31 Oktober 2015. Malam Halloween telah tiba.
Orang-orang di negara luar sana, mungkin sedang berkeliling komplek, mengenakan kostum-kostum unik, sambil membawa sebuah keranjang kecil sebagai tempat hasil ‘perburuan’ mereka di hari Halloween ini.
Anak-anak kecil, berjalan ke sana ke mari, memamerkan riasan wajahnya yang mendukung untuk menakuti, berteriak, “Trick or treat!” dengan senyuman yang lebar.
Berjalan… menyusuri setiap rumah dengan derap langkah semangat, berharap mendapat banyak permen dan coklat. Berharap hujan tak turun malam itu.
Berbeda di negaraku tercinta ini.
Orang-orang sedang berkeliling, mencari bala bantuan sambil mengenakan masker-masker standar nasional, karena hanya itu yang dapat melindungi mereka dari tebalnya asap di tanah Sumatera dan Kalimantan.
Anak-anak kecil, berjalan ke sana ke mari, mengeluhkan susahnya untuk menghirup udara segar, sambil menangis mengeluhkan sesak dada mereka. Sedihnya lagi, asap-asap tersebut telah berarak-arakan, menyelimuti daerah Sulawesi hingga Jawa.
Umat-umat muslim, mulai melakukan sholat istisqo, mengangkat tangan-tangan mereka setinggi mungkin, menyerukan pengharapan agar hujan turun membasahi negeri yang dicintainya ini.
Aku masih bertanya-tanya, ulah siapakah semua ini?
Aku percaya, makhluk ciptaan Tuhan sesempurna manusia, yang memiliki akal, nafsu dan pikiran, tak mungkin melakukan hal yang menyakiti manusia lainnya.
Aku percaya, manusia diciptakan untuk menyebarkan perdamaian, bukan merusak lingkungan demi mengumpulkan harta untuk tujuh turunan.
Namun… berita di koran-koran, siaran di televisi, membuatku terdiam. Kembali mempertanyakan.
Siapakah yang salah di sini? Apakah berita-berita itu yang salah, yang menyebutkan bahwa ada oknum-oknum manusia yang terlibat dalam pembakaran hutan tersebut? Atau rasa percayaku lah yang salah, bahwa ternyata manusia tak semulia sebagaimana Tuhan menciptakannya?
Aku bergidik.
‘Pengakuan para pelaku pembakaran hutan Riau’ menjadi judul salah satu artikel yang aku temui.
Terjawablah semua.
Ternyata, kepercayaanku selama ini salah. Masih ada makhluk-makhluk tak berakal yang seharusnya tak berlabel manusia.
Ternyata, masih ada manusia yang tak berlaku seperti manusia yang seharusnya.
Tuhan… aku berharap, aku dapat menjadi manusia yang seutuhnya. Aku harap, setiap gerakan, aktifitas, dan kegiatan yang aku dan generasiku perbuat saat ini, sekecil dan sesederhana apapun itu, dapat membangun negeri ini kelak.
Dan aku berharap… agar kota-kota yang ditempati saudara-saudaraku yang sedang melawan bencana kabut asap tersebut dapat kembali seperti semula.
Agar mereka dapat merasakan nikmat udara segar seperti apa yang aku rasakan saat ini.
Aku tahu, Halloween telah tiba. Dan aku masih mempertanyakan, trik apakah yang sedang manusia-manusia tak berpikir panjang itu lakukan? Dan ‘permen’ seperti apa yang mereka harapkan, sampai mereka harus mengorbankan saudara sesama manusianya tidak bisa melihat dengan jelas, dan menghirup udara segar?
***
31 Oktober 2015. Malam Halloween telah tiba.
Di negara barat sana, langit gelap sudah menutupi seluruh kota. Gelap, gelap, semakin larut, semakin gelap. Anak-anak menjerit senang, berpegangan tangan bersemangat mencari buruan permen dan coklat.
Berbeda di negaraku tercinta ini.
Memang, langit gelap juga sudah menutupi kota-kota di negeri ini. Jarak pandang pun semakin memendek. Bukan, bukan karena malam kian melarut. Tapi karena asap hasil pembakaran hutan tersebut, yang menebal, membuat gelap, gelap, dan semakin gelap setiap harinya.
Anak-anak menjerit kesakitan, dadanya sesak, sungguh sulit bernafas. Berpegangan tangan, tak berhenti-henti mengucap doa, berharap agar kabut ini segera tiada.
Tuhan, lindungilah negeriku tercinta ini.