Begitulah bunyi quote dari seorang aktor Irlandia bernama Cyril Cusack. Gue memang nggak pernah mendengar namanya, tapi quote-nya yang satu itu entah kenapa sangat ‘gue banget’.
Kalau ditanya tentang resolusi tahun baru, mungkin sebagian besar orang ingin keberhasilan dalam segala hal, baik itu karier, hasil belajar, perintisan bisnis, dan, ehm, pencarian jodoh?
Udah jujur aja. “Jodoh di tangan Tuhan” memang benar adanya, tapi “Kita harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu” juga benar kan?
Anyway, ada satu hal yang mungkin luput dari daftar resolusi kebanyakan orang. Tapi, berkat “meditasi” selama berminggu-minggu liburan, gue menemukan satu resolusi yang tepat untuk tahun baru nanti.
Pencarian jati diri. To find out who I am.
- Kilas Balik 2014
Setiap tahun selalu meninggalkan kesan. Begitu juga dengan tahun 2014 ini. Gue mungkin nggak bisa menceritakan satu persatu pengalaman gue selama satu tahun. Bisa jadi satu buku sendiri. Jadi, gue di sini hanya menceritakan salah satu momen paling berkesan. My best moment of the year.
And I’d like to call it ‘The Untold Story of Goes To Campus”.
Nama aslinya sih “Centurion Goes to Scientific Research”. Tapi entah kenapa yang ada di mindset gue tetep aja “Goes to Campus”, mau sepanjang apapun namanya. Karena yang jadi target utama gue memang kunjungan kampus, disamping jalan-jalan untuk melepas penat, dan melakukan penelitian kecil-kecilan.
Setelah berbulan-bulan menunggu, gue dan teman-teman akhirnya berhasil menginjakkan kaki di 4 PTN yang selama ini dielu-elukan semua orang, yaitu UI, UGM, ITB, dan Unpad. Jiwa-jiwa ngambis semua orang seketika bangkit layaknya mumi, setelah melihat kampus idaman mereka. Tiada hari tanpa foto di kampus. Tiada hari tanpa check in di Path. Tiada hari tanpa semangat untuk meraih cita-cita masuk ke fakultas impian.
Sementara gue cuma bisa mendengar pertanyaan yang selalu berkumandang merdu di telinga,
“Udah nentuin mau jurusan apa, Cha?”
Boom! Pertanyaan itu persis bumerang yang selalu berhasil bikin gue memukul diri sendiri. Memukul diri gue yang terlalu takut untuk bermimpi. Memukul diri gue yang cuma bisa tersenyum melihat teman-teman gue berjuang, sementara gue sendiri nggak tahu apa yang harus gue perjuangkan. Gue merasa bodoh karena nggak bisa memahami diri sendiri. Bahkan untuk nentuin arah masa depan aja gue kelimpungan.
Hingga saat gue merasakan atmosfir keempat kampus itu, gue masih belum bisa nentuin mau masuk jurusan apa, mau kuliah di mana, dan mau jadi apa. Mungkin orang-orang di sekeliling gue juga udah gemes sendiri ngeliat anak nggak jelas ini.
Tapi di sisi lain, gue sangat beruntung mempunyai sahabat-sahabat yang suportif. Yang selalu pengen sukses bareng-bareng. Yang dengan senang hati mengoreksi dan memotivasi satu sama lain. Yang nggak selalu bareng setiap waktu, tapi tetep bisa menyatu. Ada di dekat mereka membuat gue merasa lebih baik, bahkan orang tua gue pun tahu itu.
Ngomong-ngomong soal sahabat, ada satu kejadian, masih ketika “Goes to Campus”, yang membuat gue makin ngerasa beruntung punya sahabat-sahabat seperti mereka. Jadi ceritanya, kita lagi mampir ke Dago untuk beli oleh-oleh. Pas turun dari bis, tiba-tiba ada beberapa anak kecil yang menawarkan tisu dagangannya. Awalnya gue nggak berniat beli, karena jujur, saat itu gue nggak ada niat untuk beramal. Tapi nggak lama kemudian, gue ngeliat salah satu sahabat gue menghampiri anak-anak itu dan ngajak mereka makan. Gue bersama tujuh orang lainnya pun mengekor. Dan kita sepakat untuk menghabiskan satu jam ke depan untuk menemani anak-anak itu.
Setelah makan, kita berdelapan mendengar cerita mereka. Anak-anak itu bilang bahwa mereka berjualan untuk membantu orang tua dan membiayai sekolah. Mereka juga bercerita bahwa seringkali diejek oleh teman-teman karena keadaan mereka yang kurang mampu.
Gue bukan seseorang dengan jiwa sosial yang tinggi, tapi entah kenapa, air mata gue langsung tumpah begitu mendengar cerita mereka. Jiwa melankolis gue meluap seketika. Gue bener -bener terharu melihat anak-anak ini, yang cinta keluarga, yang tetap belajar di tengah keterbatasan, yang berani bermimpi.
Mungkin gue nggak akan mendapatkan pelajaran berharga dari anak-anak ini, kalau seandainya gue memilih untuk jalan-jalan atau beli oleh-oleh. Awalnya gue memang sedikit kecewa karena harus menghabiskan waktu untuk hal yang nggak gue inginkan. Awalnya gue juga sedikit nggak rela menyisihkan uang untuk anak-anak itu.
Tapi sahabat-sahabat gue berhasil bikin gue memutar haluan, untuk melakukan sesuatu yang jauh lebih bermanfaat. Gue jadi nggak nyesel gagal beli oleh-oleh. Buat gue, semua pengalaman hari itu adalah oleh-oleh terindah yang nggak akan pernah gue lupakan.
Sahabat yang baik adalah mereka yang membawa kita pada kebaikan. Sepuluh kata itu bukan sekedar omong kosong. Karena sejak November 2014, gue benar-benar mempercayainya.
- Dari Kuda Menuju Kambing
Hanya tinggal menghitung hari, tahun kuda akan berganti menjadi tahun kambing. Dan seperti yang gue sebutkan di atas, resolusi tahun baru gue adalah menemukan the real me. Selama ini, gue selalu bingung setiap ditanya apa cita-cita gue, apa yang mau gue lakukan di masa depan, dan apa yang benar-benar jadi passion gue. Nggak mau terus-terusan buta, gue pengen menjadi diri gue yang sebenarnya di tahun baru nanti.
Lebih tepatnya, diri gue yang baru. Yang bermanfaat buat semua orang.
Have a marvelous new year, everyone!
Regards,