Siapa pahlawanku? Sejak kecil, aku sudah mengagumi banyak tokoh-tokoh pahlawan di sejarah Indonesia. Namun, dengan naiknya perbincangan tentang nepotisme dan privilege, aku jadi memikirkan salah satu pahlawan Indonesia yang sudah tidak asing di telinga banyak orang. Yaitu, Eduard Douwes Dekker.
Max Havelaar, sebuah buku karya Multatuli dengan nama asli Eduard Douwes Dekker. Buku ini menceritakan tentang kritik atas ketidakadilan dan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat pribumi di Lebak, Banten dari adanya sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel yang diterapkan oleh pemerintah Belanda. Pada bagian akhir buku ini, Multatuli menyampaikan permintaannya secara langsung kepada Raja William III untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang di atas daerah jajahan Belanda. Melalui buku inilah kebijakan Cultuurstelsel dihapuskan dan muncullah Politik Etis.
Namun, kenapa seorang Eduard Douwes Dekker, orang berdarah Belanda dan terlahir di keluarga yang mapan ingin memperjuangkan hak-hak masyarakat pribumi di Indonesia? Eduard Douwes Dekker lahir pada 2 Maret 1820 dari keluarga terpandang di Amsterdam. Ayahnya yang merupakan seorang kapten kapal membuatnya memiliki hidup yang berkecukupan dan privilege untuk meraih jenjang pendidikan yang tinggi, dan dirinya sendiri pun termasuk ke dalam anak berprestasi. Ia merupakan penulis terkenal yang aktif menulis dengan gerakan ide liarnya meski gaya penulisanya biasa saja.
Ketika dirinya datang ke Indonesia, Ia bekerja di kantor perdagangan dan melewati banyak rintangan dikarirnya, namun pada akhirnya ia bisa mencapai posisi asisten residen di Ambon pada tahun 1851. Namun dirinya cuti kerja dan kembali ke Belanda akibat masalah kesehatan. Pada 10 September 1855 ia kembali ke Batavia dan ditempatkan di Lebak sebagai asisten residen. Dan di sinilah dirinya melihat terjadi praktik-praktik pemerasan yang terjadi pada rakyat yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para jajarannya. Mereka membeli ternak dan hasil bumi rakyat dengan harga yang terlalu murah.
Melihat ketidakadilan tersebut, dirinya pun membuat buku berjudul Max Havelaar yang berarti “Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda” Dengan atas nama samaranya yaitu Mutatuli dari bahasa Latin yang berarti “aku yang banyak menderita”. Dalam bukunya, Mutatuli menceritakan penderitaan yang dialami masyarakat Lebak, Banten dan kritikan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah Belanda di daerah jajahannya. Dibuatnya buku ini, bertujuan untuk membuka mata masyarakat Belanda mengenai kenikmatan yang mereka rasakan adalah hasil dari penderitaan masyarakat di negara kain. Namun, tulisan ini juga bertujuan untuk mencari rehabilitasi untuk pengunduran dirinya dari layanan pemerintah.
Melalui buku Max Havelaar, muncullah kaum humanis yang ikut serta dalam mendesak pemerintah Belanda agar memberikan balas budi terhadap masyarakat pribumi di Indonesia. Maka terbentuklah Politik Etis yang terdiri dari Pendidikan, Irigasi, dan Emigrasi untuk masyarakat pribumi.
Dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran untuk menggunakan privilege yang kita miliki untuk kebaikan. Seperti Eduard Douwes Dekker yang terlahir dari keluarga terpandang, berdarah Belanda, dan berposisi sebagai asisten residen pada kala itu, menggunakan privilege nya untuk membuka mata masyarakat Eropa terhadap ketidakadilan yang dialami masyarakat pribumi di Indonesia. Dengan kondisi saat ini dimana nepotisme dan privilege sedang ramai diperbincangkan dan memperoleh banyak kecaman dari publik, saya pribadi merasa bahwa nepotisme dan adanya privilege itu bukanlah hal yang sepenuhnya buruk. Karena pada akhirnya semuanya bergantung kepada apa yang orang dengan privilege itu lakukan dengan statusnya.