Ih sumpah deh gue sebel banget sama Kakak X! Kita udah capek-capek bikin tugasnya, masih aja dimarah-marahin. Ya paling enggak hargain dikit kek usaha kita!
Percayalah, kita semua pernah berada di posisi ini. Posisi sebagai seorang junior yang merasa menjadi bahan “kesenangan” senior atau sekedar pelampiasan akan memori masa lalu. Kemungkinan besar kejadian semacam ini kerap dialami saat kita naik ke jenjang pendidikan yang baru dan lingkungan yang baru pula, seperti ketika masuk SMP, SMA, dan kuliah, yang dikenal dengan masa orientasi. Masa orientasi ini tentunya memiliki banyak tipe kemasan. Di tingkat SMP dan SMA ada yang menyebutnya sebagai MOS (Masa Orientasi Siswa), LK (Latihan Kepemimpinan), LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa), dan sebaginya. Sementara itu, di tingkat perguruan tinggi, kita sering mendengar istilah ospek (orientasi pengenalan kampus) sebagai istilah umum yang mengacu pada segala jenis “kemasan” masa orientasi mahasiswa.
Sesuai namanya, kegiatan orientasi atau pengenalan ini (di mana-mana) pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pengenalan kepada para peserta didik yang baru agar mengenal lingkungan belajarnya yang baru. Tentunya ini suatu kegiatan yang sangat penting, apalagi jika ditambah materi-materi bermanfaat lainnya, seperti kepemimpinan misalnya. Namun, bak makan tanpa garam dan bumbu, kegiatan semacam ini (rasa-rasanya) kurang sedap bila tidak dibumbui dengan drama senior-junior.
Kegiatan orientasi sekolah/kampus kerap menjadi salah satu event yang dinanti oleh para senior. Bahkan di tingkat kampus, adalah suatu hal yang lazim (dan wajib) bagi para mahasiswa untuk membuat kepanitiaan kegiatan orientasi. Kepanitiaan ini biasanya dibentuk sejak awal tahun. Mereka akan saling memutar otak untuk membuat konsep kegiatan orientasi bagi pada calon junior mereka yang akan hadir pada pertengahan tahun. Konsep kegiatan orientasi ini memang (pasti) memiliki materi “orientasi” itu sendiri, tapi sering kali tidak sebanding dengan porsi kegiatan lainnya yang sebenarnya kurang bermanfaat bagi pengembangan diri si junior.
Para senior kerap memanfaatkan momen-momen dalam kegiatan-kegiatan orientasi semacam ini untuk banyak hal. Mulai dari mereka yang memang punya niat luhur untuk membimbing adik-adiknya, ada yang mau tebar pesona (siapa tahu ada bisa digebet), ada yang mau pamer “kekuasaan” (jabatan), ada yang punya motif mencari kesenangan duniawi dengan marah-marah ke junior, ada yang mau “balas dendam” atas perlakuan seniornya dulu, ada juga yang cuma ikut-ikutan tanpa paham betul apa yang ia lakukan, dan banyak lainnya. Sayangnya, selama ini, sejak SMP hingga kuliah, para senior yang punya niat luhur untuk membimbing adik-adiknya ini sangat sedikit jumlahnya.
Saya sering bertanya kepada banyak orang, khususnya mereka yang (saya anggap) mengagungkan prinsip senioritas, mengenai alasan mereka menerapkan segala jenis kegiatan yang sering kali merendahkan si junior. Sebut saja seperti tugas mengenakan atribut-atribut aneh yang entah apa maksudnya. Sayangnya, hampir tidak ada satu alasan yang masuk akal bagi saya. Kalau dikatakan bahwa segala tugas-tugas senior itu untuk mengasah kreativitas, saya kira itu alasan yang konyol dan jelas tidak cerdas; sangat mengada-ada. Kalau dikatakan untuk menyatukan angkatan, saya kira para senior-senior ini sudah kehabisan akal untuk menyampaikan niat baiknya demi membantu adik-adik kelasnya bersatu, dan masih banyak alasan lainnya. Jadi, semua itu dilakukan (sebagian besar) atas dasar kepentingan (kesenangan) pribadi atau kelompok tertentu.
Semua ini membuat saya tidak pernah paham dengan jalan pikiran orang-orang yang menganggap bahwa junior harus menghormati seniornya. Saya kira ini suatu penyakit yang diidap hampir sebagian besar orang yang menganggap bahwa senioritas itu perlu. Pernahkan si senior ini bertanya pada dirinya sendiri, sudah pantaskah ia menjadi orang yang dihormati? Kita kerap menuntut rasa hormat dari orang lain, tapi sayangnya banyak yang tidak becermin apakah ia sudah pantas menjadi sosok yang dihormati. Perlu diingat bahwa kehormatan itu bukan sesuatu yang dicari. Orang-orang akan hormat dengan kita jika kita bisa menjadi sosok yang layak dihormati. Hanya karena seorang siswa/mahasiswa telah berada di jenjang yang lebih tinggi, tidak berarti dia lebih pintar daripada juniornya kan? Saya rasa suatu pemikiran yang sesat. Kita mungkin telah bersekolah lebih lama, tapi itu bukan berarti junior lebih bodoh (dan bisa dibodoh-bodohi).
Yang kini hampir selalu terjadi adalah kita semua berada dalam sebuah lingkaran setan (vicious cycle). Sebuah lingkaran yang tidak pernah putus karena semuanya ketika berada di posisi senior menganggap apa yang dilakukan adalah sebagai hal yang wajar. Mungkin ketika sebagai junior dulu, kita sering kali menggerutu atau bahkan mengutuk (oh ya, saya sering mengutuk senior saya dulu). Namun, ketika kita berada di posisi teratas, kita lupa akan segala kekesalan kita pada sistem yang diterapkan ke kita. Kita semua seakan mengiyakan, satu suara, setuju bahwa kegiatan orientasi dengan bumbu “gue senior, lo junior, note that” sebagai suatu hal yang diperlukan.
Para senior kerap berdalih bahwa para junior mereka perlu diberikan “pelajaran” agar lebih hormat dengan seniornya. Mereka setuju bahwa para junior harus “dididik” agar mereka tahu siapa yang junior dan siapa yang senior. Mereka sepakat bahwa para junior jangan banyak gaya, karena sebenarnya itu mengganggu zona nyaman (comfort zone) para senior. Jadi, sebenarnya, masalah ini semua ada di diri si senior, bukan di junior.
Saya setuju bahwa beberapa junior memang agak bikin senewen. Apa yang saya lakukan? Saya tidak perlu berhubungan dengan dia karena saya merasa tidak ada gunanya. Masalah selesai. Ya, sesederhana itu. Lain soal jika si junior ini (sialnya) masuk dalam kepanitiaan yang sedang saya urus. Apa yang saya lakukan? Berikan perhatian lebih, ajak ngobrol, coba membuka diri, introspeksi diri, jangan-jangan dia begitu karena dia enggak suka dengan cara kita memimpin, tapi dia enggak enak bilang secara langsung. Di sini, sebagai orang yang (harusnya) lebih dewasa, kita harus menyikapi sifat-sifat junior secara lebih bijaksana.
Saya selalu mengatakan bahwa saya adalah orang yang tidak percaya dengan senioritas. Saya menghormati mereka yang lebih senior, tapi tidak “mendewakan” mereka. Saya menghormati para junior saya, tapi tidak pernah menganggap mereka lebih bodoh dari saya. Faktanya, saya sering mendapat banyak pengalaman dan wawasan baru dari pada junior saya, sesuatu yang mungkin tidak saya dapat dari para senior saya dulu.
Kepercayaan saya ini memang kerap mengusik zona nyaman banyak orang. Banyak orang menganggap saya tidak paham akan esensi kegiatan orientasi dan segala macamnya. Padahal, saya juga bukan “anak baru kemarin” yang enggak pernah lihat kegiatan orientasi siswa. Justru saya telah mendapatkan begitu banyak manfaat dengan membina hubungan yang sangat baik dengan para senior dan junior saya. Saya tidak pernah membuat “tembok” dengan para junior saya. Saya tidak pernah meminta mereka menghormati atau bahkan mendengarkan saya. Jika mereka begitu, itu karena mereka mau begitu. Saya selalu membuka diri kepada para junior saya sehingga mereka bisa dengan leluasa curhat atau sekedar “mem-bully” saya untuk sekedar bercandaan (dan pastinya saya “bully” balik).
Bagaimana hubungan saya dengan senior? Harus saya akui bahwa hubungan saya dengan para senior banyak yang kurang baik karena saya tipikal “pemberontak” yang tidak mau “dibodoh-bodohi” senior demi memuaskan nafsu duniawinya sebagai senior. Namun, dengan senior-senior yang memang saya hormati karena diri mereka (who they are) dan apa yang mereka lakukan (what they do), mereka telah menjadi teman-teman terbaik yang pernah saya punya. Mereka juga menjadi kakak-kakak terbaik bagi saya yang memang tidak punya kakak kandung.
Teman-teman sekalian, khususnya adik-adik SMAN 81 Jakarta, ada kalanya kita harus meninggalkan berbagai macam tradisi “nenek moyang” yang tidak lagi tepat dilakukan. Ini bukan cuma sekedar “sekarang udah 2015″ atau “udah enggak zaman lagi deh senioritas”, tapi karena memang banyak hal dalam budaya senioritas kita yang tidak masuk akal. Gunakanlah akal sehat kalian dalam membimbing junior. Bagi para junior, tentunya juga harus paham situasi, harus pintar membawa dan menempatkan diri di lingkungan baru.
Budaya senioritas kita (di dunia pendidikan Indonesia) telah menjadi jamur yang pasti hidup di hampir setiap instansi. Kabar buruknya, semua orang (bahkan para guru/dosen/tenaga pengajar) tahu hal ini “hidup” di tengah-tengah kita, tapi telah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang lumrah. Namun, kabar baiknya, kamu bisa menjadi orang yang memutuskan lingkaran setan ini. Kamu bisa memulai sebuah tradisi baru yang lebih menonjolkan keharmonisan antarangkatan. Jika kamu tidak menyukai sesuatu, kamu tahu itu salah, jangan pernah diam. Teman saya pernah berkata:
Jika kita melihat sebuah kekeliruan, jangan diam. Ubahlah dengan tanganmu. Jika kita mendengar sebuah kekeliruan, jangan diam. Serukan dengan suaramu. Jika kita merasakan sebuah kekeliruan, jangan diam. Ingkarilah dengan hatimu.
Setiap orang dari kita adalah agen perubahan. Ubahlah apa yang kamu (dan hatimu) anggap tidak benar, atau tinggalkan. Ketika kamu tidak suka dengan sesuatu, kamu cuma punya dua pilihan. Ubah atau tinggalkan. Hanya karena kamu bisa mengubah hal itu, bukan berarti kamu pahlawan. Begitu juga jika kamu kamu memilih untuk meninggalkannya, bukan berarti kamu pengecut, setiap orang pasti punya alasan masing-masing. Namun, selama kamu bisa mengubah, setidaknya berusahalah untuk mengubahnya terlebih dulu. Kalau bukan dimulai dari kita, jangan pernah kita berharap orang lain akan lebih dulu berubah.
Pada akhirnya, jika opini saya ini salah, saya rasa—satu hal yang pasti—para senior tetap harus belajar untuk menyampaikan niat baiknya baik secara verbal maupun nonverbal dalam membimbing adik-adiknya dengan cara yang efektif agar kesan “gue senior, lo junior, note that” sedikit demi sedikit terkikis.
Baca juga: Senioritas? Perlu Gak Sih?
Ya senioritas memang kurang baik yah rasanya sudah tidak pantas lagi ada hal-hal semacam itu di masa sekarang.Apalagi kita sama-sama bernaung dalam satu sekolah. Harusnya bisa saling bekerjasama dalam membanggakan sekolah bukan malah membuat sekat-sekat pergaulan. Wacana pidas ini baik sekali yah semoga bisa mengeritik fenomena senioritas dan menjadi cermin bagi diri kita sendiri bahwa senioritas itu tidak positif untuk kita dan sekolah.