Entah kenapa hari ini saya lagi semangat menulis, khususnya tentang segala keresahan yang saya rasakan. Kali ini saya mau cerita tentang merokok di angkutan umum. Mungkin melihat orang yang merokok di angkutan umum bukanlah pemandangan yang asing bagi kita yang sehari-hari naik kendaraan umum. Bagi saya pribadi, saat-saat berada di kendaraan umum itu rasanya seperti saat-saat yang paling tidak menyenangkan, apalagi kalau ada orang yang dengan santainya merokok di dalam. Kenapa ya para perokok ini tidak mau memikirkan sedikit saja perasaan orang lain yang berada di dalam angkutan itu? Para perokok ini memang biasanya melakukan berbagai cara demi “menjauhkan” asap rokoknya, mulai dari mengeluarkan tangannya ke jedela, ada yang menyembunyikan rokoknya di bawah kursi, ada pula yang menyembunyikannya di antara kedua pahanya, bahkan ada juga yang merokok secara terang-terangan seolah-olah tidak terjadi apa-apa atau dia sedang berada sendirian di hutan.
Sejujurnya saya bingung harus menyalahkan siapa (tentang hal ini) karena sebagai pengguna angkutan umum, saya jelas merasa sangat dirugikan. Tidak bisakah kita bebas dari asap bahkan ketika di dalam angkutan umum? Jakarta ini sudah terlalu banyak asap, dan orang-orang pasti berharap tidak perlu menghirup asap di dalam kendaraan bukan? Lantas salah siapa? Saya kira, agar adil, ini semua menjadi salah semua pihak (termasuk penumpang yang tidak merokok). Loh kok gitu? Iya, pertama, jelas ini salah perokok itu sendiri. Merokok itu ternyata membuat hati seseorang tidak sensitif dan tidak peduli dengan orang lain. Ini terbukti dengan banyaknya perokok yang tetap merokok di dalam angkutan umum sekalipun saya sering melihat banyak orang yang berusaha “menegur” dengan bahasa-bahasa nonverbal, seperti menutup hidungya atau terbatuk (entah benar-benar batuk atau sengaja batuk karena terganggu), tapi nyatanya orang-orang ini tidak berhenti merokok sampai ada orang yang benar-benar menegurnya.
Kenapa sih harus merokok di dalam angkutan umum? Segitunya enggak bisa menunggu/menahan diri untuk membuat polusi selagi di dalam angkutan umum ya? Hanya karena angkuta umum itu terlihat jelek bahkan hampir seperti barang rongsokan dan tidak ber-AC, kan bukan berarti diperbolehkan merokok. Itu tidak menjadi sebuah pembenaran akan tindakan tersebut. Tidak jarang saya menegur orang yang merokok di dalam angkutan umum dan saya menemukan banyak reaksi. Mulai dari yang langsung nurut, minta maaf, pura-pura tidak dengar sampai harus “dicolek” dulu, hingga yang memberikan tatapan sinis. Jujur, saya frustasi tinggal di kota ini. Memang, si perokok berhak untuk merokok, tapi kan tidak di dalam angkutan umum juga. Suatu ketika saya pernah sebangku dengan seorang kakek yang memangku cucunya yang masih kecil, dan dia merokok tepat di samping saya dan juga cucunya. Mungkin Anda ada yang akan berpendapat bahwa kakek itu tidak berpendidikan makanya tidak tahu dan tetap merokok begitu saja. Namun, saya rasa itu tetap bukan alasan. Saya rasa tidak ada seorang pun di negara ini yang tidak tahu bahwa rokok itu berbahaya, termasuk kakek-kakek yang mungkin berusia lebih tua dari republik ini. Semua pasti tahu itu, tapi kenapa masih tetap merokok? Saya pun akhirnya menegur kakek itu untuk mematikan asapnya. Saya paham betul pandangan beliau saat itu agak kurang enak. Saya kira dia pada akhirnya mematikan rokoknya, ternyata saya salah, dia hanya mengeluarkan tangannya ke jendela (kebetulan kakek ini berada di dalam). Bahkan kakek ini tidak mau berhenti merokok demi menghormati penumpang lain dan lebih parahnya lagi, dia membahayakan anak kecil yang dia pangku. Anak itu jelas sudah menjadi perokok pasif.
Saya juga ingin mengatakan bahwa soal merokok dalam angkutan umum ini juga salah kita semua, salah masyarakat nonperokok. Kenapa? Ya, karena kita juga tidak pernah benar-benar tegas melarang orang untuk merokok di dalam angkutan umum. Kebanyakan dari kita hanya diam atau bahkan hanya setangah hati menegur dengan bahasa-bahasa nonverbal/isyarat yang mana biasanya tidak mempan oleh para perokok. Akhirnya para perokok pun merasa bahwa merokok di dalam angkutan umum adalah suatu hal yang biasa dari dulu dan itu sah-sah saja, toh tidak ada yang menegur juga. Para perokok merasa bahwa nonperokoklah yang harus mencoba mengerti para perokok. Sementara itu, sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah ada perlawanan yang tegas dari penumpang yang tidak merokok untuk menegur secara keras para perokok. Beberapa orang bahkan hanya ngedumel saja dengan orang sebangkunya atau bahkan tidak jarang yang hanya protes di media-media sosial. Sementara itu, si perokok ya… tetap merokok terus.
Merokok di dalam angkutan umum akhirnya menjadi suatu hal yang permisif, atau ya… boleh-boleh saja. Mungkin beberapa perokok berusaha membuang asap rokoknya ke luar jendela, tapi sepertinya mereka lupa bahwa di luar jendela itu ada angin. Akhirnya angin pun tetap membawa asap rokok itu kembali ke dalam angkutan, jadi sama saja. Haruskah pada akhirnya nanti semua orang Indonesia jadi perokok pasif? Saya rasa hampir seluruh pribadi kita telah menjadi perokok, bedanya hanya ada yang aktif dan ada yang pasif.
Kemudian, masalah ini juga tidak lepas dari peran pemerintah yang sangat lemah dalam menegakkan peraturan tentang larang merokok di dalam kendaraan umum. Pemerintah membuat peraturan, tapi peraturan itu tampaknya hanya dijadikan “hiasan” belaka. Padahal, dalam peraturan tersebut dijelaskan betul apa hukuman bagi orang-orang yang melanggar peraturan tersebut. Namun, pada kenyataannya kan tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, seseorang didenda atau dipenjara karena merokok di angkutan umum kan? Kenapa bisa begitu? Karena negara kita ini sangat lemah; lemah hukum. Lantas, apa gunanya kita berbangga diri dan menyebut diri kita sebagai negara hukum kalau ternyata ada hukum-hukum yang kurang prioritas dibandingkan dengan hukum yang lain? Kemana masyarakat harus mengadu atas pelanggaran merokok di dalam angkutan umum? Sebenarnya, pelanggaran ini bukanlah pelanggaran yang sepele karena ada hak-hak manusia yang diciderai di sini, yaitu hak menghirup udara bersih.
Beginilah negara kita, hampir tidak ada lagi yang peduli. Yang perokok tidak peduli dengan yang bukan perokok, yang bukan perokok membuat si perokok merasa diperbolehkan merokok dengan aksi “diamnya”, dan pemerintah juga tidak benar-benar bertindak tegas atas peraturan yang telah dibuat. Jadi, ya… serba susah. Memang, baru beberapa minggu ini saya melihat ada stiker larangannya merokok yang ditempel di berbagai angkutan umum di ibukota, setidaknya dengan adanya stiker itu, nonperokok diharapkan bisa menegur siapa pun yang merokok di dalam angkutan umum sebagai orang yang tidak berotak atau buta. Namun, berapa lama stiker itu bisa bertahan? Saya lihat kemarin beberapa stiker sudah mulai terkelupas dan saya rasa tidak lama lagi akan terobek.
Pada akhirnya, butuh kesadaran seluruh masyarakat bahwa merokok di dalam angkutan umum adalah perbuatan yang sangat mengganggu kenyamanan orang lain. Meskipun angkutan umum itu kondisinya sudah sangat tragis, tapi orang-orang tetap berhak mendapatkan kenyamanan beruapa udara yang bersih. Saya sangat sedih sekaligus kesal luar biasa ketika seorang perokok ditegur dan dia balas mengatakan, “Kalau mau nyaman ya naik taksi!” Astaga! Saya sudah tidak habis pikir di mana otak orang-orang yang mengatakan seperti itu, mungkin otaknya sudah pindah ke bokong atau bahkan duburnya. Angkutan yang murah, yang ditujukan untuk rakyat, bukan berarti harus (dan boleh) menjadi angkutan yang penuh asap kan? Di mana lagi perlindungan atas hak-hak rakyat (nonperokok)? Ini semua memang membuat kita pusing, tapi semuanya kembali lagi pada keseriusan kita untuk benar-benar menciptakan angkutan umum yang bersih dari asap. Jangan pernah takut untuk menegur orang yang merokok dalam angkutan umum karena dia memang salah dan kita berhak menghirup udara yang bersih tanpa racun.