Hai P-assengers! Bertemu lagi dengan artikel PIDAS81. Kali ini, kita akan mengulik seorang tokoh yang berperan penting dalam melestarikan kebudayaan Indonesia, nih. Sayangnya, tidak semua generasi muda mengenal tokoh ini. Oleh karena itu, yuk kita bahas lebih lanjut tentangnya.
Jika P-assengers mendengar nama beliau, mungkin yang terlintas pertama kali ialah keturunan Tionghoa. Yap, betul sekali! K.R.T. Hardjonagoro atau yang biasa dipanggil Go Tik Swan adalah seorang budayawan dan sastrawan Indonesia berdarah Tionghoa yang tergolong priyayi di Surakarta. Ia dilahirkan pada 11 Mei 1931.
Sejak kecil, kegemarannya dalam bidang seni dan budaya sudah muncul. Ia sering bermain dalam komunitas pembuat batik dan mendengarkan tembang-tembang Jawa. Ketika ia menempuh pendidikan tinggi, ayahnya menginginkannya untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun, diam-diam ia berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan menempuh jurusan Sastra Jawa karena kecintaannya pada budaya-budayanya.
Beliau adalah seorang penari handal. Pada tahun 1955, ia pernah menari di hadapan Bung Karno dalam peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia. Tarian yang ia bawakan adalah Gambir Anom, tarian klasik bergaya Jawa Solo nan indah yang berhasil membuat Bung Karno terpana.
Selain sebagai penari, beliau merupakan pelopor batik Indonesia. Sekitar tahun 1957, ia berhasil membuat “Batik Indonesia” sesuai permintaan Soekarno kala itu. Selain itu, ia berhasil membuat 200 motif batik yang diantaranya ialah motif radyo kusumo, kuntul nglayang, kutila peksawani, dan parang anggrek.
Selama hidupnya, ia pernah menjadi pendiri dan ketua beberapa perkumpulan, institut, maupun yayasan. Pada tahun 1959, ia mendirikan perkumpulan Bawarasa Tonasaji di Solo yang merupakan perkumpulan pemerhati keris. Ia juga pernah mengetuai Presidium Yayasan Radya Pustaka Solo. Terakhir, ia juga pernah menjadi anggota Dewan Empu Institut Seni Indonesia Solo.
Pada 5 November 2008, ia meninggal karena pembengkakan jantung yang diidapnya dalam beberapa pekan sebelumnya. Beliau dimakamkan di pemakaman Daksinoloyo Danyung, Sukoharjo, Jawa Tengah. Tiga tahun sebelum kepergiannya, tepatnya pada 11 Agustus 2005, ia menandatangani wasiat berisi penyerahan sejumlah koleksi benda purbakala miliknya kepada pemerintah kala dirinya meninggal.
Berkat jasa-jasanya dalam mengembangkan kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, ia mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah, antara lain Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI dan Bintang Srikabadya dari Keraton Surakarta. Ia juga mendapatkan tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah sebagai putra terbaik atas jasa-jasanya.
Sekian dulu untuk artikel PIDAS81 kali ini. Kami berharap P-assengers dapat terus melestarikan kebudayaan Indonesia, ya! Sampai jumpa di artikel-artikel lainnya.
Referensi: