak—bahkan dua. Yaitu,
1. Terpilih mewakili sekolah untuk OSN (dan lolos sampai tahap yang—memuaskan? Nasional? Internasional? Aamiin.)
2. Menentukan cita-cita! Hehe.
—Cibubur, Desember 2016.