Pada tahun 2017 sebanyak 101 daerah di Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Kepala daerah untuk memilih nahkoda baru dalam menjalankan bahtera pemerintahan di daerah masing-masing. Di antara 101 daerah yang akan tampil di Pilkada 2017,ibu kota Republik Indonesia yaitu Jakarta tak ketinggalan dalam meramaikan semarak demokratis di daerah khusunya daerah Provinsi. Walaupun digelar pada 2017, suasana persaingan para calon pemimpin di Jakarta sudah mulai mucul ke ranah publik. Mulai dari individu-individu yang sudah berkoar-berkoar tentang program serta janji-janji yang akan mereka penuhi jika mereka terpilih,Individu yang baru terdengar suaranya mengkritik pemerintah daerah ketika di akhir, serta Individu yang mulai mencoba menarik simpatisan. Semuanya menjadi lebih intens tampil dilayar televisi terlebih di televise yang secara terang-terangan memiliki partai “idola” serta memiliki partai politik yang selalu menjadi bahan omongan para narasumber untuk digerus sisi negatifnya. Hal ini juga yang bisa membuat masyarakat dapat berbeda cara pandang tentang kinerja calon Kepala daerah. Diantara sekian banyak perbedaan cara pandang yang mungkin terjadi isu SARA tetap menjadii potensi yang dapat memecah belah persatuan.
So, apa itu SARA?? SARA menurut http://rudybyo.blogspot.co.id adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA.Dari pengertian diatas Sara dapat disimpulkan sebagai salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak social di Negara kita karena SARA potensi kerusakan dan perpecahan cenderung berdampak jangka panjang,sehingga masyarakat dan pemerintah seharusnya sudah mulai meredam isu SARA yang dapat berkeliaran disekitar kita. Tetapi apa yang kita dapatkan sebagai penikmat informasi di media social? Yang kita dapatkan malahan isu SARA dijadikan bahan topic dalam ajang debat,dalam ajang diskusi, dan dalam wawancara narasumber,seakan-akan isu SARA adalah jalan yang tepat dalam memberi stigma buruk kepada calon Kepala daerah lainnya.
Menguatnya isu SARA tidak hanya berada pada ajang-ajang diskusi dalam media sosial, tetapi diperparah oleh kalangan politisi pendukung atau bahkan para agamawan yang seharusnya dapat bersikap netral malahan ikut- ikutan dalam semarak menanggapi Isu agama yang dianut oleh para calon Gubernur. Apalagi jika yang menanggapi isu SARA bidan gagama tersebut adalah seorang pemimpin dari suatu organisasi yang memiliki banyak anggota maupun simpatisan yang sangat berpotensi menimbulkan Isu SARA secara massal dalam waktu singkat. Tak bisa dipungkiri nama Gubernur DKI Jakarta saat ini dan juga Calon Gubernur yang akan maju 2017 nanti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan cagub yang paling santer diterpa isu SARA . Ahok yang mempunyai gaya kepemimpinan keras dan berani membalas semua isu yang ditujukan padanya melalui kata-kata frontal seperti “lebih baik kafir daripada korupsi” yang mungkin menurut sebagian orang ini merupakan pembelaan terhadap segala isu yang ditujukan padanya,tetapi jika kita telaah lebih lanjut kata-kata seperti ini malah membuat isu SARA semakin liar berkmebang di masyarakat.
Tentu masih jelas di ingatan kita saat FPI melakukan demo untuk menurunkan Ahok dari kursi jabatannya sebagai Gubernur karena menurut mereka , tidak sepatutnya pemimpin non-islam memimpin Jakarta,bahkan dengan percaya diri FPI sempat mengajukan calon-calon yang akan dipilih untuk menggantikan Ahok. Dari kejadian ini kita bisa melihat bahwa konsep bhineka tunggal ika yang selama ini dijadikan semboyan masih belum bisa dipahami oleh sebagian orang di Indonesia bahkan di ibukotanya sendiri yaitu DKI Jakarta.
IndoBarometer, salah satu lembaga survey mencoba menguak potensi isu SARA di Pilkada DKI Jakarta yang dilakukan melalui serangkaian survey pada medio 1-12 April 2016. Hasilnya, sebanyak 29 persen responden yakin bahwa masyarakat DKI Jakarta bisa terbelah oleh isu SARA. Sedangkan yang menentang terjadinya hal ini sebanyak 59 persen dan sisanya masih ragu-ragu dalam menjawab. Angka 29 persen jika diterjemahkan kedalam realitas sosial bisa saja mengandung unsur potensial bahwa isu SARA akan mudah dieksploitasi masyarakat dalam kontestasi politik pada Pilkada DKI Jakarta pada 2017 tahun depan.
Dari isu SARA kita menuju ke salah satu fenomena politik yang mungkin bukan hanya terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta tetapi juga semua pemilihan jabatan lainnya. Yup,saling serang antar calon Gubernur. Kita ambil contoh dari apa yang dilontarkan calon Gubernur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ahmad Dhani, dengan menuding ada intervensi dari Presiden Joko Widodo, dalam memenangkan Ahok. “Yang saya pahami Ahok diback up 100 persen oleh Jokowi,” kata Dhani ketika menghadiri Mukerwil DPW PKB, belum lama ini. Bukan hanya meragukan kapabilitas dari Gubernur DKI Jakarta saat ini,Ayah dari Al ini juga mengikutsertakan nama Presiden RI saat ini dalam memperkuat serangan yang dilancarkannya.
Sementara itu cagub Adyaksa Dault menyebut, Ahok lemah dari segi komunikasi. Pasalnya berbagai kalangan pun pernah mengecam Ahok yang sering terlihat temperamental dalam memimpin, sehingga kata-kata kasar pernah keluar dari mulutnya di depan publik.
“Ini kelemahan beliau (Ahok), ini soal komitmen yang tentunya secara jangka panjang,” pungkas Adhyaksa.
Perang kata-kata dalam melemahkan calon lain serta menyebarkan Isu SARA tak lain tak bukan untuk mencuri perhatian public. Membongkar kelemahan-kelemahan lawan yang kemudian dijadikan bahan dalam kampanye agar memilih dia. Dan mengenai mengapa Ahok yang bisa dibilang terus menjadi “santapan empuk” para calon lainnya karena Ahok memiliki tingkat kepopuleran yang tinggi yang tentu akan sangat menarik minat orang jika Ahok dibicarakan Calon Gubernur lain.
Yaa begitulah,sudah banyak isu yang berhembus,sudah banyak komentar pedas tentang satu sama lain bahkan saat kursi DKI 1 tahun 2017 masih dalam proses pembuatan.