Halo, P-assengers! Kembali lagi di artikel kedua yang aku tulis di kepengurusan Radiant. Pada kali ini, aku mendapatkan tema mengenai ‘sejarah dunia’ dan aku memilih untuk membahas mengenai ‘Mesir Kuno’.
Ya, tentu saja Mesir Kuno yang seluas itu nggak bakal aku bahas semua, hehe. Bosen juga mungkin bahas sejarah yang udah lewat dan tersisa cerita-cerita belaka aja. Cuma aku pribadi lumayan melakukan research untuk tugas artikel kali ini dan mencari-cari topik apa yang menarik untuk dibahas. Karena, kebetulan aku dapet topik yang lumayan berat jadi aku juga sekalian ingin menambah pengetahuan.
Jadi, kali ini aku ingin membahas mengenai proses pembuatan mumi di Mesir Kuno. Mungkin kalau di internet lebih sering disebut dengan ‘Mumifikasi’. Yah, mungkin memang rada tidak familiar di telinga, namun sebenarnya, untuk apa sih, mumi itu? Dan apakah semua orang yang mati harus menjadi mumi?
Seperti semua peradaban, orang Mesir kuno memiliki keyakinan agama yang kuat. Mereka percaya bahwa semua orang memiliki ka dan ba. Ka adalah kekuatan hidup. Setiap orang memiliki ka yang sama persis. Sedangkan, Ba itu seperti hati nurani atau kepribadian yang terdiri dari kebaikan dan keburukan yang telah lakukan selama hidup. Kombinasi ba dan ka mirip dengan ide Kristen tentang jiwa.
Orang Mesir kuno percaya bahwa setelah seseorang meninggal, ka akan meninggalkan tubuh dan pergi untuk hidup bersama para dewa dan Ba tetap di dalam tubuh jenazah. Agar ka dapat melakukan ini, dibutuhkan makanan dan minuman. Inilah sebabnya orang Mesir kuno menguburkan orang mati bersama dengan kendi anggur dan mangkuk makanan.
Karena ba beristirahat di dalam tubuh jenazah, tubuh itu sendiri harus diawetkan. Inilah sebabnya mengapa orang Mesir kuno melakukan mumifikasi. Jika tidak ada perlakuan yang dilakukan pada tubuh setelah kematian, maka secara alami akan membusuk.
Mesir merupakan tempat yang kering, dan jarang memperoleh hujan, tanahnya juga amat sangat kering. Jika jenazah dikubur di tanah kering seperti itu, seringkali mayatnya tak membusuk. Bakteri di dalam tanah terlalu sedikit untuk mengurai mayat. Akibatnya, jenazah seringkali mengering dan menjadi mumi.
Mulai sekitar 3500 SM, tepat sebelum Kerajaan Lama dimulai, orang Mesir memanfaatkan proses ini dengan mengeringkan jenazah sendiri. Mereka menyukai gagasan bahwa tubuh mereka akan terjaga selamanya dan mereka meyakini bahwa ini akan berguna di alam maut.
Sebagian besar orang, yang merupakan rakyat miskin, hanya menyelimuti jenazah dengan kain linen dan menguburkannya di tanah yang kering. Sementara orang kaya menggunakan proses mumifikasi yang rumit. Pertama-tama isi perut jenazah dikeluarkan dan ditaruh ke dalam guci kanopi. Kemudian otaknya dikeluarkan lewat hidung menggunakan batang berkait. Organ-organ tersebut dikeluarkan karena merupakan organ basah yang mengandung banyak bakteri sehingga dapat membuat tubuh membusuk. Meskipun demikian, jantung tidak dikeluarkan karena orang Mesir meyakini bahwa jiwa terdapat di jantung, sehingga jantung dibutuhkan di alam maut.
Kemudian, menurut orang Mesir, setelah mati, jiwa seseorang (digambarkan sebagai orang kecil atau jantung) akan ditaruh di satu sisi timbangan, dan di sisi lainnya ditaruh sehelai bulu. Kemudian Dewa Thoth akan memutuskan ke manakah sang arwah harus pergi. Semakin banyak kejahatan yang dilakukan semasa hidup akan menambah berat jiwa. Jika jiwa yang ditimbang ternyata lebih berat daripada bulu, maka sang arwah akan dikirim ke tempat yang mengerikan. Sebaliknya, jika jiwanya lebih ringan daripada bulu, maka arwahnya akan pergi ke tempat yang menyenangkan.