“Enak ya jadi si Git, ibunya baik, ngga kaya ibuku.” “Iya, aku tuh sebel deh kalau lagi Hari Ibu gini.”
Anak Lanang (2017) adalah film pendek yang disutradarai dan ditulis oleh Wahyu Agung Prasetyo dan diproduksi oleh Ravacana Films. Film ini mengisahkan perbincangan kehidupan sehari-hari keempat anak yang pulang sekolah menaiki becak. Jalan ceritanya terdengar sederhana, namun dibalik kesederhanaannya film ini menggunakan teknis pengambilan gambar yang ternilai kompleks, yakni teknik one-shot, apalagi dengan mempertimbangkan pemeran tokoh-tokoh utama yang masih sangat muda dan dialog tanpa henti selama 14 menit. Walaupun mengangkat cerita keseharian masyarakat dan sepenuhnya menggunakan Bahasa jawa, film ini menarik perhatian dari negara-negara lain di dunia; hal ini dibuktikan dengan “Outstanding Achievement” yang mereka peroleh di Indonesian Film Festival (IFF) Australia yang ke-14.
Hal yang menarik perhatian dari film ini tidak lain adalah kecakapan pemeran keempat anak dalam berdialog dan berakting di depan kamera. Dari Hari Ibu, penggunaan Instagram, sampai menyewa PS3; pembicaraan yang mereka lakukan di atas becak selama perjalanan pulang terdengar sangat natural dan humoris. Bahkan lelucon dan cara mengejek yang mereka gunakan sangatlah mencerminkan candaan sebagaimana digunakan anak-anak seumuran yang lainnya. Dengan membawakan karakter yang berbeda satu sama lain, perbincangan yang mereka lakukan menjadi sangat menarik karena dihiasi berbagai perspektif yang masing-masing tokoh ungkapkan.
Detail yang disuguhkan film ini terlihat dari ke-abstrakan sifat-sifat setiap tokoh yang pada awalnya memang membingungkan, namun seiring berjalannya film, kita dibuat semakin mengerti bahwa karakter setiap tokoh dipengaruhi oleh keadaan yang mereka alami di rumah. Ada Git -anak rajin dan berujar sopan-, yang ternyata kita ketahui memiliki Ibu yang sama baiknya. Dan ada juga Yudho serta satu anak yang tidak disebutkan namanya yang selalu bertengkar. Di akhir film kita mengetahui bahwa mereka berdua ternyata tinggal dalam satu rumah tetapi berbeda ibu.
Dengan membawakan keadaan-keadaan tersebut, film ini menyadarkan penontonnya akan pesan-pesan sosial seperti Hari Ibu, pemanfaatan media sosial, dampak perceraian orangtua, sampai poligami; suatu isu yang sampai sekarang masih secara signifikan terjadi di negara kita ini.
Donata S. Divisi News Cetak
10 Januari 2021