A Little Something for Eyang

Seiring dengan seru-seruan nama Allah, air mata yang mengalir, ayat demi ayat surat Yaa-sin yang mengalun, dan ratapan duka dari setiap orang yang hadir, saya tahu bawa saya telah kehilangan salah satu teman, pendukung, guru, dan nenek terbaik yang pernah saya miliki di dunia.

Mengidap penyakit Hepatitis C selama hampir 30 tahun lamanya dan baru terdeteksi sekitar 3 tahun lalu menjadi penyebab perpisahan saya dengan Eyang—sebutan untuk nenek di keluarga kami. Virus Hepatitis C sendiri sangat licik, masuk melalui jarum suntik yang tidak steril, diam di tubuh selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan efek apapun, dan kemudian ketika memeriksakan diri ke dokter… bam! Positif terinfeksi virus Hepatitis C.

Kalau kamu sedang iseng-iseng periksa diri ke dokter dan tanpa tahu menahu divonis penyakit kronis macam Hepatitis C, apa yang akan kau lakukan? Menangis seharian di tempat tidur?

Eyang saya, Esih Natasuminta Anwar, adalah perempuan paling tangguh dan inspiratif yang saya tahu. She stood up for what she believes and nothing can stop her from pursuing her dream.

Masih kental di ingatan saya bagaimana beliau seringkali sambil berbaring di tempat tidur dan mengenakan daster khas nya berbagi cerita masa mudanya dengan saya dan kakak saya. Cerita yang tak ada habis-habisnya mengalir dari mulut beliau tentang perjuangannya mewujudkan mimpi.

Salah satu mimpi beliau yang masih sangat saya ingat—Ingin duduk sambil membaca Al-Qur’an di Masjidil Haram, dengan pemandangan Ka’bah di depan mata. Mimpi ini sudah dimiliki beliau sejak remaja, beliau mengatakan ingin sekali membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan Ka’bah itu sendiri di  depan mata. Tuhan Maha Besar, mimpi Eyang yang mulia ini akhirnya dapat terwujud saat sekeluarga besar kami (minus para keponakan) pergi Umroh ke Mekkah. Memang semua hal bisa terjadi di Mekkah, begitu pula dengan mimpi Eyang saya. Sehabis shalat Isya, saat sudah memasuki jam malam, Eyang dan rombongan sudah kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk beristirahat malam. Beberapa jam kemudian, saat waktu sudah mendekati tengah malam, Eyang terbangun dari tidur dan memutuskan bahwa sekarang waktu yang tepat untuk beliau mewujudkan mimpinya. Allah sudah membangunkannya tengah malam seperti ini, maka sekarang juga Ia harus mewujudkan mimpi yang selama ini sudah bertengger di benaknya for God knows how long.

Maka, tanpa pikir panjang dan tanpa ditemani siapapun kecuali jiwa raga sendiri, Eyang nekad pergi dari hotel ke Masjidil Haram, naik ke lantai atas, dan segera mengambil tempat paling strategis yang membuat pandangan terarah langsung ke Ka’bah suci. Disitulah beliau memuaskan hasrat rohaninya akan kebesaran Tuhan yang selama ini Ia dambakan.

Saya agak lupa kronologis ceritanya, tapi yang masih saya ingat adalah reaksi Kakek saya saat mengetahui tindakan nekad Eyang tersebut. Kakek saya marah besar. Sudah ketentuannya bahwa wanita harus didampingi Muhrimnya selama masih menginjak kota suci Mekkah. Pagi, siang, sore, apalagi malam hari! Katanya, Kakek saya terus marah meledak-ledak, bahkan ketika rombongan sudah berada di pesawat yang hendak pulang ke Indonesia, Kakek masih sibuk memarahi Eyang. Eyang bahkan sampai menitikkan air mata mendengar omelan Kakek. Tapi, kalau saya bertanya pada Eyang saya apa Ia menyesali perilaku nekad nya malam itu, jawabannya tegas dengan senyuman : “Yang penting mimpi Eyang terwujud.”

Bukan hanya itu cerita tentang perjuangan beliau. Beliau juga sering mewanti-wanti saya untuk masuk ke jurusan yang benar-benar saya senangi di kuliah. Karena, katanya, kalau masuk suatu jurusan hanya karena gengsi atau karena mayoritas, bukan keinginan sendiri, pasti seumur hidup kita akan merasa terpaksa mengerjakan yang sudah menjadi kewajiban kita. Eyang berkata demikian juga bukannya tanpa bukti : Beliau sangat menyesal karena telah salah memilih jurusan saat kuliah dulu, bahkan beliau pernah melepaskan kesempatan berharga satu-satunya untuk mendalami bidang yang disenangi hanya karena suatu hal sepele.

Begitu berartinya mimpi dan harapan di hidup Eyang. Beliau lah yang mengajarkan pada saya apa itu arti hidup yang sebenarnya. Karena, mau setuju atau tidak, Hidup tanpa ambisi itu membosankan. Hidup tanpa hasrat untuk mencapai sesuatu itu bukan hidup namanya. Beliau pula lah yang mengajarkan saya pada satu pepatah yang sampai saat ini masih saya anut : “Shoot for the moon, because if you fall, you’ll still landed on the stars.”

Ketika divonis mengidap penyakit Hepatitis C dengan kondisi liver yang semakin parah, apakah Eyang saya menerima keadaan begitu saja?

Eyang selalu sibuk bolak-balik ke rumah sakit di Jatinegara, Puri Indah, atau bahkan Surabaya untuk mencari pengobatan. Berbagai macam terapi dijalankannya dan berbagai jenis obat, dari yang bentuk padat sampai cair, dari yang berkisar puluhan ribu sampai juta dilahapnya. Semua itu diterimanya dengan 1 keinginan : Beliau ingin sembuh, beliau masih ingin melihat anaknya yang paling muda (a.k.a tante saya) menikah…

Namun nasib berkata lain. Pada tanggal 16 Februari 2014 lalu, pada pukul 16.06, dengan dikelilingin keluarga besar, Eyang saya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan kami semua disini dengan tenang.

Dengan diturunkannya jenazah Eyang yang sekarang sudah berbalut kain kafan ke dalam liang kubur, berakhirlah segala perjuangan Eyang akan mimpi-mimpinya. Berakhirlah segala perjuangan Eyang melawan penyakitnya, perjuangan miliknya sendiri hanya agar dapat sembuh dan berkumpul lagi bersama keluarga.

Maka, jika ditanya siapakah orang yang paling menginspirasi saya? Jawabannya simple : Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Eyang saya sendiri.

Selamat Jalan Eyang, Semoga kau menemukan mimpi-mimpi baru yang mulia diatas sana. 🙂

 

Allya Mahira (nametag)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *