Halo, P-assangers! Kembali lagi di artikel PIDAS81 kali ini! P-assangers, apakah kalian tahu tentang buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”? Penulis dari buku tersebut adalah Kartini. Mau tahu lebih lengkap tentang kehidupan Kartini? Simak artikel ini, ya!
Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau yang lebih dikenal dengan Raden Ajeng Kartini adalah seorang pahlawan wanita pejuang kemerdekaan. Ia lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 dan berasal dari kalangan priyayi atau keluarga bangsawan Jawa.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Beruntungnya Kartini memiliki Pangeran Ario Tjondro IV, bupati pertama Jepara yang merupakan kakeknya. Kakeknya ini ternyata sudah terbiasa memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya, sehingga cara pengajaran jauh dari kesan konservatif. Karena pemikiran kakeknya yang sudah terbuka itu, maka Kartini memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah di ELS (Europese Lagere School) saat usianya 12 tahun. Sayangnya keinginannya untuk sekolah tak bisa lama. Di usia 15 tahun Kartini harus menghentikan langkahnya ke sekolah. Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit seperti wanita lain di masa itu.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar mandiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Berbekal buku, surat kabar, dan majalah Eropa, Kartini menjadi tertarik pada kemajuan pemikiran perempuan Eropa. Keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi bermula dari persepsinya terhadap rendahnya status sosial perempuan pribumi.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang disunting oleh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang dibagikan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada pula majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca segala sesuatunya dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Terkadang, Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat yang ditulis kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap bahwa ia tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…“. Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Setelah dipingit dari usia 15 tahun, R.A Kartini akhirnya menikah pada usia 24 tahun pada tanggal 12 November 1903 oleh Bupati Remang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah pernah memiliki tiga istri. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Ia diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Sayangnya, takdir berkata lain. Kartini tak bisa berjuang lebih lama dalam mengangkat harkat derajat wanita karena Kartini wafat di usia 25 tahun. 4 hari setelah melahirkan putra semata wayang, RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya.
Kematian Kartini cukup mengejutkan karena selama masa hamil dan melahirkan Kartini tampak sehat walafiat. Tak ada yang menyangka jika Kartini akan wafat di usia muda. Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide dan gagasan pembaharuan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah.
Setelah Kartini wafat, Jacques Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Saat itu Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini terbit pada tahun 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian pada tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Nah, itulah biografi singkat tentang perjalanan hidup R.A. Kartini. Sangat menarik, bukan? Sosok Kartini sangat menginspirasi para wanita agar selalu berjuang dan membela hak-haknya. Salah satu hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk menghargai jasa Kartini adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Janji, ya? Sampai di sini artikel PIDAS81 kali ini, sampai jumpa di artikel selanjutnya. Bye bye, P-assangers!