January 30th – February 1st, 2015
Nama Ibu angkat Host Family saya adalah Suzuki. Suzuki Tamiko-san.
Tidak seperti seorang wanita berusia 55 tahun pada umumnya, Suzuki-san adalah seseorang yang penuh semangat, independen, dan—sepertinya—tidak pernah lelah. Masih saya ingat jelas bagaimana jengkelnya kami bertiga—Aku, Sasa dan Cia—ketika coordinator kami memanggil-manggil nama Suzuki-san di ruang pertemuan peserta dan host family malam itu. Di malam yang dingin di kota Sapporo, host family kami bertiga terlambat datang. Stuck in the traffic, katanya. Kami pun hanya bisa gigit jari melihat teman-teman yang lain sudah bercengkrama dengan hangat bersama host family masing-masing. Setengah jam kemudian, saat ruangan sudah mulai sepi, tiba-tiba datanglah seorang wanita paruh baya, berjalan masuk dengan tergopoh-gopoh. Saat coordinator kami tersenyum, saat itulah aku tahu, bahwa ini dia ibu angkat kami.
Dalam bahasa inggris yang cukup fasih, Suzuki-san bertanya apakah kami ingin naik subway atau kereta untuk sampai ke rumahnya. Ia berkata rumahnya agak jauh dari sini, di Ainosato.
Ainosato ternyata adalah nama sebuah stasiun kecil di sebuah kavling perumahan. 20 menit naik kereta, kami keluar dari stasiun dengan segala barang bawaan kami ketika malam sudah larut. Salju masih juga turun, dan uap-uap putih keluar setiap kali kami berbicara. We’re currently standing in front of a random station, with our luggage shined by the moonlight. Yang jelas, salju di Ainosato lebih tebal—jauh lebih tebal dan lebih bersih dari salju di pusat kota Sapporo. Aku bahkan masih bisa merasakan dinginnya, laparnya. Suzuki-san, seperti yang sudah saya bilang, tidak terlihat lelah sama sekali. Ia dengan cekatan menekan tombol pemanggil bus yang menempel di halte.
Perjalanan kami untuk sampai ke rumah mungil berdinding merah ini memang tidak mudah. Setelah turun dari bus, kami masih harus berjalan lagi membelah salju sejauh ±300 meter. Namun, ketika kami sudah melangkah masuk ke dalam rumah, seluruh perasaan lelah dan lapar hilang seketika. Rumah Suzuki-san persis seperti rumah-rumah Jepang yang selama ini saya bayangkan, dengan lantai kayu, ruang ala Jepang beralaskan tatami atau tikar, pemanas ruangan, ofuro (bak mandi) yang penuh dengan air hangat, dan matras-matras dengan selimut tebal seperti di kamar doraemon.
Tepat di depan pintu masuk, terpajang sebuah lukisan berukuran besar, seorang laki-laki berwajah tampan. Lelaki itu anak Suzuki-san yang kedua—Akinori. Usianya 28 tahun, seorang Professional Dancer. Belum hilang kekagumanku pada Aki, tiba-tiba Suzuki-san muncul dari dapur dengan seorang anak perempuan kecil mengekor di belakangnya.
Oh, ternyata bukan anak perempuan…
Dia Tomoe, atau yang biasa kupanggil Tomo-chan, anak Suzuki-san yang terakhir. Usianya 26 tahun, dan Ia pengidap Down Syndrome. Tomo-chan sangat senang melihat kami bertiga, dan Ia dengan riang segera mengajak kami makan malam. Ia menarik-narik tanganku ke meja makan, tingkah lakunya persis adik kecilku yang masih berusia 5 tahun. Kami bertiga bertatap-tatapan, dan kemudian tertawa mengiyakan.
Setelahnya barulah aku tahu struktur keluarga Suzuki-san secara jelas. Anaknya yang pertama, laki-laki, sudah menikah dan punya anak. Ia tinggal jauh di Tokyo, bersama istri dan anaknya. Anaknya yang kedua, Aki, jarang pulang ke rumah dikarenakan tuntutan profesi.
Suzuki-san bercerita bahwa Aki sudah menari sejak usia 10 tahun, dan bahkan sudah punya dance studio sendiri. Ia juga sudah menjuarai banyak ajang-ajang menari, dan tidak jarang dibayar untuk tampil di luar negeri, seperti di Korea. Dengan spesialisasinya Contemporary Dance, He’s a professional dancer indeed. Anak yang ketiga, Tomo-chan, berusia 26 tahun, dan sekarang sudah bekerja di sebuah Bank. Tomo-chan lah yang selalu menempel dengan Suzuki-san, layaknya anak kucing dan induknya.
Saat di ruang pertemuan tadi dibagikan kertas identitas Host Family masing-masing, aku sudah menduga bahwa tidak ada figur ayah di keluarga Suzuki. Kata ‘Representative’ yang ada di kotak tabel ‘Relationship’ Suzuki-san dan anak-anaknya, bukannya kata ‘Mother’ atau ‘Mom’, jelas membuatku menyimpulkan banyak hal.
Suzuki-san membesarkan anak-anaknya sendiri. Dari foto-foto yang terpajang di ruang tamu pun, aku tidak menemukan sesosok laki-laki lain selain Aki dan kakaknya.
Di luar, salju masih turun dengan derasnya, salju Ainosato. Namun, di dalam rumah, aroma masakan yang harum tercium ke seluruh sudut ruangan, dengan Tomo-chan yang sedang asik bercengkrama dengan Sasa, dan Cia yang dengan tidak sabar mengintip ke dalam dapur Suzuki-san. Saat makan malam, tidak disangka-sangka Aki pulang ke rumah, mengejutkan seluruh isi rumah termasuk Suzuki-san. Ia bahkan tampak lebih tampan dilihat secara langsung. Dengan senyuman, Ia menyambut kami bertiga di rumahnya, dan ketika kami menunjukkan antusiasme terhadap tariannya, tanpa disangka-sangka Ia mempersilahkan kami untuk datang ke mini showcase di Dance Studionya esok malam. Performance kecil-kecilan, katanya. “It’s not that great, but It’ll be good if you come.”
Esok hari terdengar menjanjikan. Aku tidak sabar akan esok hari di Ainosato.