Sudah 26 tahun berlalu semenjak kematian sang penyair Indonesia, Chairil Anwar. Bahkan hari lahirnya diperingati sebagai Hari Puisi pada tanggal 26 Juni dan tanggal kematiannya 28 April diperingati sebagai Hari Sastra (pada era 1950-an). Sang penyair yang dijuluki ‘Si Binatang Jalang’ telah melahirkan 96 karya, termasuk 70 puisi. Chairil Anwar memang mempunyai caranya sendiri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Saat Chairil beranjak usia 18 tahun, ia memutuskan tidak lagi bersekolah. Dia memang sudah bertekad untuk menjadi seniman sejak dia usia 15 tahun. Tepat, kedua orang tuanya bercerai Chairil memutuskan untuk ikut bersama ibunya pindah ke Batavia (Jakarta). Di kota sinilah ia mendalami dunia sastra. Nisan adalah karya puisi pertama Chairil pada tahun 1942 yang terinspirasi oleh kematian neneknya. Jika kita melihat bait pertama hingga ketiga, yang terbunyi:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.
Hanya dengan kata-kata yang sederhana namun kuat, Chairil Anwar dapat membuat kita yang sebagai pembaca memikirkan lagi pandangan kita mengenai kematian dan kehidupan. Suatu pengakuan yang menegaskan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang langsung menusuk kalbu atau menghasilkan kesedihan yang mendalam. Tetapi, lebih seperti peneriman terhadap kematian, atau “keridhaanmu” , adalah kunci dari segala menghadapinya. Dapat kita lihat bagaimana Chairil Anwar dalam menuangkan pikirannya kepada karyanya selalu mencerminkan semua aspek kehidupannya. Sayangnya, karya puisinya tidak diterima oleh majalah Pandji Pustaka karena terlalu individualistis dam tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Hasilnya, puisi-puisinya beredar di atas kertas murah dan tidak diterbitkan hinga tahun 1945.
Tetapi, itu semua tidak memadamkan semangat Chairil Anwar dalam menghasilkan karya-karya dari pikirannya. Pada tahun 1943, Chairil mencurigai niat baik Jepang dalam membentuk Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso). Menurut pandangannya, pemerintah Jepang memiliki niat balik dibalik ini semua, yaitu memanfaatkan semangat kebudayaan bangsa Indonesia sebagai potensi perang demi memenangkan kepentingan Jepang. Dengan semangat yang membara, Chairil mengumpulkan tokoh sastrawan Indonesia untuk membangun Angkatan 45. Chairil sebagai pelopor Angkatan 45 membuat suatu tempat dimana para tokoh sastrawan bisa mengemukakan karya puisi mereka dengan revolusioner dan futuristik sehingga menyurutkan perasaan kemerdekaan. Hasil karya mereka adalah bukti perjuangan mereka dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Jepang. Suatu angin segar yang dibawa oleh Chairil Anwar kedalam perkembangan sastra di Indonesia. Dampak dari gerakan yang dibikin Chairil membuat Bahasa Indonesia menjadi bisa dieksplorasi dan punya potensi menjadi Bahasa nasional yang utuh paripurna menurut A. Teeuw, professor ahli kesusasteraan Indonesia. Karena pada tahun itu, Bahasa Indonesia masih belum sempurna. Chairil yakin bahwa Bahasa Indonesia bisa menjadi Bahasa yang mempersatukan pemuda-pemudi Indonesia.
Perjuangannya tak hanya sampai situ, Chairil juga terus menulis puisi mengenai kemerdekaan Indonesia. Salah satunya adalah karya puisinya yang cukup menyentuh, yaitu “Karawang-Bekasi”. Puisi tersebut memang diambil dari peristiwa pembantaian warga Karawang hingga Bekasi oleh penjajah Belanda. Dari peristiwa tersebut, Chairi Anwar terinspirasi untuk menulis puisi dari peristiwa nyata itu. Dalam makna puisinya menceritakan tentang jasa pahlawan dalam melawan penjajah dan pahlawan dengan semangat yang menggebu kini sudah tidak bisa lagi mengobarkan apinya. Karena tugas generasi berikunya yang melanjutkan membangun negara Indonesia menjadi negara yang berkualitas.
Tak hanya itu, Chairil Anwar juga kerap terjun langsung kedalam pergolakan perjuangan kemerdekaan saat ia menumpang di rumah Sultan Sjahrir, Perdana Menteri pertama di Indonesia dan merupakan keponakan Sjahrir. Dulu Chairil pernah menjadi kurir Sjahri dalam membawa kabar kekalahan Jepang dari tentara Sekutu kepada Subadio Sastrastomo, juru runding andalan Indonesia. Subadio, yang saat itu berada di Kantor Komisi Bahasa Indonesia, melanjutkan tersebut ke kelompok pemuda dan teman-teman seperjuangan. Setelah Indonesia Merdeka, Chairil tetap menuliskan puisi. Seperti pada karyanya yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno” yang ditulis pada tahun 1948. Menginspirasi para pembaca untuk lebih mencintai tanah air, tidak membiarkan berjuang. Tetapi, harus terjalin kerja sama antara rakyat dan pemerintah.
Pada tanggal 9 April 2017, sejumlah budayawan dan sastawan asal Sumatera Barat yang tergabung dalam Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional mengusulkan agar Chairil Anwar diberi gelar Pahlawan nasional. Karena telah menyumbang berbagai karya monumental dan pantas menerima gelar kehormatan tersebut. Selain itu, pemerintah Republik Indonesia memberikan suatu Anugerah Seni kepada Chairil Anwar dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Agustus 1969, No. 071 tahun 1969.
Melihat jejak Chairil Anwar membuat kita sadar bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bisa dengan apapun caranya. Walau sekarang kita tidak dijajah oleh para penjajah asing namun, kita harus tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena bisa saja ada pihak yang tidak menyetujui kemerdekaan Indonesia. Sebagai pelajar kita bisa turut berpartisipasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan belajar yang giat, melestarikan budaya, mempelajari sejarah Indonesia, dan masih banyak lagi.
Namun yang sudah menjadi kewajiban sebagai pelajar adalah belajar. Karena dengan belajar yang tekun, kita sebagai pelajar bisa meningkatkan integritas diri dengan menambah ilmu, kemampuan berpikir kritis, dan lain-lain. Dengan begitu, kita bisa memajukan bangsa Indonesia dengan bangsa dari negara lainnya. Jangan kita patah semangat, mari kita terus kejar impian kita.