Tahun 2014 akan segera berakhir. Namun, bukan berarti segala sesuatu yang terjadi di tahun ini akan berakhir pula dan tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap tahun-tahun yang akan datang. Seperti halnya di bidang politik, tahun 2014 telah menasbihkan dirinya sebagai salah satu tahun politik paling “ter-” dalam sejarah Indonesia. Terpanas, tergadget, tersocmed, dan masih banyak lagi “ter-” yang masih bisa kita buat.
Pilpres 2014 yang digelar pada bulan Juli lalu ditujukan untuk memilih pemimpin baru yang akan menduduki singgasana kepemimpinan republik ini dan menjadi suksesor dari SBY yang telah berkuasa selama satu dekade lamanya. Setelah beberapa pekan terjadi perang argumen di berbagai media yang terbelah menjadi dua buah blok besar, KPU mengeluarkan keputusan yaitu kemenangan Jokowi-JK atas Prabowo-Hatta yang dikuatkan dengan ditolaknya gugatan kubu Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi.
Namun, Pilpres 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi-JK ini tidak hanya melahirkan pemimpin baru bagi Indonesia tetapi juga pemimpin baru bagi ibukota negara, Jakarta. Dengan dilantiknya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, maka secara otomatis dan konstitusional wakilnya yaitu Basuki Tjahaja Purnama harus dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta yang baru untuk mengisi kekosongan kursi gubernur yang ditinggalkan oleh Jokowi tersebut.
Perjalanan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuju kursi DKI 1 tidaklah mulus. Berbagai penolakan terhadap rencana pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru terus terjadi. Berbagai fraksi di DPRD DKI Jakarta terutama yang tergabung di dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Rajasa pada Pilpres 2014 dengan tegas menolak dilaksanakannya pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Di saat yang bersamaan, berbagai unjuk rasa penolakan terhadap Ahok juga banyak terjadi. Mereka yang melakukan unjuk rasa berasal dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) yang mengatasnamakan dirinya sebagai perwakilan masyarakat Betawi dan umat Islam. Isu yang mereka angkat sebagai alasan untuk menolak Ahok tidaklah jauh dari unsur SARA, meskipun tidak semuanya berkaitan dengan unsur SARA. Ada pula alasan-alasan lain yang lebih berkaitan dengan sikap maupun kebijakan yang diambil Ahok selama menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pada 14 November 2014, DPRD DKI Jakarta melalui rapat paripurna istimewanya yang hanya dihadiri oleh perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) secara sepihak menyetujui rencana pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru. Koalisi Merah Putih yang dengan tegas menolak rencana tersebut mengancam akan menyapu bersih seluruh kursi alat kelengkapan dewan di DPRD DKI Jakarta.
Akhirnya, pada 19 November 2014 Basuki Tjahaja Purnama secara resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Beberapa waktu kemudian, kekisruhan ini mencapai puncak klimaksnya. Organisasi-organisasi masyarakat yang selama ini dengan vokal menolak pelantikan Ahok seperti Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ), dan Forum Betawi Rempug (FBR) melakukan sebuah tindakan yang cukup sensasional yaitu secara sepihak mengangkat Fahrurrozi Ishaq (60) yang merupakan ketua ormas GMJ sebagai Gubernur “Tandingan” DKI Jakarta.
Pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sebetulnya tidak bermasalah menurut hukum, bahkan sebetulnya malah memenuhi ketentuan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU No. 12 Tahun 2008 yang merupakan pengganti dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 26 ayat 3 berbunyi:
Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
Namun, meskipun tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku Ahok tidaklah berhak untuk menganggap dirinya sebagai orang yang paling benar, paling bersih, dan respresentasi dari seluruh suara masyarakat Jakarta. FPI, FBR, GMJ, maupun ormas-ormas lainnya bahkan sebagian masyarakat Jakarta lainnya yang menolak kepemimpinan Ahok tentunya memiliki alasan kuat yang membuat mereka begitu militannya memperjuangkan aspirasi mereka.
Status Ahok yang memiliki agama yang berbeda dengan sebagian besar masyarakat Jakarta mungkin terlalu berbau SARA dan tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang kuat untuk menolak kepemimpinan Ahok. Terlebih lagi Indonesia bukanlah negara yang menerapkan hukum agama tertentu. Tetapi sikap dan kebijakan-kebijakan Ahok yang kontroversial, bertentangan dengan janjinya selama kampanye, dan tidak pro kepada wong ciliklah yang membuat geram pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Harus kita akui bahwa terdapat pula kebijakan Ahok yang bahkan cukup menciptakan suatu kegemparan di antara masyarakat Jakarta, khususnya umat Islam sebagai mayoritas di DKI Jakarta. Rencana legalisasi minuman keras, janji penggeseran dan bukan penggusuran yang tidak benar-benar ditepati, sikap diskriminatif terhadap kelompok tertentu, dan sikap arogan dan cenderung tidak mau disalahkan adalah sederet hal yang agaknya cukup memberikan alasan bagi beberapa pihak untuk menentang kepemimpinan Ahok.
FPI, GMJ, FBR, dan ormas-ormas penentang Ahok lainnya memang memiliki tujuannya yang amat mulia yaitu amar makruf nahi munkar yang seharusnya kita dukung sepenuh hati. Namun, ibarat sebuah produk orang tidak akan mau membeli suatu barang yang meskipun bagus kualitasnya tetapi dibungkus dengan kemasan yang buruk. Tindakan pengangkatan Fahrurrozi Ishaq sebagai gubernur tandingan mungkin memiliki tujuan yang mulia. Tetapi, apalah arti sebuah tujuan yang mulia apabila sama sekali tidak ada dasar hukum yang dapat melegalkan tujuan tersebut. Bahkan bisa jadi tindakan FPI tersebut justru akan menciptakan kemudaratan baru di masyarakat. FPI seharusnya memposisikan dirinya dengan lebih elegan. FPI dapat memposisikan dirinya sebagai pengkritik pemerintah non-parlemen yang dapat mengkritik Ahok apabila ia mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan baik dengan nilai-nilai syariah maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kritik yang disampaikan pun hendaknya merupakan suatu kritikan yang positif yang tidak hanya mengkritik tapi juga memberikan solusi yang lebih baik.
Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta seharusnya dapat menjadikan dirinya sebagai sosok yang lebih bijak dalam bertindak. Ahok seharusnya sadar bahwa ia merupakan seorang dari kalangan minoritas yang memimpin kalangan mayoritas. Provinsi yang ia pimpin juga bukanlah daerah dengan masyarakat homogen, melainkan masyarakat heterogen dan multikultural sehingga wajar apabila terdapat lebih dari satu kehendak di dalam kehidupan bermasyarakat.
Jakarta sebagai ibukota negara sudah seharusnya menjadi etalase dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Sudah selayaknya segala suri teladan yang baik dapat dicontohkan oleh orang-orang yang berkuasa di ibukota agar dapat dicontoh oleh saudara-saudara kita di daerah, bahkan yang terletak nan jauh di sana. Jika ingin berkuasa maka berkuasalah dengan fair melalui Pilkada yang akan digelar selanjutnya (itupun jika masih ada). Bagaimanapun juga, segala tindakan yang inkonstitusional apapun bentuknya tidak akan dapat diterima di negara yang tunduk kepada konstitusi.
Akhirnya selesai juga artikel pertama gue. Dibaca ya dan jangan lupa tinggalkan komentar!
kalo dalam islam, Umat muslim tidak boleh mengikuti pemimpin yang zalim. Tetapi untuk kepentingan bersama lebih baik kita sebagai masyarakat mengikuti peraturan-peraturan yang ada, Tapi jangan ikut-ikutan yang salah…
Terima kasih Mr.shadowlogia atas komentarnya. Memang begitu seharusnya kita bersikap di negara seperti Indonesia ini.
Gw kira awalnya si penulis mihak ke salah satu pihak. Tapi ternyata nggak 🙂 Bagus nih artikelnya
Terima kasih Ben Jonathan atas komentarnya. Sebagai seorang jurnalis (walaupun amatiran, hehe) saya tetap harus bersikap netral dengan tidak berpihak kepada salah satu golongan.
keep up the good work mad
Terima kasih diamar16 atas komentarnya.