Bingkai Kaca Sumpah Pemuda

Halo-halo P-assengers! Time flies, gak kerasa ya kita sudah hampir di penghujung tahun 2017. Di akhir bulan Oktober kemarin Negara kita yang tercinta ini, Indonesia, merayakan hari yang sangat penting bagi pemuda-pemudi Indonesia. Apa lagi kalau bukan Hari Sumpah Pemuda. Yapp Hari Sumpah Pemuda jatuh tepatnya di tanggal 28 Oktober kemarin. Tidak terasa 28 Oktober kemarin, menjadi 28 Oktober ke 89 bagi pemuda-pemudi Indonesia.

Delapan puluh sembilan tahun sudah terlewati sejak pemuda-pemudi Indonesia mendeklarasikan persatuan dan sumpahnya. Bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Delapan puluh sembilan tahun sudah terlewati sejak Bung Karno mengenalkan peci sebagai identitas pergerakan nasional yang akhirnya banyak dipakai oleh peserta kongres. Delapan puluh sembilan tahun sejak polisi Belanda melarang menggunakan yel-yel ‘Merdeka’ dalam kongres yang dilaksanakan. Delapan puluh sembilan tahun pula telah terlewati sejak pertama kalinya lagu kebangsaan kita, Indonesia raya dikumandangkan langsung oleh penciptanya, Wage Rudolf Soepratman, dengan iringan biola yang menghipnotis seluruh peserta kongres.

Indonesia Raya yang dahulu dikumandangkan hanya diiringi dengan suara biola merdu Wage Rufold Soepratman tanpa teks maupun lirik khawatir akan menimbulkan konflik dengan polisi Belanda. Bagaimana dengan sekarang? Indonesia Raya diputar setiap pagi di sekolah, dikumandangkan melalui speaker, dan kita menyanyikannya dengan lantang. Sangat berbeda bukan? Kita dapat menyanyikan Indonesia Raya dengan lantang dan penuh semangat karena tidak ada lagi kekhawatiran atas Belanda. Tapi apakah itu kenyataan? Apakah kita sebagai pemuda-pemudi Indonesia benar-benar mendalami arti dari Indonesia Raya itu sendiri? Mungkin kalian sudah tau jawabannya. Ya betul, jawabannya tidak. Yaa walaupun tidak menutup kemungkinan memang ada diantara dari kita yang benar-benar mendalami lagu Indonesia Raya tersebut, tapi mayoritas? I don’t think so. Kenapa kita yang sekarang ada di jaman yang modern, mengakses apapun hanya dalam hitungan seperkian detik, berpergian kemanapun hanya perlu membuka telpon genggam, dan lebih terpelajar pula, tetapi tidak bisa menanamkan sifat-sifat pemuda-pemudi jaman Sumpah Pemuda. Dilihat dari menyanyikan lagu kebangsaan saja kita masih kalah telak dengan pemuda-pemudi dahulu yang harus diam-diam untuk menyanyikan lagu kebangsaan sendiri. Sebenernya apa yang salah dari generasi kita?

Katanya sih berbangsa satu, bangsa Indonesia. Tapi tiap liat channel tv isinya berita tawuran sekolah sana-sini. Denger-denger juga katanya bertanah air satu, tanah air Indonesia. Tapi kaum mayoritas selalu dipandang lebih tinggi dan minoritas selalu disuruh ngikut. Katanya juga sih berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tapi slang yang berbau negative tetep aja bermunculan.

The lack of moral it is. Hal-hal itu bisa terjadi karena budaya Timur yang kita anut selama ini mungkin aja sudah memudar. Dengan globalisasi, informasi apa sih yang kita gak bisa cari tahu? Hampir semuanya bisa kita pelajarin.

Technology is a useful servant but a dangerous master’

Mungkin cara kita dalam memanfaatkan teknologi yang salah. Padahal seharusnya teknologi seperti yang ada saat ini dapat menyatukan kita lebih erat lagi. Johannes Leimena dari Ambon, Maluku harus berlayar 2.714,7 KM untuk datang ke rumah Sie Kong Liang di Kramat Raya, Jakarta untuk ikut serta merumuskan Sumpah Pemuda. Sedangkan sekarang kita sudah bisa menikmati temuan Wright Bersaudara yaitu pesawat terbang untuk bepergian jauh seperti itu. Tapi buktinya sampai sekarang kita belum bisa menyatukan pemuda-pemudi Indonesia seperti dulu lagi. Kejahatan atas suku, ras, agama, dan antar golongan kerap terjadi. Mau dari ujung Sabang Indonesia, sampai ke ujung Merauke Indonesia, kejahatan atas suku, ras, agama, dan antar golongan masih dapat kita temukan.

Apakah itu yang kita harus hadapi padahal Sumpah Pemuda aja umurnya sudah 89 tahun? Hampir seabad Sumpah Pemuda dikumandangkan, seharusnya masalah-masalah seperti itu tidak lagi menjadi penghalang pagi pemuda-pemudi Indonesia untuk membangun negeri ini. Seharusnya dengan umur Sumpah Pemuda yang mendekati satu abad ini, kita bisa menunjukan semangat juang pemuda-pemudi terdahulu, meneruskan cita-cita pemuda-pemudi terdahulu, membanggakan leluhur kita dengan prestasi yang dapat diraih oleh generasi muda Indonesia sekarang. Namun kenyataannya, masih banyak dari kita yang bersikap acuh tak acuh terhadap kenyataan yang terjadi di negeri ini, masih menutup mata dengan realita yang terjadi, menunjukan sikap apatis atas persoalan negeri, dan masih mengumpat dibalik kelompok demi kepentingan diri sendiri.

Kita terlalu bersikap menerima terhadap apa yang terjadi. Belum ada rasa hutang budi maupun rasa terimakasih atas apa yang telah dilakukan leluhur kita terdahulu. Momen-momen seperti Sumpah Pemuda hanya dianggap sebagai karya seni rumit berbingkai kaca di dalam sejarah yang hanya tinggal menunggu kapan berdebu dan akhirnya tidak dapat dilihat lagi oleh generasi mendatang. Meaningful yet disturbing to think about isn’t it? How do we fix this?

Pertama, persatuan. Selalu inget bahwa kita semua ini satu. Walaupun dari ujung rambut sampai ujung jari kaki kita beda, tapi kita tetap satu. Sama-sama jalan di trotoar Indonesia yang kebanyakan disalah gunakan, sama-sama gregatan liat koruptor keluar masuk penjara sesuka hati, sama-sama berjuang dibawah dewan dewan senior yang hobi tidur saat sidang tapi tunjangan-tunjangannya minta dinaikin terus. Persatuan disini bukan berarti kita harus buat kongres ngumpulin orang dari Sabang sampai Merauke terus buat kongres. Persatuan bisa dilakukan dengan banyak cara, dengan menerima opini orang lain saat diskusi kelompok dan mengusahakan jalan yang menguntungkan bagi semuanya aja udah persatuan. Jadi jangan dibuat susah yaa.

Kedua, mengutamakan kepentingan bangsa. Let’s take a step back, pemuda-pemudi dahulu membelakangkan perbedaan suku ataupun golongannya masing-masing. Yang mereka pikirkan saat itu cuma gimana caranya Indonesia bisa bersatu dan mencapai kemerdekaan. Karena sekarang kita sudah merdeka, jadi kita dipermudah lagi untuk ikut serta dalam mengutamakan kepentingan bangsa, yaitu dengan cara belajar. Satu kata, 7 huruf yang dampaknya di luar bayangan kita semua kalau dimanfaatkan dengan maksimal. Bangsa kita masih membutuhkan generasi-generasi baru dengan pemikiran-pemikiran inovatif untuk meneruskan tongkat estafet kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, meningkatkan semangat gotong royong dan kerjasama. Bahkan Sumpah Pemuda gak bakal terbentuk kalau pemuda-pemudi dahulu tidak punya semangat gotong royong dan kerjasama. Karena itu penting bagi kita generasi penerus untuk memegang teguh semangat tersebut. Dengan kerjasama dan gotong royong, kita bisa dapat mengerjakan suatu hal dengan lebih mudah dan tentunya dapat membuat kita lebih bersemangat karena mengerjakannya bersama-sama.

Sekarang setelah delapan puluh sembilan tahun sejak Sumpah Pemuda diikrarkan oleh para pemuda, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam pembuatan maupun di dalam Sumpah Pemuda itu sendiri harus kita lestarikan dan junjung tinggi demi mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa di era yang sangat modern ini. Sebagai bangsa dengan kurang lebih 1.340 suku bangsa dan 546 bahasa berbeda yang digunakan dari Sabang sampai Merauke, tidak dapat dipungkiri bahwa kita harus terus menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam keberagaman.

Ditambah dengan arus globalisasi yang sangat deras memasuki budaya Indonesia, dapat membuat generasi penerus bangsa lupa terhadap budaya asalnya. Sekarang saatnya kita membuka kembali karya seni berbingkai kaca yang menunggu berdebu, dan berjuang untuk melestarikannya agar dapat dicontoh juga oleh generasi di masa yang akan datang.

‘Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia’

(Bung Karno)

Dari kata-kata Bung Karno tersebut kita dapat belajar bahwa pejuang orang tua mempunyai kemampuan memajukan bangsa, tetapi pemuda yang pikirannya masih muda dapat mengubah bukan hanya bangsa tapi juga dunia.

Jadi, sudah jadi apa kamu saat Sumpah Pemuda ke 90 nanti?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *