Mendengar Dipa Nusantara Aidit, yang terlintas di benak tidaklah jauh dari Partai Komunis Indonesia, G30S, dan hal-hal yang tidak jauh dari komunisme. Sebagai “dalang G30S,” Dipa Nusantara Aidit dipandang sebagian orang sebagai “si jahat”.
Pertanyaannya, benarkah Aidit yang berbuat?
D. N. Aidit yang mendukung paham komunisme dan menginginkan masyarakat tanpa kelas, merencanakan sebuah revolusi. Ia memiliki teori tersendiri bahwa revolusi dapat terjadi bila disokong dengan 30% tentara. Revolusi yang diimpikan Aidit mungkin terjadi namun satu komponen yang Aidit tak miliki: tentara. Ia dekat dengan Soekarno dan ia punya massa. Namun ia tidak memiliki dukungan tentara. Padahal, komponen tentara adalah esensial dalam sebuah revolusi. Bahkan sempat ada gagasan untuk membentuk Angkatan Lima dimana buruh dan tani dipersenjatai untuk menyokong revolusi tersebut, namun gagasan tersebut ditolak. Karena teori tersebut, D. N. Aidit yang merupakan Ketua Comite Central PKI dianggap membuat PKI illegal atau tidak resmi. Salah satu tindakan Aidit lainnya yang memperkuat dugaan tersebut adalah ia membentuk Biro Chusus yang dipimpin oleh Sjam Kamaruzaman dan hanya melapor kepadanya. Tujuan Biro Chursus ini adalah untuk menyelusup ke dalam TNI. Tidak sampai setahun, Biro Chusus berhasil melaksanakan tugasnya.
Berbicara mengenai G30S, pertanyaan terbesar untuk peristiwa tersebut adalah: siapakah dalangnya?
Kekhawatiran PKI terhadap Dewan Jendral dimulai saat akan dilaksanakannya parade Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Dewan Jendral mendatangkan pasukan dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Hal ini memicu kecurigaan dari pihak PKI. Karena merasa akan terjadi sesuatu, para perwira (Kolonel Latief, Letnal Kolonel Untung, Mayor Udara Sudjono) memilih “menjemput” Dewan Jendral untuk dihadapkan ke Soekarno.
Namun menurut Latief, gerakan tersebut diselewwengkan oleh Sjam. Rencana awalnya adalah dewan jendral dibawa hidup-hidup untuk memperjelas perkara. Namun, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Satu Dul Arief (anak buah Untung) akan berangkat ke rumah para jendral, Sjam datang. Dul Arief menanyakan solusi jika jendral membangkan dan menolak diajak ke presiden. Sjam pun mengatakan jendral ditangkap. Hidup atau mati.
Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jendral Soepardjo bahwa semua telah selesai. Awalnya tidak ada masalah. Namun, tiba-tiba Dul ARief mengatakan semua jendral mati. Supardjo pun kaget karena bukan begitu rencananya. Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Solo pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati.
Rumah Aidit memang tidak pernah sepi tamu. Selama lampu depan masih menyala, orang tak ragu untuk datang ke rumah Aidit. Mengapa? Karena satu tanda yang pasti jika Aidit masih di rumah dan bersedia menerima tamu adalah: lampu serambi depan menyala.
Malam itu, 30 September 1965, lampu serambi masih menyala. Tetapi, tamu yang berkunjung dengan suasana tenang, justru Aidit dan keluarga dikagetkan dengan deru mesin jip dan derap langkah mereka. Tentara berseragam biru. Mereka mengatakan ada keadaan darurat dan membutuhkan presensi Aidit. Meski Aidit ragu mengikuti perintah tersebut, ia tetap pergi. Sebelum pergi, Aidit berpesan kepada Murad (adik Aidit) untuk mengunci pagar dan mematikan lampu depan. Kemana perginya Adit malam itu belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang, tidak diketahui apa yang terjadi kepada Aidit setelah meninggalkan rumah. Pihak keluarga hanya tahu beberapa tahun kemudian bahwa Aidit sempat dibawa ke Halim.
Selain G30S, buku ini juga memperlihatkan sisi positif Aidit. Misal jiwa kepemimpinannya yang sudah terlihat sejak kecil dan dibuktikan saat ia menjadi ketua comite central PKI di umur yang relatif muda, ambisi yang kuat, dan loyalitas yang tinggi. Dari sini, pembaca bisa tahu bahwa Aidit tetaplah manusia, yang memiliki sisi terang dan gelapnya masing-masing.
“Ia bukan sepenuhnya si brengsek, sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan”
Buku ini cukup menarik bagi mereka yang haus akan kebenaran dan tertarik pada sejarah. Jujur, perasaan saya campur aduk ketika saya mendapatkan buku ini dalam perayaan Hari Pendidikan Nasional atau PENTAS. Satu sisi penasaran, tapi malas juga dituntut membaca sejarah ketika yang lain mendapat bacaan yang lebih ringan. Sempat terpikirkan dibenak saya bahwa buku ini akan membosankan. Dugaan saya rupanya meleset, karena rupanya buku ini cukup asik (apalagi jika dibaca saat tidak dikejar waktu)
Sejauh yang saya baca, buku ini cukup lengkap meski tidak sempurna. Meskipun dalam bukunya tim TEMPO mengatakan penyelidikan mereka tidak begitu dalam, namun menurut saya, buku ini cukup menjawab pertanyaan seputar G30S dan peran Aidit dan tokoh-tokoh lain dalam peristiwa itu. Untuk kelemahannya, bahasa yang digunakan agak sulit sehingga mungkin sebagian pembaca perlu membuka KBBI sekali dua (sisi positifnya, bisa menambah kosakata pembaca).
Akhir kata, buku ini dapat memberikan para pembacanya sebuah pandangan baru yang bisa mengubah “stereotip” yang dikenal selama ini. Seperti halnya sejarah PKI yang selama ini kita tahu, pemikiran tentang kekejaman dan kejahatan akan langsung terlintas, sebuah sudut pandang yang hanya sepihak. Begitu juga seorang D.N. Aidit yang merupakan topik utama buku ini, seseorang yang selama ini dikambinghitamkan atas terjadinya sebuah gerakan pemberontakan yang kita kenal sebagai G30S/PKI. Berbahaya dan kejam sudah bagaikan deskripsi yang paling tepat saat mendengar namanya. Namun, “Aidit/Dua Wajah Dipa Nusantara” seakan mampu mengubah hal tersebut dan membuka perspektif baru terhadap peristiwa bersejarah di Indonesia.