Resensi Film Pendek “Anak Lanang”
Judul film: Anak Lanang
Sutradara, Penulis, dan Penyunting Gambar: Wahyu Agung Prasetyo
Produser: Jeihan Angga
Penata Gambar: Tito Bagus Ramadhan
Penata Artistik: Rizal Umami
Penata suara: Prima Setiawan
Tahun produksi: 2017
Durasi: 14 menit 51 detik
Pemeran:
- Satrio Satya Purnama
- Mahrival Surya Manggala
- Muhammad Khildan Habibie
- Khoirul Ilyas Ariatmaja
- Adi Marsono
- Ibnu Widodo
“Empat anak sekolah dasar membahas kehidupan mereka dalam perjalanan pulang sekolah di atas becak. Hari itu bertepatan dengan Hari Ibu.”
Film pendek Anak Lanang merupakan video berdurasi 14 menit 51 detik yang mengisahkan obrolan 4 anak sekolah dasar mengenai kehidupan mereka, yang semakin menarik ketika hari tersebut bertepatan dengan Hari Ibu.
Keunikan yang pertama kali saya tangkap adalah teknik pengambilan filmnya, yaitu one shot. Begitu melihat teknik one shot yang dipilih kru film, saya semakin tertarik untuk menonton lebih lanjut. Masuk pada fokus ceritanya, menurut saya film ini merupakan film pendek yang memuat kehidupan sehari-hari murid sekolah dasar di berbagai belahan daerah di Indonesia. Pulang sekolah, mengobrol dengan teman di jemputan (dalam kasus ini; becak), meributkan hal-hal sepele, meminta jawaban PR, dan lain sebagainya. Aktivitas yang ditampilkan dalam film sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, sehingga termasuk film yang ringan—yang dapat atau pernah dirasakan oleh setiap orang.
Awalnya, saya jujur belum dapat menangkap pesan pasti yang hendak disampaikan dalam film Anak Lanang ini. Mencapai akhir film, saya semakin dibuat bingung karena implikasinya yang dapat mengacu pada beberapa kesimpulan. Dengan begitu, saya mencoba untuk menontonnya kembali, dan pada akhirnya saya dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan film tersebut.
Film pendek Anak Lanang menyampaikan pesan ceritanya dengan unik. Empat orang anak sekolah dasar yang meributkan kehidupan sehari-harinya, dan semakin menarik ketika sadar bahwa hari itu adalah hari ibu. Percakapan para pemerannya mengalir begitu lancar, terdengar sama seperti keriuhan anak-anak sekolah dasar ketika masuk dalam suatu obrolan. Mulai dari membicarakan ponsel baru, PS, Instagram, hingga pada akhirnya; hari ibu.
Dalam film tersebut dapat kita lihat perbedaan karakteristik masing-masing pemeran; Sigit yang penyabar, Danang si provokator, hingga Yudho dan Samsul, duo yang senang meributkan hal-hal sepele. Menariknya, di akhir cerita, terungkap bahwa Yudho dan Samsul ternyata tinggal dalam satu rumah yang sama. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keduanya punya satu bapak, namun ibu yang berbeda. Hal ini juga ditegaskan di akhir film, dimana hanya terdapat suara yang sahut-menyahut, menyampaikan secara tersirat bahwa Yudho dan Samsul memiliki ibu yang berbeda.
Dalam sisi penyampaian filmnya, saya menangkap kenaturalan yang ingin ditonjolkan sang sutradara. Dengan teknik one shot, penonton dapat melihat latar belakang berjalannya percakapan yang memang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah jalan raya dengan motor kebut-kebutan, atau hal-hal kecil seperti tukang becak yang menggunakan kaus partai, gelaran karpet yang dijemur di pinggir jalan, hingga poster promosi di tiang listrik yang mengatakan ‘Beli Rumah Dapat Istri’. Perkara-perkara remeh yang justru semakin menghidupkan latar belakang kehidupan sebenarnya.
Selain itu, teknik one shot juga tidak gagal membuat saya kagum. Perjuangan di baliknya tentu tidak mudah, melihat pemeran-pemerannya yang masih anak-anak, yang mana memerlukan briefing lebih sebelum dimulai. Sutradaranya sendiri mengakui bahwa disitulah letak tantangannya, dan saya salut akan kerja keras seluruh kru hingga dapat mewujudkan film jebolan Indonesian Film Festival (IFF) Australia ke-14 ini.
Jalan ceritanya yang mengambil fokus pada Hari Ibu membuat saya berpikir darimana Hari Ibu tersebut muncul. Lebih-lebih ketika sang tukang becak mengajak keempat anak SD tersebut bermain tebak-tebakan mengenai siapa yang menciptakan Hari Ibu. Jawaban tukang becak yang hanya sebatas ‘orang Amerika’ memanggil saya untuk melakukan penelusuran lebih lanjut. Ada yang menarik dari sejarah Hari Ibu di Amerika. Hari Ibu merupakan hasil gagasan seorang wanita dari Amerika Serikat, Anna Jarvis, sekitar tahun 1900an. Terdengar sederhana, namun nyatanya terdapat sejarah kelam di belakangnya. Menyelam lebih lanjut, saya menemukan fakta cukup gelap di baliknya. Sebelum Anna Jarvis, seorang penulis buku berjudul The Battle Hymn of the Republic, Julia Ward Howe, ternyata pernah mempromosikan Hari Ibu pada awal 1872 untuk mengajak perdamaian dunia setelah kekejaman Perang Saudara Amerika dan Perang Prancis-Prusia. Kegiatan Hari Ibu dijalani oleh seluruh wanita di sebuah ruangan besar untuk mendengarkan ceramah, menyanyikan himne, atau berdoa—seluruhnya dilakukan untuk mengharapkan perdamaian dalam dunia.
Plot: 4/5
Pemeran: 5/5
Penyampaian film: 5/5
Tema/pesan: 4.5/5
Final rating: 4.625/5
Sampai di sini dulu resensi film pendek berjudul Anak Lanang. Teman-teman bisa menonton film ini di youtube Ravacana Films, karena sangat cocok ditonton untuk mengisi waktu luang. Terima kasih!