Akhir Penantian

Karya: Inong

 

“Tidak. Aku sedang tidak sibuk. “ Jawabku kepada lawan bicara di seberang sana.

Suara laki-laki yang selama ini dia rindukan untuk mengisi hari-hari sepinya. Dan kini, suara itu ada di telinganya, menyapa dirinya.

“Bisa kita ketemuan?” Kata laki-laki itu.

“Hmmmm, boleh. ..Jam berapa kakak akan jemput aku?” jawabku.

“sekitar jam 4. Kamu bisa?’

“Ya.. aku bisa.”

“Baiklah, jam 4 nanti aku akan menjemputmu.” Mengakhiri pembicaraan di telepon.

Berkecamuk perasaan di dadaku setelah kututup gagang telepon. Ada apa? Mengapa tiba-tiba dia meneleponku? Selama ini, jangankan bicara denganku. Berpapasan saja dia tak pernah menegur. Apakah dia telah tahu kalau aku, diam-diam, menyukainya. Aaah..entahlah. Lebih baik aku bersiap-siap untuk menyambutnya nanti.

Aku adalah gadis berusia 16 tahun. Namaku, Sarah. Teman-temanku biasa memanggilku Sarah. Tapi Maria dan teman-teman kelompokku memanggilku dengan panggilan Sare. Entah apa yang membuat mereka memanggilku dengan panggilan tersebut. Aku anak tunggal. Kata orang anak tunggal itu kuper, introvert, endesway endesway yang menurutku, terserahlaah. Aku bersekolah di sebuah SMA favorit di kotaku. Menurutku, otakku biasa-biasa saja tapi alhamdulilah aku dapat bersekolah di sekolah ini yang hampir semua siswanya pandai dan pintar. Sejak masuk sekolah ini, aku memutuskan untuk berhijab. Bukan sekadar gaya-gayaan tetapi memang sudah niatku jika aku diterima di sekolah ini maka aku akan menutup auratku. Postur tubuhku kecil bahkan teman-temanku mengatakan aku kurus. Tidak sedikit dari mereka malah ingin berperawakan seperti aku. Aku tak tahu. Apakah itu keinginan tulus mereka atau hanya sekadar menghibur aku yang selalu tidak puas dengan posturku. Kulitku putih. Mungkin keturunan dari ibuku yang berkulit putih bersih seperti mutiara. Dan menurut teman-temanku, aku orang yang tertutup. Tapi aku tidak merasa seperti itu. Mungkin mereka menganggapku demikian karena aku tidak pernah banyak terlibat bergaul dengan mereka atau sekadar mengobrol hal-hal yang menurutku tak perlu diobrolkan karena hanya membuang waktu saja . Aku hanya lebih senang sendiri karena aku bisa lebih menikmati hidupku dan yang lebih penting aku gak ingin mencampuri hidup seseorang atau orang mencampuri hidupku. Aku memilih untuk duduk di pojok kelas, membaca buku atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Hitung-hitung mencicilnya karena di sekolah ini hampir semua guru senang memberikan tugas. Seakan-akan tidak rela jika waktu muridnya terbuang.

Seperti layaknya seorang gadis abg. Aku juga mulai tertarik dengan lawan jenisku. Jangan kalian berpikir karena aku berhijab dan introvert, aku tidak tertarik dengan yang namanya laki-laki. Aku juga manusia biasa yang dibekali tuhanku dengan perasaan. Namanya Fauzan Fachri, satu tingkat lebih tinggi dari aku. Bukan tipe kebanyakan laki-laki yang disukai perempuan abg seperti aku. Biasanya, teman-temanku akan tertarik dengan laki-laki yang berperawakan tinggi tegap, anggota ekskul basket atau futsal. Syukur-syukur kalau cowok itu juga tajir. Lumayan, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Tidak…aku bukan tipe perempuan seperti itu. Ozan, begitu semua orang memanggilnya, adalah tipe cowok tidak banyak omong. Anggota ekskul Japan Club. Kegemarannya kepada desain grafis membuat dia selalu menjuarai lomba-lomba yang berhubungan dengan desain. Desainnya sudah banyak menghiasi website youtube dan dilihat lebih dari ratusan ribu orang, Dan karena itulah dia sudah direkrut oleh sebuah perusahaan desain menjadi pegawai lepas di perusahaan itu. Kreatif, cerdas, dan cenderung pendiam. Untuk yang baru mengenalnya mungkin mengatakan dirinya sombong. Tapi tidak untuk yang sudah mengenalnya. Dia akan cerewet membahas topik apa saja. Apalagi jika topiknya tentang desain. Tidak cukup waktu untuk membahas masalah itu dengannya. Dan aku mengenal ozan ketika ekskulku meminta bantuannya untuk mendesain poster kegiatan yang akan kami adakan. Watu itu aku kelas 10 dan Fauzan kelas 11. Fella..ya Fella yang mengenalkan aku dengannya. Kebetulan rumah Fella dengan Ozan tidak jauh. Bahkan mereka pernah satu SD.

“Sar…ini kak Ozan.” Kata Fella ketika dia mengenalkan Fauzan kepadaku.

Aku mengulurkan tanganku menyambut tangannya yang lebih dulu diulurkan.

“Sarah…” ujarku.

“Fauzan..” jawabnya.

“Sar…kak Ozan akan bantuin kita bikin poster, spanduk dan lain-lainnya.” Ujar Fella dengan mata penuh karena kegirangan. Ya, saat itu kami kesulitan membuat media promosi untuk kegiatan kami. Dan dia berhasil menemukan solusinya.

Sejak saat itulah kami bertiga akrab. Bahkan hingga kegiatan itu selesai kami masih bersama. Seperti penjelasanku tadi. Fauzan buat yang belum mengenalnya akan dianggap sombong. Tapi tidak dengan aku dan Fella. Kami jadi sering belajar bersama. Dan karena dia adalah kakak kelas maka kami sangat terbantu jika belajar bersamanya. Cerita-cerita humornya kadang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Atau solusi darinya ketika kami tanpa sengaja menceritakan masalah kami kepadanya sangat jitu dan mujarab. Pendek kata, kami sangat akrab. Dan tanpa sadar, aku mulai meyukainya.

“Rumah kamu jauh, Sar….biar aku antar” kata Fauzan ketika kami baru saja belajar bersama di rumah Fella.

“Enggak usah kak, aku biasa naik angkot..” ujarku.

“Jangan, langit sudh mendung mungkin sebentar lagi hujan turun.” Jawab Fauzan.
Memang saat itu langit terlihat mendung dan desiran angin terasa dingin menyentuh kulit.

“Sebentar, aku ambil motor dulu di rumah. Kamu di sini dulu yaa…” tukasnya sambil berlari menuju rumahnya.
Tak lama Fauzan datang dengan motornya.

“ Fel..aku antar Sarah dulu yaa..” pamitnya kepada Fella yang menemaniku di teras.

“Iya kak, hati-hati..”jawab Fella.

Aku langsung naik ke boncengan motor seraya pamit kepada Fella.

Sore itu, entah mengapa aku merasa senang. Di tengah perjalanan, tak berapa jauh dari rumah Fella, hujan turun dengan deras. Kami berteduh di teras sebuah toko swalayan karena Fauzan tidak membawa mantel. Saat itulah aku melihat sosok yang bertanggung jawab dan melindungi. Dia melepaskan jaketnya dan melingkarkannya ke bahuku karena melihat aku menggigil kedinginan.

“Kamu pakai ini ya…”katanya

“Nanti kakak pakai apa..? tanyaku.

“Gampang…nanti aku pikirkan sambil menunggu hujan ini reda.” Jawabnya.

Aku merasa menjadi seorang putri yang diselamatkan oleh pangeran dari ancaman-ancaman yang membahayakan. Hatiku terasa campur aduk dan aku tidak ingin hujan reda. Aku ingin terbang ke langit dan memintanya untuk tidak terburu-buru menghentikan hujan.

Sejak saat itu, kami semakin akrab. Tapi tak pernah ada kata dari Fauzan yang aku tunggu-tunggu. Tak perlu berlagak bodoh kalian, setiap cewek pasti ingin ditembak oleh laki-laki yang disukainya. Dan hal itu tak pernah terjadi kepadaku.

Tidak terasa penghujung tahun ajaran berakhir. Kami berhasil naik kelas. Tapi kami tidak besama lagi. Entah hal apa yang membuat kami menjadi jarang bersama lagi. Fella pun memilih keluar dari ekskul yang sama dengan aku. Dan Fauzan menjauh. Aku merasakannya. Aku merasakan Fauzan menjaga jarak kepadaku. Di saat aku mulai akrab dengan sapaan-sapaannya,

“Pagi Saaraah…..apa kabar?”

Begitu setiap kami bertemu atau berpapasan. Dan sambil ku lempar senyum terindahku kepadanya aku menjawab…

“Pagi kakak…alhamdulillah baik.”

Kalau aku runut ke belakang tidak ada masalah besar yang akhirnya membuat kami tidak bersama lagi. Atau aku terlalu bodoh tidak menyadari telah membuat kesalahan. Tidak, aku tidak pernah merasa melakukan kesalahan apapun. Hanya tiba-tiba kami menjadi jauh…ya…jauh. Dan aku rindu , rindu kamu Fauzan. Menunggumu hanya akan membuat rindu ini semakin menggunung, mengapa tak kau renggut mentari dan bulan lalu kau lemparkan kepada bintang agar rinduku genap, genap dengan kepedihan.

7 bulan dari kami menjauh. Sore ini Fauzan meneleponku dan mengajak bertemu. Mestinya aku senang, bukankah ini yang aku tunggu? Aku akan bersamanya lagi, mengobrol lagi, bercanda lagi atau apa saja yang biasa kami lakukan dulu bisa kami lakukan kembali. Tapi perasaanku tidak mengatakan seperti itu. Aku malah merasa aneh. Ada apa? Mengapa tiba-tiba, setelah sekian lama, Fauzan menelepon aku dan mengajak bertemu.

“Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu, Sar…”

Kata Fauzan di sebuah restoran cepat saji ketika kami bertemu sore itu.
Aku masih belum bisa menata degup gugup jantungku sejak Fauzan menjemputku di rumah sampai ke tempat ini. Bahkan selama perjalanan aku hanya bisa diam di atas boncengan motornya. Aku hanya pasrah. Tak tahu apa yang akan terjadi.

“ Iya kak…ngomong aja.” Kataku sambil berusaha menenangkan diri dan menunduk.

“Kamu tahu mengapa aku, kamu, dan Fella menjadi jauh?” tanyanya.

Ku tatap matanya selintas. Dan aku kembali tertunduk sambil mengaduk-aduk minumanku.

“Enggak, kak….” sambil kugelengkan kepalaku dengan pelan.

“ Kamu tahu, aku rindu suasana seperti dulu?” tanyanya lagi.

Apa?? Apakah kakak tahu, aku juga rindu. Aku rindu kita mengobrol, bercanda, curhat-curhatan. Berboncengan dengan kamu. Menatap mata kamu. Melihat senyum kamu. Mendengar sapaanmu setiap pagi. Apakah kakak tahu? Jeritku dalam hati.

Tapi aku memilih menggelengkan kepalaku sebagai jawaban pertanyaannya dan semakin ku tundukkan wajahku untuk menghindar dari tatapan matanya yang aku suka.

“Aku rindu kamu, Sar”

“Tapi aku ga bisa berbuat apa-apa. Aku tidak ingin diantara kita ada yang tersakiti.” Ujarnya.

Tersakiti?

Siapa?

Fauzan bicara apa?

Aku tengadahkan kepalaku seraya menatapnya.

“Maksud kakak apa?”

“Siapa yang tersakiti?” tanyaku.

“Aku suka kamu, Sar. Sejak kita berkenalan aku sudah suka kamu. Tapi aku tidak berani mengatakannya kepadamu karena……karena…..”

Aku berusaha memanjangkan leherku untuk mendengar kelanjutan kalimat yang menggantung yang diucapkan Fauzan…..

“Karena apa, kak…?” tanyaku tak sabar karena dia tidak menyelesaikan kalimatnya.

“Fella…” jawabnya pelan.

“Mengapa dengan Fella..?” tanyaku

Fauzan masih diam dan sekarang malah dia yang menundukkan kepalanya. Sementara aku menegakkan leherku penasaran menunggu jawabannya.

“Dari kecil kami sudah dijodohkan. Terdengar seperti zaman dulu yaa….tapi itulah kenyataannya. Tadinya kami menganggap itu cuma gurauan orang tua kami. Lama kelamaan kami tahu mereka serius. Dan aku gak tahu kapan mulainya, aku merasakan Fella mulai menyukaiku. Sikap dan perilakunya menunjukkan itu. Aku tahu sebenanya dia cemburu melihat kedekatan kita dulu. Tapi, dia tidak tunjukkan karena dia menghormatimu. Dia pun tahu kalau aku menyukaimu bukan menyukainya. Tapi dia meyakinkan dirinya bahwa aku adalah jodohnya. Karena kami sudah dijodohkan…” ujar Fauzan masih dengan kepalanya yang tertunduk.

Bagai suara halilintar memekakkan telingaku. Aku hanya bisa diam tak tahu apa yang harus aku lakukan. Jadi, Fella keluar ekskul adalah caranya menjauh dari aku. Untuk menghindar dariku. Aku adalah rivalnya!

“Sar….aku tidak pernah mencintai Fella. Aku selalu menganggapnya adik kecilku. Tapi…..aku tidak bisa menolak perjodohan ini karena Fella sakit. Aku gak mau dia sakit karena aku. Aku tahu jika aku bersama kamu, aku akan membuat sakitnya kambuh dan aku gak mau melihat itu….Sar, maafkan aku…maafkan aku.”

Hatiku hening. Suasana hening. Fauzan terdiam setelah menyelesaikan kalimatnya. Dan aku….aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan atau aku katakan…yang terasa adalah…..tiba-tiba ada rasa nyeri di dada. Akhirnya, kuberanikan diri untuk menjawab.

“Gak ada yang harus dimaafkan, kak..” jawabku menahan perasaan.

“Tapi aku tahu, aku tahu kamu meyukai aku juga…” Betulkan, Sar..?” tanyanya.
Aku terdiam. Melempar pandangan ke luar restoran. Menyembunyikan buliran air mata yang tanpa aku sadari akan menetes. Aku tidak ingin Fauzan melihatnya.

“Baiklah jika kamu tidak mau menjawabnya…”tiba-tiba Fauzan memecahkan keheningan.

“Aku sudah sampaikan apa yang ingin aku sampaikan. Setidaknya, perasaan bersalahku sekaligus cintaku kepadamu. Maafkan aku.” Ujar Fauzan

“Mari aku antar kamu pulang…” ajak Fauzan.

“Aku masih ingin disini, kak… “ ujarku

“Tapiiiii,,,” tanya Fauzan

“Aku masih ingin disini. Biar nanti aku pulang dengan angkot..” potongku.

“Baiklah, Sar. Sekali lagi maafkan aku Sar…terima kasih sudah meluangkan waktumu. Dan terima kasih pernah hadir di hatiku.” Jawab Fauzan dengan pelan.

“ini untuk kamu…” Fauzan memberikan secarik kertas yang diselipkan di tanganku sebelum dia beranjak keluar dari restoran. Aku menerimanya tapi tak segera kubuka. Aku masih sibuk menata hatiku, menata perasaanku. Dan menahan airmata yang mulai mengalir.

Setelah aku selesai dengan perasaanku. Aku beranikan diri untuk membuka kertas tersebut yang ternyata sepenggal puisi

 

Jika satu hari nanti ku cari hadirmu dalam serpihan malamku
dan kau bersembunyi,
aku paham,
karena yang terberat bukanlah saat kita memilih
tetapi saat kita bertahan pada pilihan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *