Iya, artinya KAMU, diri kamu, yang sedang membaca tulisan ini. Memangnya siapa lagi? Negara ini membutuhkan kamu, bukan orang lain, tapi K-A-M-U.
Negeri ini sedang sakit parah. Korupsi merajalela, ah itu basi! Kemiskinan di mana-mana, ah itu berita lama! Ketidakadilan menjadi “hukum” di negeri, ah itu juga berita kuno! Apa lagi? Kemacetan? Kebakaran hutan? Demonstrasi yang berujung anarkis? Banjir? Pencitraan para politisi? Debat kusir pejabat di televisi? Perkelahian antarperlajar? Ah, semua itu cerita lama. Kamu mau protes? Siapa yang mau dengar? Orang-orang yang sependapat dengan kamu? Lantas, apa yang mereka lakukan? Mereka mungkin hanya akan ribut ini-itu di media sosial tanpa ujung. Tuduh sana-sini tanpa memberikan solusi.
Lantas, mengapa harus menunggu orang lain mendengarkan keluh kesahmu dan melakukan sesuatu hal yang kamu anggap penting dilakukan? Mengapa tidak kamu lakukan apa yang kamu rasa tepat dan harus dilakukan?
Kenapa? Oh, kamu masih seorang pelajar? Anak SMP? SMA atau mahasiswa? Oh, kamu orang biasa saja? Terus kenapa? Memangnya ada yang peduli dengan status kamu? Oh, orang-orang di luar sana mungkin iya. Mungkin banyak yang akan memandang sebelah mata “siapa” kamu, latar belakang kamu, status sosial kamu, tapi, memang sang Ibu Pertiwi peduli?
Ya, kamu harus jadi orang pintar, itu adalah kunci kesuksesan dan itu tidak bisa ditawar, tapi kalau kamu mau berkontribusi untuk negeri ini sampai kamu pintar dulu, kapan selamatnya negeri ini?
Kapan kamu bisa dengan lantang dan mantap mengatakan bahwa kamu sudah siap dan sangat pintar untuk “menyelamatkan” negeri ini? Jangan-jangan, saat kamu merasa sudah siap, negeri ini sudah “mati”.
Kenapa? Karena kamu tidak akan pernah puas dengan apa yang kamu capai. Ketika kamu mencapai sesuatu, adalah sifat manusia untuk tidak pernah puas dan berhenti pada satu titik itu. Jika kamu menunggu dan terus menunggu “waktu yang tepat”, kamu tidak akan pernah mendapatkan waktu yang tepat itu. Jadi, sekaranglah saatnya! Tidak peduli apa latar belakang kamu, memangnya Ibu Pertiwi peduli dengan latar belakang kamu? Tidak!
Selama kamu punya niat tulus dan semangat untuk membangun negeri ini, jangan pernah menunggu hingga kamu siap. Karena mungkin saat kamu merasa siap, hal yang ingin kamu ubah tak lagi siap diubah. Ketika kamu sadar bahwa saatnya telah tiba bagimu untuk menjadi agen perubahan, mungkin kamu tinggal seorang diri.
Tidak percaya? Salah satu media memberitakan bahwa ada begitu banyak orang pintar di Indonesia. Dan salah satu fenomena yang menonjol itu adalah semakin kuatnya kecenderungan orang pintar Indonesia yang mendapat gelar doktor dari luar negeri. Namun, ironisnya, orang-orang ini memilih tinggal dan bekerja di luar negeri. Mereka adalah doktor-doktor terbaik lulusan Yale, Cranfield, Stanford, MIT, dan lain-lain. Umumnya mereka bergelut di bidang ilmu eksakta dan engineering seperti teknik, fisika, matematika komputer, dan sejenisnya.
Dikatakan pula bahwa pada tahun 2007 saja ada sekitar 20-an doktor Indonesia lulusan luar negeri yang memilih bekerja di Malaysia, tiga orang bekerja di Brunei, dan sekitar lima orang di Singapura. Setiap tahun Depdinkas dibanjiri permintaan para doktor yang sudah selesai ikatan dinas untuk diizinkan bekerja di luar negeri. Padahal untuk “mencetak” seorang doktor di perguruan tinggi bergengsi di luar negeri, biaya yang dibutuhkan lebih dari $30 ribu per tahun! Itu data delapan tahun lalu.
Nah, lihat kan? Indonesia terancam kehilangan generasi cerdas dan brilian! Sebagian besar anak-anak cerdas peraih penghargaan olimpiade sains internasional bahkan memilih menerima tawaran belajar dari berbagai universitas di luar negeri, terutama Singapura. Ya, jujur saja, siapa yang tidak mau? Kamu juga pasti mau kan?
Pemerintah Indonesia kerap hanya memberikan fasilitas masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes bagi siswa-siswi peraih penghargaan. Siswa-siswi yang bersangkutan pun dijanjikan akan diberikan beasiswa. Sementara itu, Singapura lebih agresif dengan memburu siswa-siswa brilian ke sejumlah sekolah di Indonesia lewat agen yang tersebar di sejumlah kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Siswa-siswa brilian itu dijanjikan fasilitas yang menggiurkan. Selain beasiswa, siswa cerdas juga ditawari subsidi biaya kuliah (tuition grant) dari Pemerintah Singapura sebesar 15.000 dolar Singapura (sekitar 112,5 juta rupiah per tahun), atau pinjaman bank tanpa agunan untuk biaya kuliah. Jika siswa mengambil pinjaman bank, cicilan pinjamannya dibayar setelah mereka bekerja.
Sekitar 250-300 siswa cerdas Indonesia setiap tahun pergi ke Singapura untuk kuliah di perguruan tinggi seperti Nanyang Technological University (NTU), National University of Singapore (NUS), dan Singapore Management University. Dari total pelajar dan mahasiswa Indonesia di Singapura sebanyak 18.341 orang, sekitar 5.448 orang di antaranya sedang mengambil S1, S2, dan S3 di berbagai program studi. Singapura menargetkan merekrut 150.000 mahasiswa asing hingga tahun 2015.
Jelas, pemerintah memang harus mengelurakan kebijakan terobosan untuk mempertahankan siswa-siswa cerdas dan brilian tetap menjadi aset Indonesia. Mereka memang perlu mengembangkan ilmu ke berbagai universitas terkemuka di dunia, tapi harus diciptakan kondisi yang mendukung agar mereka bergairah kembali ke Tanah Air untuk mengabdikan ilmunya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Lalu kita harus apa? Kita mau bilang pemerintah “idiot” sekalipun tidak akan mengubah keadaan. Adalah tugas KAMU memperbaiki ini semua! Mungkin kamu berpikir, loh, kenapa bukan saya? Sama saja, saya adalah kamu yang sedang membaca ini. Apa bedanya? Hanya perbedaan sudut pandang. Sekarang, saya sedang berbicara kepada kamu.
Sekarang, bayangkan jika semua orang pintar “kabur” dari Indonesia, apa yang tersisa dari negeri ini? Hanya orang-orang bodoh yang memimpin orang-orang yang lebih bodoh. Tidakkah kamu ingat bahwa negeri ini diperjuangkan dengan tetes darah dan keringat orang-orang cerdas? Orang-orang cerdas, para pendiri negara ini, juga mengenyam pendidikan di luar negeri. Kita tentu tidak menutup mata bahwa pendidikan di luar negeri memang jauh lebih baik dan tidak ada yang salah dengan menuntut ilmu ke sana. Bukankah dalam menuntut ilmu tidak boleh terbatas ruang dan waktu? Dan tidak ada yang salah juga jika kita memikirkan soal “kesejahteraan” yang merupakan buah dari kerja keras kita menuntut ilmu selama ini; sah-sah saja. Namun, kita tidak boleh lupa asal-usul kita. Sedikit ilmu kita akan membawa perubahan pada negeri ini. Dan itulah tugas kamu, membagikan ilmu yang kamu punya. Itu saja? Tidak, itu saja tidak cukup.
Kamu harus membangun sistem. Sistem yang kamu buat harus dijalankan dengan konsisten dan terus dikembangkan. Kumpulkan pula orang-orang yang kamu anggap potensial untuk ikut menjalankan sistem ini. Orang-orang itu biasa siapa saja, yang penting kamu dan orang-orang ini sepakat bahwa tidak ada kata nanti untuk membuat perubahan; harus sekarang juga!
Sekarang, ingatlah terus kata-kata ini: Negaramu Membutuhkan Kamu. Iya, kamu! Ingatlah terus kata-kata itu. Mungkin suatu saat nanti kamu merasa jengah dengan segala kebusukan dan kemunafikan negara ini. Mungkin kamu mau tinggal di negara lain, kamu mau jadi warga negara lain. Itu sepenuhnya hak kamu dan tidak ada yang melarangnya. Namun, semoga… Ya, semoga masih ada sedikit, bahkan jika itu hanya secuil perasaan dan kesadaran bahwa biar bagaimanapun juga, negara yang kamu lihat sudah bobrok ini butuh kamu. Jika masih ada sedikit cinta di hati kamu untuk negara ini, bangkitlah. Sesungguhnya negara ini merindukan genarasi-genarasi yang benar-benar peduli dengan negaranya. Negara ini merindukan orang-orang jujur dan tulus. Jika semua orang berpikir bahwa “itu bukan saya”, lalu siapa? Jika kamu juga berpikir bahwa kamu tidak mampu, lalu siapa yang mampu? Kamu, cuma kamu yang bisa.
Tanamkan dalam diri kamu bahwa cuma kamu yang bisa. Kamulah yang akan mengubah negeri ini. Lakukan apa yang bisa kamu perbuat untuk negeri ini, jangan tunggu orang lain melakukannya. Jangan pernah menunggu hingga kamu merasa siap karena ketika nanti kamu merasa sudah siap, negara ini mungkin sudah tidak bisa lagi menerima perubahan. Jangan pernah lupa siapa kamu, kamu adalah anak bangsa. Kamu anak Indonesia. Negaramu membutuhkan kamu.
Perjuangan belum usai. Negeri ini butuh pahlawan baru, dan pastikan itu adalah kamu.