Halo, P-assengers!
Namaku Kayla Shifa Azzahra, dan pada tahun 2019, aku telah menyandang predikat sebagai seorang manusia selama tujuh belas tahun. Aku menyukai segala hal yang menyangkut keadilan, dan aku suka menciptakan karya. Namun, aku tak akan membahas ini, karena bagiku, ini hanyalah sejengkal dari dalamnya diriku.
Secara esensial, aku memandang hidup ini sebagai ajang untuk menguliti jiwa seperti apa yang aku tinggali saat ini. Bagiku, hidup adalah tentang memelajari diri sendiri secara konstan, karena diri ini adalah satu-satunya yang akan tersisa ketika satu-persatu orang meninggalkan kita kelak.
Menginjak tahun ke-tujuh belas dalam hidupku, aku tak akan membuat suatu gelaran besar-besaran untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aku telah dewasa. Karena jujur- sedari kecil, aku tak pernah merasakan sebuah perubahan yang dramatis dalam diriku. Pada dasarnya, aku hanyalah seorang nenek renta yang bertingkah seperti balita dalam balutan identitas seorang ‘anak baru gede’.
Kedewasaan, dalam pandanganku, bukanlah sesuatu yang instan, secara otomatis disematkan ketika usia kita menginjak usia tujuh belas tahun. Itu adalah suatu pencapaian puncak atas pengalaman-pengalaman yang telah kita kantongi di dunia ini, sebuah trofi untuk semakin kuatnya kemampuan seseorang dalam menjalani rintangan-rintangan di dunia ini. Sayangnya, aku belum sekuat itu. Jadi, janganlah anggap aku seorang dewasa yang dapat menghadapi segala hal dengan mudahnya.
Apabila segenggam jiwa dapat direpresentasikan dengan sebuah model rumah yang memiliki dua halaman, jiwa-jiwa yang menghampiri ‘rumahku’ itu akan disambut oleh hamparan bunga kamelia yang berjejer rapih mengelilingi sebuah pagar baja yang tinggi tanpa karat. Sebuah area bermain dengan satu boks penuh pasir akan menunggunya di samping pintu masuk. Jika diperhatikan lagi, peralatan-peralatan berkebun dan bebersih akan berada tepat di sebelah halaman depan yang lapang dengan rumputnya yang senantiasa pendek, terlontar kesana-kemari layaknya tentara yang gugur pada sebuah karangan epos.
Aku tak akan berkata bahwa aku, secara kasat mata adalah seseorang yang tanpa kekurangan. Nyatanya, perkakas itu tergeletak di sana karena aku selalu berusaha untuk terlihat apik bagaimanapun cuacanya, meskipun itu berarti bahwa aku harus terus-terusan memerhatikan pandangan para tetangga jika seutas belikar perlahan-lahan melilit dinding samping rumahku itu. Walaupun terkesan angkuh dengan pagar baja yang sangar, aku selalu berusaha untuk tidak memerlihatkan keteledoranku dalam menata diri. Usahaku dalam membuat kesan pertama yang baik tak akan kunjung terputus, karena pada dasarnya- aku selalu merasa tidak aman dengan pandangan tetangga.
Setelah melampaui area bermain itu, ia akan berhadapan dengan sebuah pintu besar putih yang dilapisi oleh teralis. Walaupun begitu, jika ia ingin masuk, pintu itu dapat saja didobrak dengan mudahnya. Mengarungi lorong melalui pintu masuk itu, kau akan melihat beberapa foto keluarga tergantung di dinding putih yang agak mengusam karena waktu. Pada dasarnya, aku sangat mencintai keluargaku, dan nilai itu akan selalu tercermin bagaimanapun keadaannya. Lalu, ia akan menemui sebuah sofa empuk yang menampung banyak barang dan sisa makanan cepat saji. Beberapa di antaranya jika ditelisik lagi telah melewati masa kadaluarsanya. Bagiku, menjaga diri sendiri adalah hal yang penting, namun hal itu kuanggap sangat mengonsumsi waktu dan tenaga, sehingga hal itu bukanlah prioritas utamaku.
Terlepas dari pemandangan yang tak terlalu elok itu, aku menyimpan dan selalu mengganti bunga-bunga pada vas yang tergeletak di atas meja depan sofa itu. Mengapa demikian? Karena dari segala hal yang aku cintai, aku mencintai keindahan secara mendalam, walaupun aku tak mampu menciptakannya.
Hal lain yang mencolok adalah dindingku yang diperindah dengan rajut-rajut jaring laba-laba pada bagian plafonnya. Sejujurnya, kubiarkan saja begitu karena aku tahu aku tak akan pernah mencapai bagian itu. Bila kurasa sesuatu tak akan bisa kujalani, maka akan kutinggalkan saja sebagaimana adanya.
Selain itu, ia akan mendapati beberapa bagian dari plafon itu yang bolong. Rumah ini diramaikan dengan rintik-rintik air dari atas setelah hujan badai datang menghadang. Aku selalu mengantisipasinya dengan menyiapkan beberapa ember, mengetahui bahwa ember itu tidak akan pernah memberhentikan rintik air itu. Kadang, ketika hujan datang, aku akan kewalahan karena bocoran tersebut. Walau begitu adanya, aku menyenangi sensasi dingin yang didapat ketika bocoran tersebut menerobos lapis pertama kulit dahiku. Diam-diam, aku menikmati ritme rintikan air itu karena bagaimanapun juga, mereka memberikan nyanyian terbaiknya untukku, yang kerap memberikanku sesuatu untuk didengar di kala sunyi.
Dinding di rumahku memang kedap suara—tak akan ada suara yang akan keluar dari dalamnya jika aku terus menerus mengatupkan pintu depanku itu. Namun, jika tetanggaku memutuskan untuk mengusik ruang sendiri ini, aku tak akan segan membuka pintuku, menyeruak keluar dan membiarkan mereka terhanyut dalam dentang nyaring yang akan aku suarakan. Aku mungkin akan berkata, “Heh, beraninya kamu menginterupsi suara dari ketenangan ini?”. Jika ia terlalu ribut, mungkin aku akan bermain gendang tepat di atas lantai berandanya.
Jikalau seseorang kuizinkan untuk membuka pintu halaman belakangku, ia akan disuguhi pemandangan sebuah kolam berisi sedikit air hujan yang cenderung mengering, namun terlapisi dengan lumut pada setiap sudutnya. Ia akan melihat beberapa pot kosong yang sudah setengah terisi oleh pupuk organik dan air hujan. Beberapa belikar akan merambati dinding belakang. Aku menyukainya pula— terkadang kucing-kucing liar datang dan aku akan membagi makan siangku dengan mereka.
Seberantakan apapun suasana hatiku, aku tetap akan menemukan sesuatu untuk kucintai, kuhargai dan kurayakan keberadaannya. Menurutku, begitulah seorang ‘tuan rumah’ yang baik.
Secara keseluruhan, aku adalah sebuah rumah yang sangat elok bagian depannya, namun jika dapat dimasuki, kau akan melihat beberapa hal yang membuatnya bertanya, ” Bukankah itu mengganggu?”. Walaupun mengganggu, aku tak terlalu memikirkannya, karena tanpa hal-hal itu, aku tak akan merasa seperti diriku sendiri. Aku akan menerima dan mensyukuri segala kejelekan ini walaupun aku tau, mereka harus ditutupi dan kuperbaiki.
All in all, rumahku ini tidak akan dapat terbuka dengan mudahnya. Namun, jika terbuka pun, aku akan membagikan banyak keajaibannya dengan mereka yang bersedia memasukinya.
Setiap rumah berbeda dan unik, jadi, jika aku tak terlalu lancang bertanya; bagaimanakah rumahmu?
Jakarta, 15 April 2019
Kayla S.A