Hola, generasi penerus bangsa!
Saya disini mau nulis sedikit pandangan saya tentang bibit-bibit penerus bangsa yang dalam waktu 10-15 tahun akan menggantikan pemimpin negara kita sekarang, sekaligus sedikit merayakan hari anak nasional. Yeaaay!
Yang pertama harus dipikirkan, apa aja sih bekal anak-anak Indonesia untuk ke depannya dapat menjadi pemimpin yang lebih baik?
1. Pendidikan
Pendidikan, itu jelas. Di Indonesia sudah diterapkan ‘Wajib Belajar 12 Tahun’ sejak tahun ajaran 2013/2014. Menteri Pendidikan tentu saja tidak menerapkan sistem ini tanpa alasan. Kita semua ingin Indonesia menjadi lebih maju dan lebih cerdas. Terbukti, sejak diterapkan sistem wajib belajar, angka buta huruf di Indonesia mulai menurun. Siapa tahu, beberapa dekade lagi akan muncul peribahasa “Kejarlah ilmu sampai ke Indonesia”.
2. Teknologi
Negeri kita yang makmur ini sudah bisa dikatakan melek teknologi. Kita dapat mengakses informasi dari negara lain hanya dengan satu kali click. Berbagai gadget dapat keluar-masuk dengan mudah dari berbagai negara. Bahkan dari usia balita pun sudah kenal berbagai gadget yang belum tentu orang dewasa miliki, seperti Ipad, Tablet, ataupun Laptop. Ini bisa dikatakan bagus untuk bekal mereka, atau justru berbahaya?
3. Pola Asuh Orang Tua
Ketika bayi baru dilahirkan ke dunia, mereka akan mengenal orang tua mereka sebagai acuan hidup. Apa saja yang dilakukan orang tuanya, pasti dilakoni juga oleh si bayi. Oleh karena itu, orang tua harus cukup cerdas agar bisa ‘mengajari’ anak mereka. Kalau si anak bertengkar dengan temannya, harus dimarahi. Jangan terus-menerus dibela jika tidak ingin anaknya jadi manja.
Tidak seharusnya juga anak dibiarkan “hidup dengan babysitter”. Di era ini, kebanyakan pasangan yang baru menikah memilih untuk bekerja seharian, demi masa depan anak mereka, katanya. Perempuan juga memilih kehidupan sebagai wanita karier, bukan sebagai ibu rumah tangga. Kontras sekali dengan budaya belasan tahun lalu, dimana hanya lelaki yang bertugas mencari nafkah, dan si perempuan bertugas mengurus berbagai kebutuhan rumah tangga.
Kalau begitu caranya, anak terpaksa dititipkan ke babysitter. Si anak jadi tidak terlalu mengenal orang tuanya. Akibatnya, ketika sudah beranjak remaja, si anak bisa menjadi seorang pembangkang. Ia akan bersikap masa bodo karena menurutnya sejak kecil tak pernah diasuh oleh kedua orang tuanya.
4. Cita-Cita
Guru saya pernah cerita, ia punya seorang cucu yang ketika ditanya cita-citanya, malah jawab “Pengen jadi tukang parkir. Soalnya megang uang banyak!”. Hahaha. Untung yang ditanya masih kecil, kalau sudah besar jawabannya masih seperti itu, baru deh gawat!
Waktu saya TK, setengah dari kelas saya bercita-cita ingin jadi dokter. Lalu saat saya kelas 1 SD, sebagian masih ingin jadi dokter, sebagian ingin jadi pilot, sebagian lagi ingin jadi guru. Kini, ketika saya sudah menginjak kelas 11 SMA, dalam satu kelas hanya 1-2 orang yang cita-citanya ingin jadi dokter.
Jadi dokter memang sangat mulia, membantu orang yang sakit, bahkan kadang tanpa pamrih. Untuk menjadi seorang dokter juga tidak mudah, terbilang sulit malah. Dalam satu angkatan, belum tentu ada 10 anak yang lolos untuk berkuliah di bidang kedokteran.
Menurut saya, tiap sekolah harus sering-sering membuka wawasan siswanya agar ketika akan memilih fakultas yang dituju, si anak tidak asal pilih. Tidak sedikit orang memilih suatu fakultas karena menurutnya “kalau kuliah disitu keren!”, “nggak penting fakultasnya, yang penting gue bisa kuliah di universitas itu.”, “apa aja deh yang penting kuliah, nggak nganggur.” , dan lain-lain.
Kalau seseorang menjalani kehidupan kuliahnya tidak sesuai yang ia harapkan, ujung-ujungnya malah akan jadi pengangguran. Bukan apa-apa, tapi nantinya ketika disuruh kerja, ia akan bilang nggak sreg. Atau kalaupun sudah kerja, nanti hasil kerjanya akan setengah-setengah. Yang ada gaji yang diterima juga setengah-setengah, kan?
Sebenarnya jadi apapun itu bagus, asal halal dan menguntungkan berbagai pihak. Jadi seorang montir? Bisa membantu orang yang mobilnya rusak. Jadi seorang suster? Bisa membantu dokter mengobati pasiennya. Jadi seorang penyanyi? Bisa menghibur orang lain.
Nah, kalau semua anak ingin jadi dokter, nanti yang jadi pasiennya siapa? Hahahaha.
5. Melek Politik
Nggak harus jauh-jauh, cukup di Indonesia dulu. Negara kita baru aja ngelaksanain Pilpres buat nentuin Presiden ke-7, dan pilpres kali ini sangat-amat kontroversial. Berhubung Capres dan Cawapres tahun ini nggak sreg di hati rakyat Indonesia.
Ada pepatah mengatakan, “Kalau kedua kandidatnya menurutmu tidak cukup baik untuk dipilih, setidaknya pilihlah yang paling sedikit kesalahannya.”
Mungkin karena pepatah ini juga, orang Indonesia jadi saling menjatuhkan Capres dan Cawapres lain. Bahkan, sampai ada yang menyumpah akan memotong lehernya jika Capres yang dipilihnya tidak menang. Kampanye disana-sini, suap disana-sini. Ujung-ujungnya, terjadi kecurangan saat quick count. Pokoknya tahun ini, bisa dikatakan pilpresnya benar-benar gagal.
Tapi tetap, kita sebagai orang Indonesia yang cerdas tidak boleh golput. Setidaknya jika anak-anak Indonesia (terutama remaja) tahun ini sudah diharuskan memilih, mereka sudah harus memiliki pilihan dan alasan yang tepat.
Nah, ini dia masalahnya. Sebagian dari mereka kini sudah bersikap acuh tak acuh, mengingat mereka belum memiliki kewajiban mencoblos. Mereka lebih memilih nonton sinetron ketimbang nonton debat capres yang membuat kampanye semakin ‘panas’.
Poin paling terakhir ini sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang dipegang oleh anak-anak remaja kini. Kalau sekarang saja mereka tidak peduli tentang orang yang akan memimpin bangsa ini, bagaimana nantinya mereka bisa memimpin?
Cukup 5 poin itu saja dulu yang harus dipegang anak-anak Indonesia, selebihnya mereka pasti bisa menentukan apa saja cara-cara menjadi pemimpin yang baik dan amanah bagi Indonesia. Mari kita dukung anak-anak Indonesia agar ke depannya menjadi berguna bagi negeri pertiwi ini, dan buat bibit-bibit selanjutnya menjadi saksi majunya negara Indonesia dimulai dari SEKARANG!
SELAMAT HARI ANAK NASIONAL, Semua!