Kalau lagi jalan-jalan ke bioskop, sering sekali kita lihat poster film tentang superhero dari luar negeri. Mereka pakai pakaian yang gagah dan memiliki kekuatan yang unik. Mereka bisa mengubah dan menyelamatkan dunia dengan kekuatan super miliknya itu! P-assangers pernah bertanya-tanya gak sih, apakah ada orang seperti superhero di dunia nyata?
Surprisingly, ternyata ada lho orang-orang dengan aksi dan advokasinya yang luar biasa super sehingga bisa menolong banyak orang. Kita sebut mereka “Pahlawan”. Kalau kita rewind sejarah Indonesia, banyak sekali orang berjasa besar yang kita sebut pahlawan. Eits, tidak semua yang disebut pahlawan selalu ikut perang melawan penjajah, tapi juga ada pahlawan yang berjuang melalui pendidikan.
Siapa sih yang terlintas langsung di pikiran P-assangers kalau ditanya tentang “Pahlawan Revolusioner Pendidikan dan Hak Perempuan”?
Kebanyakan dari kita akan menjawab Raden Ajeng Kartini yang berasal dari Jawa Tengah. Tapi, pernah kepikiran gak sih, apakah ada pahlawan yang memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan?
Tentu ada dong, P-assangers!
Perkenalkan, Raden Dewi Sartika, pahlawan revolusioner pendidikan bagi perempuan asal Jawa Barat! Hmm.. kira kira, P-assangers yang asalnya dari Jawa Barat tau tentang Dewi Sartika gak nih?
Raden Dewi Sartika dilahirkan di Cilengka, Jawa Barat pada 4 Desember tahun 1884. Beliau adalah putri dari Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Dari Namanya saja, kita sudah tahu kalau Dewi Sartika berasal dari keluarga priyayi sunda yang terpandang dan berstatus sosial tinggi di kalangan masyarakat kala itu.
Dewi Sartika tumbuh di lingkungan keluarga yang harmonis bersama kedua orang tua dan keempat kakak lelaki beliau yaitu R. Somamur, R. Yunus, R. Entis, dan R. Sari Pamerat. Beliau sangat bahagia dan berkecukupan.
Pemikiran mengenai pentingnya edukasi telah dimulai dan dipupuk sedari Dewi Sartika kecil. Dewi Sartika disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah belanda walaupun hal tersebut menentang adat yang ada. Langkah besar kedua orang tua beliau di dasari dari semangat perjuangan dalam melawan Belanda. Berbeda dari ayahnya, Raden Somanagara, yang berjuang secara politis, Dewi Sartika mengikuti jejak ibunya dengan berjuang melalui akademis dan edukasi. Pengetahuan akan kebudayaan Sunda beliau dapatkan dari pamannya, sedangkan pengetahuan mengenai Belanda dan kebudayaan barat beliau dapatkan dari seorang nyonya Asisten Residen berdarah Belanda.
Di tengah jejak perjuangan, Raden Somanagara diasingkan dengan menghembuskan napas terakhirnya di Ternate. Kepergian sang ayah membuat Dewi Sartika dan ibunya pindah dan menetap di Bandung.
Kemampuan belajar anak-anak dan perempuan saat itu sangat minim salah satunya kurangnya kebisaan baca, tulis, dan hitung. Sejak tahun 1902, Dewi Sartika telah memulai aksi mengajarnya kepada anggota keluarganya yang perempuan. Beliau mengajar tentang memasak, menjahit, membaca, menulis, dan lain sebagainya. Kecintaannya akan pendidikan membuat Dewi Sartika berambisi dan meminta izin kepada keluarganya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan (anak gadis). Pada awalnya, beberapa sanak keluarga beliau bimbang akan langkah yang diambil oleh Dewi Sartika mengingat nasib ayahnya yang harus meregang nyawa di pengasingan. Memang takdir baik datang kepada Dewi Sartika. Beliau berhasil meyakinkan keluarganya berkat bantuan dari kakeknya, R.A.A Martanegara. Dewi Sartika berhasil membangun sekolah khusus perempuan yang diberi nama “Sekolah Istri” di tahun 1904.
Tidak mulus perjalanan Dewi Sartika dalam merintis dan mengembangkan edukasi bagi perempuan melalui “Sekolah Istri”. Sedikit sekali anak-anak gadis yang mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah, hanya sekitar 20 orang saja. Fasilitas belajar pun hanya berada di satu ruangan kantor Kabupaten Bandung. Pengajarnya juga baru hanya 3 orang, yaitu Dewi Sartika sendiri dibantu dengan 2 saudarinya Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
Tahun 1905, sekolahnya pindah ke Jl. Ciguriang karena kebutuhan penambahan kelas untuk angkatan baru. Perpindahan lokasi sekolah ini didanai oleh tabungan pribadi Dewi Sartika dan bantuan dana pribadi Bupati Bandung.
Tahun 1906, ketika Dewi Sartika genap berusia 22 tahun, beliau menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata. Suaminya juga merupakan seorang guru di daerah Karang Pamulangan. Pasangan suami istri ini memiliki visi dan misi yang sama dalam dunia pendidikan khususnya bagi kaum perempuan.
Berkat dukungan dari sang suami, Dewi Sartika kembali menggunakan aset pribadinya untuk mengembangkan sekolahnya sehingga memenuhi syarat menjadi sebuah sekolah formal pada tahun 1910. Sekolahnya juga telah memiliki ratusan murid dan lulusan yang membuktikan bahwa hak pendidikan perempuan tidak ada bedanya dengan hak kaum laki-laki.
Tahun 1912, telah berdiri 9 Sekolah Istri di setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan. Karena telah berkembang, tahun 1914, Dewi Sartika mengubah nama sekolahnya menjadi “Sekolah Keutamaan Istri”. Gerakan pendidikan melalui sekolah ini terus berkembang hingga pada 1920, seluruh kota kabupaten di Pasundan telah memiliki sekolah ini. Semangat dan giat pendidikan ini juga sampai ke tanah Sumatra, khususnya di Bukittinggi. Dibangunlah “Sekolah Keutamaan Istri” oleh Encik Rama Saleh.
Di umur ke 25, Dewi Sartika diberikan penghargaan bintang jasa oleh pemerintah Hindia Belanda berkat kegigihannya dalam menyuarakan kesetaraan hak pendidikan bagi kaum perempuan dan aksinya dalam membangun sekolah khusus anak-anak gadis.
Walaupun telah mencapai prestasi yang gemilang, perjuangan beliau dalam mengembangkan dam mempertahankan sekolahnya juga tidak senantiasa mulus. Dampak dari Perang Dunia I menyebabkan seluruh harga kebutuhan sekolah meningkat sehingga Dewi dan suaminya harus bekerja keras demi mendapatkan dana. Tak berhenti, tahun 1939, suami Dewi Sartika, Raden Agah, meninggal dunia. Dewi harus berjuang sendiri untuk sekolahnya. Tahun 1945, Agresi Militer Belanda-Inggris menyulut emosi warga Bandung hingga terjadilah peristiwa Bandung Lautan Api. Peristiwa tersebutlah yang memaksa Dewi harus mengungsi ke Garut dan meninggalkan sekolah yang telah berpuluh tahun beliau perjuangkan.
Telah berpuluh-puluh tahun lamanya Dewi Sartika memperjuangkan hak dan mendidik perempuan khususnya di Bandung, Jawa Barat. Kesehatan beliau mulai menurun. Beliau pula telah menua. Obat dan makanan sukar beliau peroleh saat mengungsi. Di Cinean, beliau jatuh sakit. Segala pertolongan telah beliau dapatkan namun sayang tidak dapat menyelamatkan nyawanya.
11 September 1947, hari ketika masyarakat kehilangan sesosok wanita yang mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan. Di usia 63 tahun, Dewi Sartika menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 09.00 WIB. Beliau dimakamkan secara sederhana di Cinean karena masih dalam masa pengungsian.
Dari Raden Dewi Sartika, banyak sekali hal-hal positif yang dapat kita peroleh. Dewi Sartika tidak mudah menyerah bahkan dalam keadaan yang sangat menekan. Beliau tetap fokus pada tujuannya untuk menaikkan kelayakan pendidikan bagi kaum perempuan. 19 tahun kepulangannya, Dewi Sartika diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Nah P-assangers, menyentuh sekali ya perjalanan hidup Dewi Sartika. Semoga kita semua bisa mengikuti jejak beliau dan pahlawan lainnya sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat hingga masa mendatang. Jangan pernah takut untuk memulai dalam meraih apapun yang kita cita-citakan ya, P-assangers!
What’s your thought about it, P-assangers? Leave it on comment down below!
See you next time, adiós